Five Pandavas

By homojeon

2.8K 110 17

Seumur hidupnya, Jeongguk meyakini bahwa dirinya adalah laki-laki tulen. Memiliki pacar yang kaya raya dan me... More

Prologue

2.8K 110 17
By homojeon


Character : Arthur Declan, Charlie Puth, Jackson Wang, Kim Taehyung, Park Jimin, Jeon Jungkook

Genre : Drama, Fantasy

Pair : everyone x kook

Warning : bottom!kook, mpreg, fem!taehyung, poliandric, polyamory, switch!taekook


a Collaboration with Miinalee

.

.

.

.


Saat bicara soal awal mula dunia, yang paling bersemangat untuk membahasnya pasti Yudhistira. Dulu dirinya lahir sebagai yang pertama, dinobatkan sebagai dalang atas empat adik laki-lakinya. Jadi seharusnya, semua ini berjalan sesuai dengan rencana masa lalu yang dibuatnya sebagai 'kepala' dari Pandawa saat itu, tapi kemudian Mahadewa berkehendak lain.

Dunia berputar. Begitu pula jalan hidup kalian yang seharusnya.

Yudhistira sudah lupa, sejak abad keberapa orang-orang ini mulai mengabaikan posisinya sebagai anak pertama di masa awal mula. Terlebih saat di masa tertentu, bukan dirinyalah yang terlahir lebih dulu. Terkadang Nakula. Di lain waktu, Sadewa. Pernah satu waktu jadi giliran Arjuna. Lalu sekarang...

Bhima...

Ini kemungkinan terburuk satu banding lima yang akhirnya terjadi juga.

Lihat bagaimana Bhima menjulang menutupi layar 42 inci yang sedetik lalu jadi pusat perhatian semua orang. Menatap marah pada semua orang seakan empat pasang mata yang juga menatap jengkel padanya tidak berhak merasakan hal yang sama.

Sepuluh menit yang lalu terjadi kesepakatan bahwa malam ini saja mereka akan berbagi. Diawali oleh taruhan yang diajukan Yudhistira, atas tiga kemungkinan yang melibatkan tiga petaruh dadakan;

1. Bila Yudhistira menang, Yudhistira akan mengambil jatah giliran Bhima.

2. Bila Bhima yang menang, dirinya akan mengambil jatah giliran Yudhistira dan Sadewa.

3. Bila tidak seorang pun menang, mereka akan menonton bersama, beramai-ramai bersama Nakula dan Arjuna yang bahkan tidak terlibat dalam judi dadakan itu.

Tapi jelas kenyataan yang terjadi tidak sesuai rencana, pun bila tidak seorangpun tahu bahwa Arjuna diam-diam berlaku curang dengan mengubah arah dadu dan membuat semua orang kalah malam itu. Kenyataan makin pahit saat Bhima segera menyadari keputusan ini tidak lebih banyak menguntungkan dirinya dibanding empat saudaranya.

"Hari Jumat giliranku," katanya berang. Menutupi layar, tidak rela jatah mingguannya untuk menikmati sang dewi masih harus dibagi dengan empat saudaranya. Raut wajahnya seperti bicara bahwa ia siap membanting layar besar itu ke lantai dibanding harus berbagi dengan semua orang malam ini. Perawakannya selalu paling megah dari masa ke masa, tapi tempramennya lebih setara dengan bocah yang baru belajar menggigit.

"Minggir, Bhima. Kita sudah sepakat. Biarkan kami melihat devi." Arjuna berdiri, ikut berang, meski tingginya tidak melebihi dada Bhima, tapi hujan dan angin yang bertengkar mungkin akan menimbulkan badai. Nakula melirik khawatir, lewat dua alis hitam yang melengkung dalam-dalam. Gadis itu melirik Yudhistira, tapi tidak menemukan sebarispun niat di wajah kakaknya untuk memisahkan tiga pria marah di hadapan mereka.

Yudhistira hanya duduk di kursinya, menonton, menunggu, merasa geli melihat Sadewa dan Arjuna bertengkar dengan Bhima. Masih menggelikan baginya bagaimana Mahadewa gemar bercanda, menciptakan Bhima dengan ukuran konstan dari masa ke masa. Namun tiap kelahiran baru, Sadewa dan Arjuna tampak makin mungil saja.

"Ini jebakan, kebiasaan judimu mulai merugikanku." Bhima menunjuknya tiba-tiba, sadar dipermainkan saat melihat Yudhistira tersenyum miring.

"Judi melibatkan banyak pihak, adik. Dan aku tidak mendengar penolakan sepuluh menit lalu."

"Kau adikku di masa ini. AKU KAKAK-NYA!"

Nakula mulai jengah. Tapi seperti Yudhistira, gadis itu tetap duduk di kursinya, menguasai seluruh emosinya tetap seanggun cara duduknya. "Bhima, kau boleh ambil jatahku hari Selasa, sekarang tolong minggir. Hentikan kebiasaan burukmu itu, kita sudah sepakat."

"Ya. Mudah mengatakan ini kalau kau bisa menyentuhnya, menatapnya, bicara padanya?! Beri aku giliran itu, dan kuberi satu tahun jatah nonton-ku untukmu!"

Nakula terpancing, hampir berdiri saat ia menghentakkan kakinya.

"Kalian sendiri yang membuat tantangan itu, sekarang setelah aku yang menang, kau mau tarik omongan, hm? Laki-laki jaman sekarang. Langkahi mayatku, tahun ini tetap milikku."

"Kalau tahu akan jadi ribut begini, harusnya kusembunyikan saja. Itu kameraku, aku yang susah payah menyelinap untuk memasang kamera-kamera itu! Atau baiknya kucabut saja?"

Adalah titah dari si bungsu Sadewa, yang berakhir menggantung tidak terjawab. Sekalipun ia segera mendecih sebal sebab ke-empat saudaranya yang lain memilih untuk pura-pura tulis, namun ia sendiri tidak mau terlalu ambil pusing.

Di hadapan mereka, berpendar dalam temaram suasana ruang tengah, dan berbatas sekat kaca juga layar terang sinar biru, adalah sang devi. Ke-limanya kompak menatap patuh selayaknya anjing penurut. Bhima yang beberapa detik lalu hampir mengamuk, memutuskan untuk mengalah, malam ini saja, ketimbang membayangkan dirinya harus ikut kehilangan bila Sadewa sungguhan memutuskan semua kamera pengintai itu.

Setiap pasang mata, setia menatap tanpa niat melewatkan adegan barang sedikit pun. Pandangan penuh menuntut terhadap jemari lentik yang menyisir, baris kelopak yang mengatup, juga bibir merah selayaknya delima ranum, yang berulang kali mengeluarkan hembus nafas yang terdengar begitu penuh dosa, begitu penuh gairah, hingga lima pasang mata yang menatap, mau tidak mau, juga ikut tersulut oleh gelora. Sekalipun ketika suara yang memasuki telinga hanyalah; sebatas dengungan nada rendah yang halus, berpadu dengan suara panci.

"Masak apa dia hari ini?"

"Tidak tahu. Tapi aku masih takjub, tangan itu terampil dan lentik sekali. Sekalipun dipenuhi tattoo." Arjuna menyahut asal, sambil tertawa menggeleng, "Satu lengan, mungkin bisa dipakai memukul Bhima sampai otaknya merosot turun sampai kaki, lalu terpantul lagi."

"Mau berkelahi, Arjuna?"

"Aku tidak tahu mana yang lebih lucu," Yudhistira kembali membuka suara. Posisinya bersandar tidak acuh di lengan sofa. Satu kakinya dibawa menekuk, membuat dia memasang posisi angkuh bak seorang raja, "Kita yang tengah menonton devi seperti film porno, atau kalian berdua yang terlalu sibuk berkelahi. Bawa seribu massa kemari, maka aku yakin kita bakal dapat uang banyak dengan membuat taruhan."

"Isi kepalamu itu hanya judi saja, ya?"

Nakula beranjak, lalu berdiri sambil bersidekap di hadapan empat orang laki-laki dengan ukuran tubuh bervariasi itu sambil melempar pandangan begitu menuduh. Tubuhnya berdiri ramping, dan rambut panjangnya turun menjuntai. Tipikal bentuk perempuan yang seksi, dengan bibirnya yang merengut ketus tengah berpoles gincu. Namun, tidak bagi ke-empat laki-laki lain, yang justru lebih beranggapan, bahwa sosok yang tengah menjadi pusat atensi di dalam layarlah yang jauh lebih menarik.

"Kak, minggir—"

"Diam dulu, Sadewa. Aku harus memberi pelajaran untuk tiga laki-laki ini."

"Tapi—"

Empat suara nafas tertahan, ketika lantas layar berubah menjadi gelap. Nakula mematikan televisi tanpa sedikit pun penyesalan, tanpa secuil belas kasihan. Dan dari empat suara laki-laki, milik Bhima-lah yang raungannya terdengar paling kencang.

"Kenapa dimatikan?!"

Selesai meletakkan remote, Nakula duduk anggun, menyilang kakinya angkuh, tidak peduli pria setinggi hampir dua meter berdiri berang di depannya. "Karena aku mau." ujarnya lentik.

"Kemarikan remote-nya."

"Duduk."

"Nakula!"

"Tidak. Kau duduk dulu, baru kukembalikan. Tapi tanpa baterai," ujarnya sambil tersenyum manis, mempreteli baterai dari remote. "Kau lupa aturan kita? Tontonan hari ini sudah cukup. Kita setuju untuk sekadar memantau kalau devi baik-baik saja, sekalipun kita sedang tidak bersamanya. Bukan untuk mengintip."

Bhima hampir berseru fuck you, tapi ia tahu Nakula punya kuasa lebih dalam hal ini. "Sedikit saja.... adikku." Alis tebal itu mengerut, hampir bertemu. Wajah seram Bhima melembut, nyaris memohon. "Yudhistira sudah mengambil jatah nonton-ku minggu lalu, dan aku bahkan tidak boleh muncul di depannya! Kau pikir ini adil untukku?"

"Adil kalau aku juga mengalami." Arjuna berdehem, sementara Sadewa juga membeo disisinya.

"Aku juga! Aku juga!"

"Sekali tidak tetap tidak, kakak." Nakula menekan, senyumnya makin miring.

Tahu tidak akan menang melawan Nakula yang begitu, Bhima meraung, keluar sambil membanting meja. Kayu besar dan berat itu jungkir balik dan hampir menimpa kaki Yudhistira, yang merespon dengan duduk tenang dan tertawa-tawa saja.

Arjuna dan Sadewa hanya duduk di kursinya, bergerak ke kanan ke kiri agak risih.

"Apa boleh dinyalakan lagi? Bhima sudah keluar, kak."

"Tidak. Kau punya kelas pagi, Sadewa. Ayo tidur-tidur, sudah malam." Nakula bangun, melenggang keluar dengan anggun sementara remote terselip diantara tangannya, di depan perut."


***


Halo! 

Lama nggak update, sekalinya update malah bawa work baru, hahaha! 

Tapiii, semoga kalian bisa dibuat penasaran sampai sejauh ini. Karya ini adalah hasil kolaborasi dengan kak Miina Lee, dan aku cuma bakal post prolognya saja disini. Chapter selanjutnya bakal di update di website yang diluncurkan oleh beliau sendiri, yang dimana link-nya bakal aku pajang di bio!

Selamat membaca, semoga bisa menghibur kalian semua. Di atas sudah ada warning, dimohon bijak untuk memilih membaca atau tidak, termasuk berkomentar, yah. Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima. Terima kasih banyak, loves!

Continue Reading

You'll Also Like

55.1K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
51.1K 3.7K 52
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
133K 10.4K 88
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
51.5K 6.6K 42
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...