A Home Without Walls

By pratiwikim

6.4K 786 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
a. through the dusk
b. fall for anything
c. no sound without silent
d. for the first time
e. broken arrow
f. equlibrium, exit wounds
g. warning sign
i. splintered

h. up in flame

384 45 19
By pratiwikim

Sinar kemuning yang menggantung di kaki langit tampak tua dan renta, tiga puluh menit menjelang tergelincir dan tenggelam bersama dekapan peraduan di bentangan horizon barat. Musim panas tahun ini berlalu dengan begitu cepat, nyaris terkikis habis tanpa ada perubahan signifikan di tiap inci kehidupan. Seulhee melabuhkan punggungnya ke sandaran kursi, menelan ludah kepayahan, lantas menekan dada kuat-kuat setelah rasa sesak menghantam.

Saat ini, Seulhee tidak tahu harus mendahulukan kepentingan siapa, entah miliknya sendiri atau mungkin milik perusahaan tempat ia bekerja.

Rekan sejawatnya memberikan kabar bahwa telah terjadi kekacauan dalam input data keuangan ketika hendak dikirim menuju kantor pusat. Sebagai penanggung jawab dalam divisi tersebut, Seulhee diperintah langsung untuk turun tangan dan memerbaiki kesalahan yang ada. Sebenarnya dia sama sekali tidak keberatan, bahkan hal ini sudah sering terjadi mengingat perusahaan tersebut sering kali menerima anak magang yang minim pengetahuan. Namun, ketika dihadapkan dengan persoalan yang juga tengah menimpa sang buah hati, Seulhee sekonyong-konyong dibuat bimbang.

Terhitung dua hari sudah Jinan terserang demam, suhu tubuhnya nyaris menyentuh angka empat puluh derajat celcius jika tidak segera melakukan pengobatan. Ia kerap menolak untuk makan, pun sama halnya dengan obat yang tak pernah benar-benar ditelan-selalu dimuntahkan dengan cara mengorek pangkal kerongkongan.

Benar-benar ironi di atas ironi.

Sehari setelah jamuan makan siang tersebut dilaksanakan, Seulhee dapat mengendus sesuatu yang ganjil, si Min itu mendadak menjadi pribadi yang pendiam, memilih bungkam di setiap percakapan dengan sepasang netra yang menatap tajam. Seulhee ingin sekali buka suara, menanyakan perihal macam apa yang telah terjadi di dalam toilet. Namun, jika mengingat bagaimana agamaisnya seorang Min Yoongi, Seulhee tentu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun. Lelaki yang taat kepada Tuhan tentu tidak akan melakukan sesuatu yang penuh dosa, bukan?

Akan tetapi, tetap saja Seulhee ragu untuk meminta bantuan kepada Yoongi, terlebih ketika mengingat lelaki itu sedang gencar-gencarnya menyelesaikan pekerjaan agar bisa lekas mengambil cuti dan memersiapkan pesta pernikahan.

Menggulir barisan nomor yang tersimpan di dalam ponsel, Seulhee kemudian terfokus pada nama Kim Taehyung. Benar, ia masih memiliki harapan. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, pun Seulhee mendial nomor tersebut, menunggu beberapa saat sembari menggigit cemas bibir bagian dalam.

"Hallo, Taehyung?" sambar Seulhee kala panggilan tersebut terhubung. Berniat untuk tidak bertele-tele dan lekas mengutarakan maksudnya secara langsung, ia justru dibuat bungkam usai mendapati bariton Taehyung naik beberapa oktaf, menggelegar bak petir yang menyambar, memberi tuaian protes pada sang sekretaris yang bekerja tidak sesuai harapan. Kemudian, setelah dirasa suasana berubah menjadi lebih kondusif, barulah Seulhee melanjutkan, "Taehyung ... apa kau baik-baik saja?"

Ada hela napas gusar yang terdengar, sosok Taehyung di seberang sana melinting lengan kemejanya hingga ke bagian siku, berjalan menghampiri jendela dan membiarkan matanya menikmati pemandangan batas kota. "Ya, Bi, aku baik-baik saja, hanya terjadi sedikit masalah dengan cara kerja pegawaiku. Selebihnya, semua berjalan lancar." Taehyung menjeda, mendadak tertarik pada barisan semut merah juga partikel debu yang lekas diusap menggunakan jari telunjuk. "Bibi kenapa meneleponku? Butuh bantuan?"

"Tadinya memang begitu, tapi sepertinya kau sedang sibuk, ya?"

"Tidak apa-apa, Bi. Ini hanya masalah kecil," tukas Taehyung cepat. "Bibi butuh bantuan apa?"

Sebelum menjawab, Seulhee menoleh ke belakang, menyaksikan bagaimana Jinan menuruni undakan tangga dan berjalan menuju dispenser, mengisi gelas dengan air hangat lalu kembali ke dalam kamarnya. Pandangan mereka sempat bersirobok untuk detik yang berlalu tipis, tetapi Seulhee memilih untuk memutusnya terlebih dahulu. Menghela napas panjang, ia berkata, "Jinan sedang sakit, Tae. Bibi butuh bantuanmu untuk menjaganya selagi Bibi pergi ke kantor. Kau tidak perlu khawatir, ini tidak akan lama, mungkin jam delapan malam Bibi akan sudah berada di rumah."

"Tentu saja, Bi. Aku akan ke sana secepat mungkin."

Panggilan terputus setelah Seulhee mengucap terima kasih, ia kemudian bergegas mengganti pakaian, tak lupa pula memoles wajah dengan sedikit sentuhan make up, pun menyempatkan diri untuk memanaskan pasta saus pesto yang dimasak tadi siang untuk dimakan Jinan nanti malam.

Sepuluh menit sebelum matahari benar-benar terbenam di peraduan, sosok yang telah Seulhee tunggu-tunggu akhirnya tiba, Taehyung keluar dari dalam mobil sembari menenteng parsel kecil berisi buah-buahan segar dan juga beberapa tangkai aster yang dililit pita merah. Setelan kemeja putih melekat di tubuh tegapnya, dipadu dengan balutan jas armani serta celana bahan kecokelatan. Ia berjalan ringan, menapak pekarangan rumah dan tanpa ragu menyambut pelukan Seulhee yang menanti di bawah nyala damar.

"Syukurlah kau datang, Taehyung." Si wanita melepas dekapan, menepuk lengan sang lawan sembari mematri senyum penuh rasa lega. "Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya. Bibi titipkan semuanya kepadamu."

Taehyung mengangguk sebanyak dua kali, membiarkan Seulhee melenggang dari hadapan dan memasuki mobil sedan yang bernaung di bawah kanopi. Mereka sempat bertukar senyum, melambaikan tangan tanpa perpisahan sebelum akhirnya hilang ditelan tikungan. Sebuah kunci perak telah berada di genggaman, Taehyung membiarkan pandangannya menjelajah, meneliti tiap sudut beranda yang nyatanya hanya diisi oleh satu set meja berbahan rotan serta tanaman hias. Sejemang ia memejam, memersiapkan sandiwara terbaik agar bisa menjadi pemeran yang andal.

Menyingkap kelopak mata dengan perasaan yang berpuluh kali lipat lebih baik dari sebelumnya, Taehyung mulai memutar kenop pintu, menguncinya dari dalam dan menuntun kedua tungkai agar tetap berporos pada gravitasi bumi. Di bawah pijar lampu yang redup-tampak seperti orang yang mengantuk, Taehyung menaiki satu per satu undakan tangga yang membawanya langsung ke ruangan di sayap bagian barat.

Mengeratkan genggaman pada tangkai parsel juga buket bunga, Taehyung melempar ketukan-ketukan ringan menggunakan tangannya yang bebas. "Jinan? Apa kau di dalam?" Hening, tak ada satu pun suara yang terdengar selain hela napas beratnya. "Ini aku, Taehyung."

Lagi-lagi, tidak ada sahutan yang resap di telinga.

Mengendikkan bahu, Taehyung berasumsi bahwa Jinan telah tidur lebih awal. Manakala jemarinya terulur guna menarik tuas pintu dan melesakkan diri ke dalam kamar yang didominasi aroma manis permen, Taehyung justru tidak menemukan presensi gadis itu dimanapun-tidak dengan ranjang bersprei putih tulang, juga tidak dengan sofa mungil di dekat jendela. Okularnya terus memindai sudut-sudut yang ditempa kegelapan, merefleksikan sebuah bayangan di permukaan dinding yang sedetik kemudian dirampas habis usai Taehyung menekan sakelar lampu.

Bersama pikiran yang bersengkarut, Taehyung semerta-merta mendengar lirihan samar di balik bilik kamar mandi. Setengah tergesa meletakkan parsel dan buket bunga aster yang dibawa penuh cinta, pria Kim itu mendobrak pintu yang menjadi penghalang secara paksa.

Benar saja, Jinan ada di sana, duduk bersimpuh di dekat saluran pembuangan sembari memuntahkan isi perut berupa cairan dalam jumlah masif, piyama kremnya basah akibat kucuran shower yang sengaja dinyalakan. Namun, seakan betisnya terjebak dalam kubangan lem super lengket, Taehyung mematung di ambang pintu, menyaksikan bagaimana si gadis memukul-mukul dada secara konstan hingga tangannya terkulai lemas di sisi badan, separuh tak sadarkan diri hingga kepalanya nyaris menghantam pinggiran bathtup.

Melihat hal tersebut, Taehyung bergerak cepat menarik Jinan ke dalam pelukan, memangkas bentangan jarak tanpa peduli muntahan Jinan yang mengotori jas mahal miliknya.

"Apa yang kau lakukan, Ji?" tanya pria itu dengan desibel menyerupai bisikan, bergegas mematikan shower dan menggendong Jinan keluar dari kamar mandi. "Kumohon, jangan pernah menyiksa dirimu seperti ini lagi. Kau membuat semua orang cemas, bukan hanya ibumu, tetapi juga aku."

Taehyung menyugar surai legamnya ke belakang, gelisah setengah mati dengan isi kepala yang terasa menjumpai jalan buntu. Nyaris mengumpat di bawah embus napas hangat yang berat, ia mendapati jemari Jinan menyentuh lengannya pelan. Sepasang irisnya berpendar sayu, mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang membidik langsung menuju retina. Kurva bibirnya melengkung, menuai senyum rapuh. "Jangan cemas, aku hanya berniat memuntahkan obat yang diberikan Mama, tapi kenyataannya, perutku merespon lebih buruk dari yang aku kira."

Setetes air mata jatuh dari pelupuk, menuruni pipi tirus yang memucat kedinginan. Sejemang, Taehyung merasa bahwa dirinya terlempar jauh menuju dimensi lain.

"Kupikir Yoongi lelaki yang pantas untukku, tapi-" Jinan tercekat oleh rasa sesak yang bersemayam di dalam dada.

Sebelum sempat melanjutkan kalimat tersebut, Taehyung lebih dulu merengkuh Jinan, menyeka bulir air mata yang luruh dan membentuk genangan di batas dagu mungilnya. "Sshhh, berhentilah menangisi seorang keparat seperti Yoongi, lelaki itu tak pantas mendapatkan hatimu yang suci." Hangatnya napas Taehyung jatuh menjumpai philtrum, ia membubuhkan kecupan-kecupan ringan sebelum menutupnya di labium Jinan yang menanti sambutan. "Tersenyumlah, Ji. Sekarang kau tidak sendiri lagi, sebab kali ini, kau memiliki aku di sisimu."

"Kim Taehyung?"

Mendengar namanya sayup-sayup dipanggil, si pemilik nama lekas mengecilkan api kompor, melapisi tangan dengan serbet bersih dan bergegas memindahkan ceret berisi air mendidih ke tempat yang lebih aman. Ia menyeka bulir keringat yang jatuh menuruni pelipis, menoleh melalui bahu kiri dan temukan presensi Jinan tengah berjalan pelan ke arahnya, sedikit sempoyongan dengan tangan yang mencari pegangan.

"Oh, sudah bangun rupanya."

"Bagaimana bisa kau berada di sini?" tanya Jinan sembari menarik kursi, keningnya tampak mengerut menahan sakit di bagian pelipis serta kepala.

Butuh beberapa saat bagi Taehyung untuk dapat mencerna keadaan, satu alisnya semerta-merta menukik naik; heran, tetapi sedetik setelah Jinan meraih potongan apel untuk dikunyah dan dilesakkan ke dalam perut, barulah ia menyadari bahwa si gadis dalam keadaan setengah sadar ketika ditemukan.

Meraih gelas berukuran sedang di buffet paling atas, kemudian menambahkan gula dan juga air panas, Taehyung membalas kalem, "Tadi sore ibumu menelepon, beliau memintaku untuk menjagamu selagi beliau pergi menyelesaikan pekerjaannya di kantor." Aroma manis kamomil menyeruak, menusuk-nusuk penghidu dengan harum lavender yang melebur menjadi satu. "Kupikir ibumu memiliki alasan khusus kenapa memilihku ketimbang calon suamimu."

Jinan dibuat bungkam, mendadak lesu dengan pikiran yang kembali terpecah menjadi beberapa bagian. Benar, ini semua akibat ulah dari Min Yoongi, jika saja dia tidak melakuan hal gila itu, Jinan tentu akan baik-baik saja.

"Memangnya kau sakit apa, Ji?"

Memiringkan kepala, si gadis menyahut serak, "Demam, kurasa?"

Taehyung mengangguk paham, menyeduh kopi panas untuk dirinya sendiri sebelum turut menjatuhkan bokong tepat di sisi kiri si gadis. Sepasang obsidiannya jatuh pada jemari Jinan yang mengitari badan gelas, terlihat cantik dengan telunjuk yang sesekali mengetuk ringan. Gadis itu tampak mengulum bibir bawahnya, tenggelam dalam lamunan yang justru membawanya terbang ke awang-gemawang, hingga secara sadar tak sadar, bibirnya mengucap sesuatu yang tidak seharusnya terucap.

"Haruskah aku membatalkannya?"

Kumpulan jemari Taehyung yang terulur guna menyentuh tangkai cangkir lekas terhenti, mengambang di udara sesaat sebelum diturunkan dan terlipat di atas meja, saling bertaut dengan perasaan aneh yang bergolak di dalam rongga dada. "Maksudmu, membatalkan pernikahan dengan Yoongi?"

Sementara di sisi lain, seakan belakang kepalanya baru saja dipukul menggunakan gada masif hingga kesadarannya yang sempat hilang mendadak kembali, Jinan merutuk di dalam hati. Tidak, tidak! Apa yang sedang kau pikirkan, Jinan! Ia jelas tidak akan melakukan hal nekat itu, sebab lebih dari apa pun, lima ratus undangan telah masuk dalam tahap cetak, siap dibagikan paling lambat tiga minggu ke depan, sepasang gaun pengantin juga telah dipesan. Well, semuanya sudah berjalan sejauh ini, tidak ada celah untuk kembali. Terlebih, bagaimana nasib Seulhee jika dirinya benar-benar membatalkan perjodohan ini? Tentu beliau akan menanggung rasa malu sepanjang sisa hidup.

Menggeleng cepat, menyesap cairan yang berada di dalam cangkir, Jinan berkilah, "Tidak, bukan sesuatu yang penting. Aku hanya meracau tidak jelas."

Namun di sana, di bawah temaram lampu juga sinar bulan yang menyelinap masuk di sela jendela yang tersingkap, Taehyung kembali memersiapkan sebuah sandiwara yang luar biasa, ia menangkup jemari Jinan dengan miliknya, membagi sekelumit rasa yang tersirat dalam manik kelamnya. "Lihat aku, Ji." Ini jelas bukan sesuatu benar, gadis tersebut bisa merasakannya, bahkan sejak ia memijakkan kaki dan duduk di kursi ini. "Katakan padaku, apa yang kau rasakan saat ini."

Permintaannya terdengar menuntut, seolah memaksa Jinan untuk mengatakan sesuatu yang sedari tadi hendak ditepisnya kuat-kuat.

"Kau hangat," jawab Jinan singkat. Ia tahu bahwa bukan jawaban ini yang diinginkan lelaki itu, tetapi ia jelas takkan mengikuti alur permainan yang tengah dijalankan.

Taehyung tertawa sumbang, mengaitkan salah satu tungkai ke kaki kursi dan membawa Jinan selangkah lebih dekat tanpa melepas tautan. "Tidakkah saat ini jantungmu berdegup kencang?" Suaranya bagaikan lonceng kematian yang baru saja dikumandangkan, melesat cepat, dan menembus hingga ke relung paling dalam. "Katakan yang sebenarnya, Ji. Aku tahu kau merasakan hal ini-kau mencintaiku, bukankah begitu?"

Kalimat tersebut sontak membuat Jinan membeliakkan mata, menepis genggaman Taehyung hingga tanpa sadar telah menjatuhkan gelas berisi kopi yang tersaji di atas meja, kepingan kacanya berhamburan sementara noda hitamnya melekat di pakaian. Taehyung terperangah, merasakan hawa panas yang langsung menyentuh kulit di perutnya. Ia menunduk sejemang, memerhatikan noda kuning kecokelatan yang mendominasi kemeja yang dikenakan, lantas berkedip sebanyak dua kali sebelum membuang napas panjang. "Baiklah, tidak usah dipikirkan. Kau diam saja di sini, tidak usah kemana-mana selagi aku membersihkannya, kaki cantikmu bisa terluka."

Taehyung beranjak, nyaris mengambil langkah pertama jika Jinan tak lekas menyela, sebuah pertanyaan yang sukses melumpuhkan seluruh sistem kerja otak juga jiwa dan raga, sesuatu yang tak pernah ia duga.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan, Taehyung?" Sesuatu seakan tengah memalu di atas kepalanya, ciptakan denyut yang hebat. "Merebutku dari Yoongi atau malah merebut Yoongi dariku?"

Jinan menatap kuyu, barangkali nyaris menangis tersedu-sedu. Ia telah memiliki hari-hari yang berat, takdir menuntunnya pada keadaan yang begitu rumit, harus merelakan masa muda dimana teman-temannya masih mengumbar canda dan tawa, pun menikmati kehidupan, namun kini, bukan hanya Yoongi yang menyeretnya pada kubangan neraka, tetapi lelaki di hadapannya ini juga.

Mendecih tak habis pikir, Taehyung membiarkan jemarinya menarik alas meja yang terhampar, sebabkan beberapa benda termasuk lilin beraroma jatuh menghantam lantai, kepingan kaca berhamburan di mana-mana, tetapi Taehyung seolah abai dan tetap melangkah mendekat ke arah si gadis, ia merunduk, menyamaratakan tinggi badan hingga ranumnya menemui telinga Jinan.

"Jadi, rencanaku sudah ketahuan, ya?"

Seluruh tubuh Jinan meremang, tak berdaya barang untuk memberi perlawanan, ia hanya diam dengan pandangan yang memburam, pelupuknya penuh dengan bulir air mata yang dalam hitungan detik telah bersiap untuk luruh menuruni belah pipi.

"Percayalah, Ji, dimanapun kau bersembunyi, aku akan tetap menemukanmu, juga tak peduli sejauh apa kau berlari, aku akan tetap mengejarmu."

Itu bukan perkataan yang bisa diremehkan layaknya permen karet sepah di dalam tempat sampah, Jinan tahu bagaimana kepribadian seorang Kim Taehyung, dia tidak suka dibantah, pula tidak suka jika keinginannya tak terpenuhi dengan sempurna. Manakala telapak tangan besarnya menyentuh leher, berikut labiumnya yang nyaris berlabuh di cuping telinga, benda pintar yang tersimpan di saku celananya mendadak berdering. Taehyung bergerak mundur, menciptakan jarak sekitar satu depa sembari menelisik ke arah nama yang tertampil di layar ponsel, kemudian berjalan menjauh tanpa meninggalkan sepatah kata.

Hal tersebut Jinan manfaatkan untuk melarikan diri, masuk ke dalam kamar dan tak lupa untuk menguncinya dari dalam. Demi Tuhan, rasanya Jinan ingin sekali membenturkan kepalanya, tak memedulikan darah yang barangkali akan mencuat kesana-kemari, membentuk kubangan kecil dengan aroma anyir yang bercampur getir.

Oh, bodoh sekali Jinan yang telah masuk ke dalam permainan licik Taehyung.

Di tengah ketakutan yang seakan mencekik lehernya hingga ia kehabisan pasokan oksigen di dalam paru-paru, Jinan menyempatkan sedikit waktu untuk mengetikkan pesan di kolom percakapan antara dirinya dengan Seulhee, tetapi sebelum ibu jarinya menekan opsi kirim, rasa ragu seketika menyergap. Bagaimana jika Taehyung melakukan hal yang lebih buruk terhadap Mama? Tidak, tidak, Jinan jelas takkan membiarkan hal tersebut terjadi. Lelaki itu tidak boleh melukai siapa pun, entah itu dirinya, juga sang ibunda.

Pikiran Jinan kemudian terpusat pada sang adik sepupu yang tadi siang izin menginap di rumah temannya, menyelesaikan tugas proyek musim panas sebelum sekolah dimulai sepekan dari sekarang. Benar, ini bukan ide yang buruk, Jinan bisa meminta Jay untuk turut membawa Heeseung, Sunghoon dan keempat temannya yang lain untuk kemari. Taehyung takkan berani berbuat macam-macam jika melihat ketujuh remaja tersebut, kendati tubuh mereka terbilang kurus dan belum memiliki riak otot, Jinan tentu masih ingat bagaimana si muda Jungwon bercerita bahwa mereka pernah melumpuhkan dua preman yang hendak merampok uang jajan mereka.

Setelah menemukan tanda pesannya terkirim, Jinan memilih menyandarkan punggung di belakang pintu, napasnya memburu, begitu juga dengan jantungnya yang bertalu. Saat ini ia tidak tahu harus menaruh kepercayaan kepada siapa, bagi Jinan, baik Yoongi maupun Taehyung, mereka sama-sama pendusta, manusia licik yang hendak memporak-porandakan kehidupan seseorang.

Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut, perkataan Yoongi memang ada benarnya, tak ada yang waras di antara mereka.

Jinan masih di sana, terpekur di antara malam yang kian merangsek naik, pendar bulan yang pasi terbias kecil oleh kaca transparan yang terpasang di bingkai jendela, jatuh menimpa ujung kaki tatkala dirinya bergerak memerbaiki posisi. Ia merapatkan punggung dengan sisi pintu yang dingin, menajamkan pendengaran pada derap langkah di dekat anak tangga teratas. Itu jelas bukan adik sepupunya, sebab baru beberapa menit yang lalu dirinya mengirim pesan, sementara jarak rumah Heeseung dengan rumahnya berada dikisaran enam kilometer.

Sebisa mungkin Jinan menahan napas, mengambil pemukul bisbol yang tergeletak tak jauh dari posisinya, memersiapkan diri jika sewaktu-waktu Taehyung datang dan mendobrak pintu yang menjadi penghalang.

Brak ...

Brak ...

Brak ...

Seketika gadis Kim itu beringsut menjauh, memandang nanar pada pintu yang bergetar hebat akibat ditendang secara berulang. Tampaknya Taehyung tengah menggila, melancarkan pukulan konstan-entah itu dengan tangan atau justru kedua kakinya. Selang lima menit berlalu, suara-suara mengerikan itu perlahan mengecil, dan tepat di menit kesebelas, semuanya berubah menjadi hening, benar-benar hening seolah sosok telah Taehyung lenyap ditelan bumi. Oleh sebab itu, meneguk sisa saliva yang berada di dalam mulut, Jinan memberanikan diri untuk membuka kunci.

Namun sial beribu sial, keputusan tersebut adalah hal paling buruk dari yang terburuk. Kim Taehyung masih di sana, berdiri dengan penuh luka, tangannya memar kebiru-biruan, dibalut percikan darah segar yang jatuh dan bersua dengan kaki telanjangnya. Surai legamnya berantakan, serupa dengan kemeja putih yang diciprati noda. Jinan nyaris mencicit seperti tikus selokan yang sekarat, tetapi figur tinggi nan tegap tersebut lebih dulu jatuh menghantam tubuhnya. "Jangan khawatir, Ji. Cepat atau lambat, kupastikan kau akan mencintaiku." []

•••


a/n: setelah sekian bulan tidak membelai cerita ini, akhirnya aku bisa update lagi, hehe. jadi, kalian ada di tim mana nih? taehyung atau yoongi? untuk lembar sembilan dan selanjutnya, tolong jangan kaget ya, siapin hati kalian mulai dari sekarang.

juga, kemaren aku sempat nanya mengenai konten yang dimuat sama cerita ini, beberapa chap menurutku sangat eksplisit, mendetail. ada yang jawab kalo mereka fine-fine aja, karena memang sebelumnya sudah dijelaskan di deskripsi cerita. tapi, aku mau nanya lagi di sini, takut notif pengumuman waktu itu ga masuk atau mungkin tenggelam.

perlukah AHHW direvisi untuk bagian-bagian eksplisit agar lebih implisit? jujur, aku takut kalian sebagai pembaca merasa kurang nyaman. jadi kupikir, akan lebih baik kalo aku diskusiin dulu sama kalian.

itu aja dari aku, sampai jumpa di lembar selanjutnya. stay safe and healthy, mate!

Continue Reading

You'll Also Like

81.4K 7.8K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
55.1K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
62.2K 12.5K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
827K 87.4K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...