Sore of The Hiraeth [OffGun]

Cootsaa द्वारा

19.6K 2.9K 796

[ONGOING] 2025, gerbang dimensi manusia-iblis terbuka. Iblis turun ke bumi dan menghancurkan peradaban teknol... अधिक

Prolog
1. Special Class
2. The Truest Place
3. Lunar Eclipse [SingKit]
4. Eternal Full Moon [SingKit]
5. A Fallen Flower [TayNew]
6. Blooming Petals [TayNew]
7. Dark Azure
8. Laridae Eyes
9. Lachrymose Rain
10. Magic Cub
11. Soul-Shatter Sword
12. One Thousand
13. Nightfall Wish
14. Not Me
15. Forgotten Constellation
16. Egg Friends
17. A Pair of Sore
18. Time Interval
20. Battledore And Shuttlecock
21. The Breath of Life
22. Soul Qualia
23. Bird of Jove
24. Eager Eagle
25. A Dream And A Nightmare
26. Cave of The Abyss
27. Soul of The Abyss
28. Fairies of The Abyss

19. Fireflies Luciferin

942 113 52
Cootsaa द्वारा


[Source: https://plunketts.net/blog/fireflies]


Pecahan Kesembilan Belas

Fireflies Luciferin



Satu kelopak kuning cassia fistula terlepas dari tangkai, terbawa angin, meliuk-liuk dan berayun di udara. Angin berhembus sedikit lebih kuat, melepaskan lebih banyak kelopak-kelopak kuning dan menghamburkannya di halaman asrama. Satu kelopak terbang lebih tinggi, terbawa angin sampai menabrak kaca jendela salah satu kamar di deretan lantai dua, tertahan sebentar oleh angin yang mendorongnya, lalu luruh ke dasar bingkai.

Off Adulkittiporn mendorong daun jendela kamarnya keluar, menimbulkan derak ringan, menyapu satu kelopak kuning cassia fistula dan meruntuhkannya jatuh tenang di atas rerumputan. Angin pagi ini terasa dingin di kulit Off, berbanding terbalik dengan nafasnya yang sedikit terasa panas. Walau begitu, Off merasa tubuh dan kepalanya lebih ringan.

Off berbalik badan memunggungi jendela, memperhatikan Gun yang menggeliat karena terusik silau matahari, lalu kembali bergelung dalam selimut. Off terkekeh pelan.

Off berjalan mendekati ranjang, lalu tengkurap di samping tubuh Gun yang tertutup selimut, menyisakan sedikit rambut yang menyembul. Off memainkan helai-helai rambut lembut itu dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menyangga dagu.

"Bangun. Sudah pagi."

"Eumm..."

"Pernah dengar tidak? Katanya, kebanyakan tidur bisa menghambat pertumbuhan tubuh."

Gun menurunkan selimut sebatas leher, menatap Off dengan mata ngantuknya.

"Benarkah?"

Off terkekeh ringan. "Iya, pendek."

Gun cemberut. Ia memegang tangan Off yang memainkan rambutnya. Perlahan, Gun menarik tangan itu dan membawanya di depan wajah, lalu menggenggamnya dengan kedua tangan.

"Pendek terus juga tidak apa-apa."

"Kenapa?"

"Biar pas kalau dipeluk."

Mata Off membola. Senyum yang kelewat lebar terulas di bibirnya.

"Aku tidak tahu kamu bisa menggodaku, Gun." Derai tawa Off menyusul setelah ucapannya.

Bibir Gun semakin mengerucut. "Krist bilang, kalau aku tidak belajar menjaga hubungan, nanti kamu bosan."

Off semakin tertawa mendengarnya.

"Aku tidak akan bosan denganmu. Kamu diam saja sudah selucu ini." Off mencubit pipi Gun pelan. "Bagaimana aku bisa bosan?"

"Jangan menggodaku." Gun mencicit, membuat Off tertawa lagi. Gun memperhatikan kemeja Off yang sudah rapi. Gun juga baru sadar, rambut Off sedikit mengkilap karena basah. "Mau kemana?"

Off melihat pakaiannya sendiri, lalu beralih pada mata Gun lagi.

"Hari ini jadwalku berlatih pedang. Kau tahu aku belum terlalu mahir." Off mengangkat pergelangan tangan, memperlihatkan gelang perak yang melingkar. "Terutama mengendalikan Hitam."

Api putih dan dark sousha adalah kekuatan sama besar yang menyerap stamina pengguna.

Gun memegang pergelangan tangan Off, mengusap-usap gelang perak itu dengan ibu jarinya.

"Jangan pergi."

"Hm?"

"Hari ini bolos saja."

Off mengacak rambut Gun yang memang masih berantakan.

"Kamu mengkhawatirkanku, hmm? Aku baik-baik saja."

"Aku tidak mengkhawatirkanmu."

"Lalu?"

"Aku..." Gun meninggikan selimut setinggi hidung, menyembunyikan pipi yang mungkin akan merona. "...ingin denganmu."

"Apa? Aku tidak dengar."

Gun menarik selimut semakin tinggi, menutup seluruh wajah yang telah merata merah. "Ingin seharian denganmu."

Off tercenung, diam-diam mulai meragukan fungsi pendengarannya.

"Eh?"

Gun kembali menurunkan selimut sampai di bawah mata. "Tidak mau?"

"Mau. Tentu saja mau. Tapi—"

"Kalau tidak mau ya sudah."

Gun membuka selimutnya, lalu bergerak turun dari kasur, berniat menuju kamar mandi.

Off buru-buru duduk dan menarik pergelangan tangan Gun yang sudah berdiri, pelan-pelan membawanya kembali duduk di atas ranjang.

"Iya, aku mau. Aku akan bolos hari ini untuk menemanimu seharian, sayangku."

Panas menjalar di seluruh pipi hingga telinga. Gun bergerak reflek menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Off mengusap rambut hitam Gun gemas. Perlahan, tangan Off bergerak turun menelusuri pipi. Masih sama lembut seperti yang ia ingat terakhir kali. Ibu jari Off bermain sebentar di sana, mengusap dan sedikit mencubitnya, sebelum akhirnya turun sampai ke dagu. Off menarik dagu Gun, memintanya untuk kembali bertatapan.

Saat arah mata Gun mengarah pada mata Off, pandangan Off justru turun, mengunci diri pada bagian wajah Gun yang lain.

"Kamu lebih suka..." Ibu jari Off bergerak pelan di permukaan bibir bawah Gun, merasakan kelembutan dengan tangannya. "...ciuman yang di desa Kou atau di rumah keluarga Kirdpan?"

Bola mata Gun melirik ke samping, menatap ubin-ubin yang seolah sedang turut menggodanya.

"A-Aku tidak tahu."

Ibu jari Off masih bergerak menyusuri bibir Gun dari satu sudut ke sudut yang lain, diam-diam menandai area yang ingin ia jelajahi dengan bibirnya sendiri.

"Atau mau coba jenis yang lain?"

Gun mengerjap polos. "Memang ciuman ada berapa jenis?"

Tawa Off bersemai ringan, menaburkan benih-benih kebahagiaan yang menghangatkan.

"Ayo kita coba jenis yang ketiga, ciuman yang membuatmu kehabisan nafas."

"Eh?" Gun tidak bisa membayangkan ciuman itu dalam benaknya. Tapi ia merasa malu. Saat kepalanya hendak menunduk, Off lebih dulu menahan dagu, membuat wajah mungil itu tertahan mendongak.

Off mengulas senyum menenangkan, menatap mata Gun memberi keteduhan. Dua mata coklat tua Off masuk dalam azure gelap Gun, berenang jauh ke dalam, mengunci diri dan tidak ingin kembali. Dari seluruh tatapan hangat dan menenangkan yang Off beri, diam-diam, Off menyisipkan keberanian, membuat Gun berani untuk mengangguk pelan, lalu menutup mata, mempercayakan dirinya pada Off saja.

Langit pagi ini menghampar biru cerah. Matahari tidak enggan bertengger sejak pagi, menemani cicit merdu sepasang padda oryzivora di ranting-ranting cassia fistula.

Dalam hangat sinar matahari yang menyembul masuk dari jendela, ditemani kicau hangat padda oryzivora, Off mendekatkan wajahnya, menggenggam lembut rasa percaya yang telah diserahkan suka rela. Di luar, kelopak-kelopak kuning cassia fistula berguguran. Di dalam hati Off maupun Gun, perasaan bahagia bertumbuh dan mengembang, memekarkan kelopak warna-warni yang membawa kehangatan.

Off menatap bibir ranum di depannya lekat-lekat, sebelum akhirnya turut menutup mata. Memangkas jarak kedua bibir untuk merimbunkan kehangatan dalam dada.

Ceklek!

"Peng, aku bawa sa—" Sepersekian detik setelah pintu terbuka, mata Tay membola.

New—yang berdiri di belakang Tay—menarik lengan Tay keluar, lalu menutup pintu kamar Off rapat-rapat.

Off dan Gun bergerak reflek menjauh, lalu merasa canggung. Gun berdiri tergesa, mengembalikan kesadaran yang sempat mengambang di udara.

"A-Aku akan mandi."

Sebelum Gun beranjak pergi, Off bergerak cepat menarik pergelangan tangan Gun.

"Tunggu. Kamu bawa baju ganti?"

Keberanian yang sempat Off beri menguap tanpa sisa. Membuat Gun benar-benar tidak berani menatap lawan bicara. Gun menggeleng sambil menghitung ubin-ubin di bawah kakinya.

Off merekahkan senyum. "Ambil handuk di lemari, paling atas sebelah kiri. Kalau sudah selesai panggil saja, akan ku siapkan baju untuk kamu pakai."

Gun mengangguk cepat, lalu buru-buru beranjak pergi.

Setelah tubuh Gun menghilang di balik pintu kamar mandi, Off berdecak kesal. Ia berjalan ke arah pintu, membukanya dengan murka. Ingin sekali ia melepas daun pintu, lalu melemparnya pada teman-temannya yang tersenyum tanpa dosa di depan kamarnya.

"Mau apa?" Hardik Off dengan mata tajam. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, mati-matian menahan diri untuk tidak memukul teman-temannya.

Tay bersembunyi di belakang tubuh Hin-nya. "Dia marah, Hin. Bagaimana ini?"

New menyunggingkan senyum cerah. "Kami membawa sarapan. Ku pikir kamu belum sembuh hehe." New mengulurkan tangan, memberikan dua kantung makanan.

Off melirik kesal, lalu mengambil kantung makanan itu sama kesal. "Aku sudah akan sembuh kalau kalian tidak datang dan mengganggu proses pengobatanku."

New menarik paksa Te-nya agar berdiri di sampingnya, bertarung melawan kemarahan Off sama-sama.

"Aku tidak tahu kalau kalian sudah..." New menggigit bibir sebentar, ragu-ragu berucap. "...pacaran."

Off menghela nafas kasar, menitipkan kekesalan dan amarah pada udara yang berhembus hangat di sekitarnya. Off merasa pusing tiba-tiba.

"Sudah, kan? Sana pergi." Off hendak beranjak masuk, membuat dua pasang mata temannya membola.

"Oii, peng!"

Off menoleh malas. "Apa lagi?"

"Astaga, kau ini tega sekali. Teman bukan sih?"

"Bukan."

"Oke, baiklah. Kami minta maaf karena mengganggu waktu kalian. Setidaknya beri kami izin masuk untuk duduk dan menjenguk."

Off menarik daun pintu, menyisakan akses sebesar tubuhnya saja.

"Menjenguk siapa? Aku sudah sembuh. Sudah sana pulang."

Off hampir saja menutup pintu jika Tay tidak segera menahannya.

"Aish, kau ini benar-benar tega sekali."

"Apa lagiiii?"

"Sebentar." Tay merogoh saku celana cepat-cepat, lalu memberi satu carik kertas yang dilipat tidak rapi. "Untuk Gun, dari Mama Godji. Kemarin aku memberi kabar tentang Gun yang menginap di asrama tiba-tiba. Setelah ku beritahu kalau kau sakit, Mama Godji memberi izin menginap sampai kau sembuh."

Off meraih surat beramplop yang sudah terbuka. Mungkin Tay lebih dulu membaca karena mengira surat itu untuknya. Terlihat nama keluarga bangsawan Kirdpan tergores sangat rapi di ujung amplop.

"Akan ku berikan setelah Gun selesai mandi."

"Mandi?" Tay menatap New sebentar, lalu matanya kembali melebar.

"Bukan begitu, bodoh!" Off memukul kepala sahabatnya pelan. "Hanya mandi biasa. Kami belum melakukan apa-apa."

"Belum?" New melirik antusias. Senyum usil terbit di bibirnya. "Belum, ya? Hmmm..."

Off menautkan alis, merasa kesal. "Sudah sana pergi!"

Tanpa ragu, Off menutup pintu. Membiarkan tawa dua temannya bertabur di koridor asrama.

***

"Gun."

Gun sedang membaca surat dari Mama Godji. Isinya tidak banyak, hanya tulisan pendek dan sederhana yang memberi tahu bahwa Mama Godji senang atas tindakan Gun merawat teman. Juga beberapa pesan untuk menjaga makan agar tidak turut sakit. Ia sempat terkekeh beberapa kali saat mendapati beberapa kata yang ditulis tergesa, hingga menghilangkan beberapa huruf yang seharusnya ada.

"Gun."

Gun menurunkan tangan yang memegang surat, lalu menoleh ke sisi kanan.

"Kenapa?"

Mereka usai sarapan. Gun sudah mengingatkan Off untuk minum obat. Gun tidak berfikir ada hal yang terlewat.

"Gunnn... Aku sakit."

"Hah? Sakit? Di bagian mana?"

Mereka tengah duduk berdampingan di atas kasur, dengan punggung yang sama-sama menyandar kepala ranjang. Setelah minum obat, Off memutuskan untuk membaca buku, membiarkan Gun membaca surat dari mamanya.

"Kepalaku sakit. Aku ingin merebahkan badan."

Gun mengambil bantal yang berserak di tengah kasur, lalu meletakkan bantal putih itu di sampingnya.

"Sini." Gun menepuk bantal itu dua kali.

Off menatap bantal itu dengan raut sedih. Ia menggeleng. "Tidak mau."

Dahi Gun mengernyit. "Lalu?"

Off tersenyum kecil. Tanpa sungkan, ia merebahkan kepala di atas paha Gun, menghadap ke atas, menatap wajah terkejut Gun dengan senyum senangnya.

"Mau di sini. Bantalnya untuk punggungmu saja, biar tidak sakit."

Malu-malu, Gun mengangguk, lalu memindahkan bantal ke belakang punggung sebagai sandaran.

Bahagia itu aneh, bisa lahir dari hal-hal sederhana yang sering terlihat atau terdengar. Nyatanya, bahagia bukan tentang apa. Tapi tentang siapa. Hal sekecil apapun yang dilakukan, jika bersama orang yang dirasa seperti rumah, maka bahagia bisa bertunas, bertumbuh, merimbun, dan merekah. Lalu bunga-bunganya bersemi dengan kehangatan warna-warni yang harumnya menyerbak ke seluruh penjuru arah.

Off meletakkan buku yang ia baca di atas dada, mencoba mengingat-ingat sesuatu yang mungkin perlu dibahas.

"Oh iya, Gun."

Gun menunduk. "Hmm?"

"Semalam, kamu tidak mengunci pintu?"

Gun menutup wajah dengan selembar surat di tangannya, tiba-tiba teringat kejadian pagi ini.

"Maaf... Aku lupa."

Off tertawa pelan. "Andai kamu tidak lupa..."

Gun menoleh ke jendela, berusaha mengalihkan pikirannya.

"Malam ini..." Off mengangkat buku, kembali menenggelamkan diri dalam pemahaman baru tentang sejarah Crissia. "Jangan lupa kunci pintu ya."

Wajah Gun memerah, terlalu merah untuk diperlihatkan. Walau Off sedang fokus membaca buku, Gun membentengi wajahnya dengan kedua tangan, berharap panas yang menjalar cepat-cepat mereda.

Off menguap lebar. Ia meletakkan buku di samping tubuh sembarangan.

"Efek obatnya kuat sekali."

Off meluruskan badan, meletakkan kepala di atas bantal dengan benar, lalu menarik-narik lengan baju Gun.

"Ke-Kenapa?"

"Ayo tidur."

"T-Tapi ini masih pagi. Eh, tapi kalau kamu tidur saja. Kan kamu sakit."

Off melingkarkan lengan di perut Gun. Matanya terlalu berat untuk ditahan.

"Jangan pergi." Kalimat terakhir Off sebelum disusul nafas halus dalam lelapnya.

Gun meletakkan surat di atas nakas di samping tempat tidur. Perlahan, ia turut merebahkan diri di samping Off. Dengan tangan Off yang masih melingkar di perutnya, Gun memiringkan tubuh hati-hati, tidak ingin membuat Off terbangun.

Setelah berbaring berhadapan, Gun menatap wajah pulas Off dengan senyum senang. Kalau seperti ini, ia tidak perlu malu menatap wajah itu. Pelan-pelan, Gun mengusap pipi Off. Lalu merona karena ulahnya sendiri. Begitu terus berulang-ulang. Tanpa bosan. Tanpa paksaan. Tanpa kesedihan.

Andai waktu bisa mengabulkan satu permintaan, Gun ingin berada di titik ini selamanya; Hangat dan bahagia.

***

"Selamat malam, Tuan Ranking Satu."

Krist tersenyum di depan pintu. Singto hanya berdiri di samping Krist dengan memasang raut datar.

Off menautkan alis. "Mau apa malam-malam?"

Krist melongok ke dalam kamar, mendapati Gun yang berdiri di belakang Off. Tubuh mungilnya tertutup sempurna oleh tubuh jangkung Off. Atau mungkin, laki-laki jangkung itu sengaja sedang menyembunyikan keberadaannya.

"Tadi pagi Tay dan New ke kamarku. Mereka bilang tidak boleh menjengukmu."

Off teringat peristiwa tadi pagi. "Aku mengusir mereka."

"Memangnya mereka melakukan apa?"

"Mereka tidak cerita? Baguslah."

"Apa sih? Aku penasaran."

"Bukan apa-apa. Kenapa kalian kemari? Kalau tidak ada apa-apa sana pergi. Kalian tidak bosan melihatku setiap hari?"

"Kamu mengusirku?"

"Aku mengusir kalian berdua, Tuan Ranking Empat dan Tuan Ranking Dua. Rasanya tidak adil kalau hanya Tay dan New saja yang ku usir."

"Ya sudah." Krist menatap Singto sebentar, meminta persetujuan. Setelah mendapat satu anggukan, Krist kembali angkat bicara. "Kami akan pergi. Nikmati malam pertama kalian, pengantin baru."

Off hampir saja menyodorkan tinju, tapi Singto lebih dulu menarik Krist menjauh. Tidak berniat mengganggu lebih lama.

Setelah mereka sudah berjalan cukup jauh, Off cepat-cepat menutup pintu kamar, tidak lupa menguncinya. Off berbalik badan, tapi tidak menemukan Gun di belakangnya. Mata Off menyapu sekeliling, lalu berhenti pada Gun yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan jendela yang terbuka. Off tersenyum samar, lalu mendekatinya.

"Belum ngantuk?"

Gun menoleh sebentar. Tidak lama, pandangannya kembali terpaku pada pemandangan di luar jendela. Off berdiri di samping Gun, cukup penasaran pada apa yang membuat Gun begitu terpesona.

"Lihat!" Gun menunjuk salah satu pohon di seberang jalan, cukup jauh dari asrama. Pohon yang hanya terlihat siluet hitamnya saja, namun banyak kerlip kunang-kunang hinggap di sana. "Indah, ya?"

Bising jangkrik mengalun merdu, menemani gemerisik alunan angin yang melambaikan pucuk-pucuk dahan pohon. Malam ini cukup cerah. Banyak bintang bertabur dan menghampar. Sayangnya, bulan sedang tidak bercengkrama dengan mereka.

"Aku pernah membaca buku tentang kunang-kunang." Off menatap lurus, mengikuti arah pandang manusia mungil di sampingnya. "Kerlip mereka difungsikan sebagai penarik perhatian ketika mencari pasangan."

"Benarkah?" Gun menatap antusias.

Off seperti bisa melihat tiga kerlip menghampar di depannya; kerlip bintang di langit, kerlip kunang-kunang di siluet pepohonan, dan kerlip azure gelap yang berpendar di mata Gun.

"Satu kunang-kunang akan berkedip untuk memberi signal, lalu kunang-kunang lain yang tertarik akan turut berkedip juga. Mereka menggunakan cahaya yang ada dalam dirinya untuk saling menemukan."

Gun tersenyum lembut, menatap jauh pada kerlipan kunang-kunang di seberang jalan.

"Aku jadi ingin menjadi kunang-kunang."

Angin bersemilir pelan, menyapa malam yang tampak riang.

"Kamu tidak perlu menjadi kunang-kunang, Gun. Tanpa perlu bersusah payah menjadi orang lain, aku sudah menyukaimu." Off menatap Gun yang tanpa Off sadari sudah lebih dulu menatapnya. Off tersenyum samar, lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku menyukaimu yang berpendar dengan cahayamu sendiri."

Mata mereka bertemu, saling terpaku dan mengunci, tidak rela beralih lagi. Selain suara riuh jangkrik dan semilir angin, malam sedang sunyi. Mereka mulai bisa mendengar deru nafas masing-masing.

"Kadang aku bingung, Off."

Off terheran. "Bingung kenapa?"

"Bagaimana ya, cara untuk berhenti jatuh cinta padamu?"

Off terkekeh pelan, membuat tatapan mereka terputus sebentar, sebelum akhirnya bertaut lebih lama. Off sedikit menunduk, mensejajarkan wajahnya pada wajah mungil di depannya.

"Jangan berhenti, Gun. Jangan pernah." Off berbisik lirih. "Karena aku juga begitu."

Beberapa saat, mereka saling menenggelamkan diri dalam tatapan masing-masing, sampai akhirnya, keduanya memutus tatapan dengan memejamkan kelopak mata. Off memiringkan wajah, mencari akses leluasa pada penguin lips di depannya.

Semilir angin berhembus lembut, menerbangkan ujung helai rambut keduanya. Cukup dingin sebenarnya. Tapi dinginnya tidak sampai pada mereka.

Off yang lebih dulu berinisiatif mencecap lembut rasa manis yang tertinggal di bibir Gun. Walau sudah dihisap berkali-kali, rasa manis itu tidak pernah pudar. Justru kian manis pada tiap kecap selanjutnya.

Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya Gun memberanikan diri melakukan hal yang sama, menyesap halus segala keberanian yang Off punya, lalu menanamkan serpihan-serpihan keberanian itu pada dirinya sendiri. Berani untuk memulai, berani untuk belajar, dan berani untuk menjaga. Kehangatan yang mereka genggam saat ini mungkin tidak berlangsung lama. Mungkin mereka akan menghadapi luka. Tapi lewat keberanian yang telah mereka bagi, mereka akan menghadapi luka sama-sama.

Off menjauhkan bibirnya beberapa senti, mengamati bibir Gun yang memerah dan mengkilap.

"Kenapa berhenti?"

Off menggeleng. Tangan Off bergerak lembut ke tengkuk Gun, mengusapnya penuh sayang.

"Buka mulut, boleh?"

Gun mengerjap tidak mengerti, tapi menurut saja. Ia sedikit membuka mulutnya. Dan beberapa detik setelahnya, Off kembali menyerang lembut rongga manis di depannya, mengecap seluruh sukrosa di dalam sana.

Tangan kanan Gun menggenggam erat bingkai jendela, mencari tumpuan agar tetap seimbang. Off menarik pinggang Gun, menipiskan jarak di antara mereka.

Gun kembali belajar, bahwa dalam hidupnya, bukan lagi tentang mempercayai saja. Tapi ia juga ingin dipercaya. Seperti Off yang berjanji akan melindunginya, Gun juga ingin melakukan hal serupa. Seperti Off yang selalu ingin di sisinya, Gun juga merasakan hal yang sama. Oleh karena itu, untuk mengais kepercayaan orang terpenting dalam hidupnya, Gun pun melakukan hal yang sama. Memberanikan diri melesakkan lidah ke dalam sana, saling bertaut, saling berpagut, saling bertukar saliva.

Tidak serasi, memang. Belum. Tapi toh, untuk apa buru-buru, mereka memiliki waktu sepanjang malam.

Hingga beberapa pasang kunang-kunang telah saling menemukan, dan posisi bintang di cakrawala bergeser sedikit ke arah barat, mereka akhirnya dapat mengalunkan kecapan berirama. Meriuhkan udara kamar dengan melodi lembut penuh bunga-bunga.

Darah mereka berdesir, detak jantung berdebar, dan nafas tersengal. Bibir keduanya mulai memerah dan sedikit membengkak. Terutama Gun. Tapi siapa yang peduli. Dengan sesekali jeda untuk mengambil nafas, mereka kembali bertaut lembut. Mengiringi malam yang panjang dengan berbagi kehangatan.

Aku mencintaimu... Aku mencintaimu...

Walau tanpa suara, hati mereka seolah memiliki telinga, menyambut riuh nada yang diteriakkan dengan penuh suka cita. Disaksikan ratusan kunang-kunang dan ratusan bintang-bintang, mereka saling menyerahkan diri, saling memastikan bahwa mereka tidak sedang jatuh sendirian.


__________________________________

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

1.3K 62 7
Cerita ini sepenuhnya milik kak Shanti Agatha Saya hanya me remake-nya ke versi bxb Jimmy jitaraphol adalah seorang pengusaha sukses keturunan dari...
73.7K 4.1K 14
jika dengan kepergianku membuatmu bahagia,maka akan ku lakukan..!! aku tak sanggup jika melihatmu terluka karena rasa cinta ini..!! dan kuharap ketik...
Rixandalbert | FortPeat saturn द्वारा

सामान्य साहित्य

3.1K 311 9
Fort adalah seorang pangeran yang tampan dan menawan, sementara Peat adalah rakyat biasa yang tinggal di rumah ujung desa dan harus mencari buah untu...
12.4K 1.2K 10
Di kehidupan ini aku mencintaimu lebih dari apapun dan akan selamanya begitu. Namun waktu tak sepanjang itu, takdir telah memanggil ku pulang, dengan...