Step On The Lament || {TOMARR...

By Flair_12

37K 4.2K 619

Horcrux dalam diri Harry Potter berubah menjadi sebuah janin, yang kemudian lahir sebagai bayi perempuan pali... More

2. Lament
3. Golden Gloom
4. Pieces Of Soul
5. A Bridge To Connect
6. The Dove Hums
7. Beyond The Sleep
8. House of Lotus
9. Foreign Portraits
Suratku, Untuk Kamu
Pengumuman
10. Dark Thoughts
11. Hope

1. Birth and Death

6.1K 543 91
By Flair_12

Voldemort dan Pelahap Maut Lingkaran Dalam sama sekali tidak mengharapkan ini.

Awalnya mereka sangat gembira, senang, dan merasakan kemenangan semakin dekat menjadi milik mereka saat mereka berhasil menangkap Harry Bloody Potter. Yang tidak mereka duga adalah bahwa remaja enam belas tahun itu hamil, dan akan segera melahirkan tepat saat mereka menangkapnya.

Rupanya remaja itu menyembunyikan kehamilannya dengan glamour selama ini dari semua orang. Albus Terlalu Banyak Nama Dumbledore bahkan tak tahu mengenai kehamilan Anak Emas.

Darah Murni sangat menghargai anak. Saat menyadari kalau remaja itu akan melahirkan, mereka sangat panik. Harry dibaringkan di salah satu ranjang kamar tamu, mengganti pakaiannya dengan kemeja katun, dan dipandu oleh Bellatrix dalam menstabilkan pernapasan. Di kamar itu ada Narcissa, Bellatrix yang ajaibnya sangat waras dan membantu proses persalinan, Severus Snape, dan sisanya didorong keluar dari ruangan.

Harry berkeringat, sangat gerah. Perutnya sakit merasakan kontraksi. Dia terengah-engah. Bellatrix di sisi kanannya membersihkan keringatnya dengan sepotong handuk putih bersih. Tangan kanan Harry menggenggam tangannya yang bebas, memejamkan mata saat merasakan serangan kontraksi bayinya.

Setelah dua jam sebelumnya mengalami perubahan jalan keluar lahiran berdarah-darah, sekarang dia mengalami pembukaan, masih tujuh sentimeter - butuh tiga lagi, sedang bayinya terasa sangat tidak sabaran untuk terlahir ke dunia.

"Ambil napas lewat hidungmu, Harry, tahan dan keluarkan lewat mulut. Ayo, ikuti aku! Tarik napas, tahan...hembuskan." Harry mendengar Bellatrix membimbingnya, Harry mengikuti.

Dia menarik napasnya dan mengeluarkannya seperti yang Bellatrix katakan. Dia menjerit tertahan saat sakit yang ia rasakan semakin intens. "Merlin...bagaimana Mrs. Weasley melakukan ini sebanyak tujuh kali?!" Harry berseru jengkel. Dia mendengar ketiga orang di ruangan itu mendengus geli. "Kau bisa menanyakan itu padanya setelah ini selesai. Ayo Harry, ini pas sepuluh. Dorong!" Narcissa memberinya semangat.

Harry mendorong, menjerit kesakitan saat dia mendorong. "Ow...ini menyakitkan! Sungguh keajaiban kalian para wanita!" Dia mengoceh lagi-lagi, hanya untuk kemudian menjerit lagi.

"Bagus, bagus Harry! Kepalanya hampir keluar sepenuhnya, ayo dorong lagi!" Suara Narcissa kembali terdengar.

Harry mengejan keras, berteriak di ujung mengeluarkan lebih deras keringat. Beberapa saat kemudian dia merasakan sesuatu 'meluncur' keluar, diiringi tangisan memekakkan bayi yang menggema menabrak sunyi.

Keempatnya terdiam, begitu terlalu terpesona dengan tangisan bayi itu. Harry sendiri merasa sangat terharu, dia melupakan rasa sakitnya sepenuhnya, pikiran terfokus penuh pada bayi. Sebelum suatu perasaan asing menderanya lagi, dan perasaan itu tidak baik.

"Selamat, Harry. Ini perempuan, bayi yang sangat cantik. Severus," Narcissa menggendong bayi itu menuju Severus yang singgap membaca beberapa mantra untuk membersihkan bayi itu dari darah dan memotong tali pusarnya, kemudian membungkusnya dengan selimut bayi berwarna merah muda lembut.

"Bellatrix," Harry memanggil dengan suara lemah, lebih seperti berbisik, memiringkan kepalanya ke Bellatrix.

Bellatrix menoleh padanya, tersentak melihat raut wajah Harry yang terlihat sangat lelah, remaja itu lemas. "Ya?"

Dengan napas terengah-engah, dia berbisik. "Call...call him, Bellatrix...call him,"

"Who?"

Masih berusaha menstabilkan napasnya, dia menyebutkan satu nama. "Voldemort."

******

Hanya tersisa Voldemort, Lucius, dan si kembar Lestrange bersaudara yang masih tinggal di manor, menunggu tepat di sebelah ruang persalinan bocah Potter ditemani cemilan yang dibawakan oleh peri rumah. Keempatnya merasa ngeri mendengar teriakan bocah Potter yang berhasil menembus dinding, keempatnya baru merasa lega begitu mendengar tangisan bayi keras.

Pintu terbuka, menampilkan Bellatrix dalam tampilan gugup. "Tuanku, Potter memanggilmu."

Voldemort mengangkat alisnya penasaran, tapi meletakkan kembali cangkir tehnya dan berdiri mengikuti Bellatrix menuju kamar sebelah, hanya untuk melihat pemandangan luar biasa yang membuat jantungnya terasa berdenyut.

Bellatrix menyingkir dan Voldemort mendekati ranjang, memandang dengan penuh perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan. Remaja itu duduk dengan bantal-bantal disusun di belakangnya.

Dia...terpesona.

Dia tahu sejak awal, tapi baru menyadarinya saat ini. Dia tahu Harry Potter adalah anak yang sangat cantik berdasarkan cerita-cerita Pelahap Mautnya.
. Rambutnya yang hitam legam bergelombang tumbuh sedikit lebih panjang hingga menyentuh pundak jatuh membingkai wajahnya, kulitnya pucat dan basah oleh keringat - menghasilkan kilau yang bercahaya di bawah sinar bulan yang menyelinap dari balik kaca jendela. Bibirnya merah seperti darah empuk berisi mengundang untuk dicicipi, tulang pipinya yang tinggi sama sekali tidak mempengaruhi raut wajahnya yang lembut, matanya hijau cerah seperti kutukan pembunuh - membara akan tekad dan semangat api muda, bekaca-kaca oleh air mata kebahagiaan akan kelahiran bayinya.

Voldemort tanpa sadar menahan napas saat sosok yang telah menghipnotisnya menolehkan kepala padanya dan menggulum senyum lembut. Semakin tua, Harry Potter tumbuh semakin cantik. Tak ada kata untuk Voldemort gambarkan sosok Harry Potter selain cantik dan indah.

"Tinggalkan kami." Titah Voldemort, segera ketiga bawahannya membungkuk undur diri.

"Potter." Kata Voldemort, mendekati Harry, berdiri di sisi kasur memandang bocah cantik itu.

"Just Harry."

"Harry, then." Voldemort mengamati dengan bingung saat Pot-Harry menepuk sisi kasur di sebelahnya, menyuruh Voldemort untuk duduk di sana. Voldemort tak banyak tanya, dia menurut dan duduk.

Mata merah Voldemort memandang bayi yang baru saja dilahirkan. Kulitnya merah, dan jelas mewarisi wajah ibunya. Untuk beberapa saat, mereka tak membuka suara, sama-sama memandang bayi dalam pelukan Harry.

Bayi kecil dalam balutan selimut itu menggeliat, mulutnya bergerak-gerak mencari sesuatu sebelum akhirnya merengek. Harry bergerak dan bersenandung pelan, menimang bayi itu dengan menepuk-nepuknya pelan dengan tangan kirinya, sedang jari tangan kanannya membuka tiga kancing teratas kemeja katunnya.

Voldemort membelalak kaget setelahnya saat melihat Harry meletakkan puting merah muda dadanya yang sedikit berisi ke mulut si bayi. Voldemort memandang bayi itu dengan perasaan aneh seperti...iri.

Tunggu, batinnya, kenapa aku harus iri pada bayi?!

"Dia sangat kecil." Voldemort mendengar Harry bergumam. Remaja itu memandang bayinya dengan penuh cinta, pandangan yang dulu Voldemort harapkan sewaktu masih bau kencur.

"Siapa namanya?" Voldemort berbisik, dia mengulurkan tangan, menyentuh pipi merah bayi rapuh itu dengan hati-hati. Menyadari betapa lembutnya mereka.

Ibu si bayi bersenandung, ikut mengelus lembut pucuk kepala si bayi. "Nama? Ah..tadinya ingin kunamai Carina, tapi setelah kupikir lagi nama itu kurang tepat."

Voldemort mendengus samar. Perkiraannya meleset. Dia pikir bocah ini akan menamainya menggunakan nama neneknya, Lily. Atau variasi di antaranya seperti Lilith atau Lilian. Dia tak menyangka remaja beranak satu ini tak berpikiran sempit dalam menamai anaknya.

"Athlarien."

"Nama tengahnya?"

"Aku tidak tahu," Harry menggelengkan kepalanya pelan, menoleh ke Voldemort. "Ada saran? Aku hanya tahu satu dua nama untuk bayi."

Mengejutkan bocah Emas itu meminta saran nama tengah itu bayi itu. Sejujurnya, Voldemort sama buruknya dalam memberi nama, terutama untuk bayi perempuan. Dia tak pernah untuk dihadapkan dalam situasi memberi nama untuk bayi perempuan. Pernah dia berpikir memiliki ahli waris laki-laki yang ingin dia namakan Salazar, tapi kebadian yang ia miliki tak mengharuskannya memiliki ahli waris.

Mata merah memandang ke depan, memperhatikan kondisi langit malam, mendapat inspirasi. "Eirlys," dia memandang Harry, "-artinya salju dalam bahasa Welsh."

Harry terlihat senang dengan nama itu. Mata bersinar dalam kebahagiaan. "Athlarien Eirlys, nama yang bagus!" Serunya bahagia, senyum lebar di wajahnya.

Dia mungkin terlihat bahagia, tapi Voldemort tahu ada yang salah dengannya. Dia bisa merasakannya, sihir milik bocah itu yang berapi-api kini...memudar. "Apa yang terjadi dengan sihirmu?"

Harry membeku, dia mendadak tegang. Senyum menghilang sebentar sebelum dia mengulas senyum dengan lemah. "Sebelum itu, tidakkah kau ingin tahu siapa ayah bayi ini? Kebenaran dibalik bayi ini mungkin akan mengubah perang."

Voldemort sangat penasaran, dia tidak mengerti mengapa ayah bayi ini akan mengubah jalannya perang. Harry menyamankan posisinya, memejamkan mata dan Voldemort melihat sedikit raut wajah menahan sakit sekilas. "Bayi ini adalah horcruxmu."

Apa?

Voldemort menatap terkejut pada bayi itu. Anaknya? "Itu tidak masuk akal! Bayi ini Horcrux manusiaku katamu?" Voldemort menekan suaranya sekecil mungkin dengan semua ketabahan dan keterkejutannya saat melihat bayi itu bergerak tidak nyaman merasakan sihir Pangeran Kegelapan yang bocor keluar.

Bayi kecil dibuai cepat oleh sang ibu, menenangkannya dengan sihir miliknya yang memancarkan hangat ke seluruh ruangan, bahkan menjangkau Voldemort. Sihirnya adalah...indah. Itu hangat, lembut, dan menenangkan, secara  bersamaan menggoda bikin ketagihan.

"Semuanya dimulai 15 tahun yang lalu, tanggal 31 Oktober saat kau menyerang keluargaku di Godric's Hollow." Harry memulai, memisahkan bayi kecilnya yang cantik dari dadanya dan diletakkan di sisi lain kasur.

"Saat kau mencoba membunuhku, ritual sihir yang ibuku lakukan aktif dan itu berbalik padamu, membunuhmu. Tapi, kematian ibuku sebelumnya adalah tumbal untuk ritual membuat Horcrux." Harry mengangkat tangannya, menyingkirkan poni yang menutupi bekas luka petirnya yang kini telah memudar, hampir hilang. "Bekas luka ini adalah letak horcrux mendiamiku selama belasan tahun."

"Aku tak tahu mengapa, tapi horcrux itu kemudian berubah menjadi janin."

"Kenapa kau membiarkannya hidup?"

"Eh?" Pandangan heran dilayangkan pada Voldemort.

"Bayi itu. Bukankah kau bilang dia adalah horcruxku? Bukankah seharusnya itu adalah seperti parasit bagimu?"

Harry spontan memukul, membuat Voldemort mengaduh pelan. Matanya melotot kesal pada Voldemort, dia berkata dengan geram, "Ini. Bukan. Parasit!"

Giliran Voldemort kali ini yang melotot balik. Harry melembutkan wajahnya, berhenti melotot. Dia kemudian memandang bayi itu dengan penuh cinta, senyum sayang di wajahnya. "Bagaimana lagi? Aku terlanjur sayang dan mencintai anak ini, bayiku, bayi kecilku yang cantik."

Voldemort terpana dengan reaksi, sulit dipercaya Harry Potter menyayangi bayi yang merupakan perwujudan horcruxnya. Tapi suasananya tak begitu bagus saat Harry terengah-engah, wajahnya menampilkan ekspresi menahan sakit. Matanya terpejam.

"Hei, ada apa?! Ku panggilkan Severus. Sever-"

"Jangan!"

Harry menggapai pergelangan tangan Voldemort, menggenggamnya erat. Napasnya tersendar-sendat, keringat dingin keluar, dan rintihan sakit sesekali menyusup keluar dari mulut kecilnya.

"Aku..ingin memberi..mu sesuatu." Harry berucap terbata. "Pro-promise to me! Promi-se...promise to..me.."

*****

Bellatrix dan si kembar Lestrange, Lucius, Narcissa, dan Severus menunggu di lorong, depan ruangan. Kelimanya saling bisik-berbisik mengenai spekulasi apa yang terjadi. Kemudian sesosok pria tampan rupawan bagaikan dewa keluar dari ruangan. Matanya merah delima, tulang pipi tinggi, alis tebal, rahang yang kokoh. Itu adalah tuan mereka.

"Tuanku? Apa yang...terjadi pada anda?" Lucius memberanikan diri bertanya.

Wajah tuan mereka tidak terlihat bagus. Itu gelap, tapi bukan murka. Tak ada ekspresi, raut wajahnya mengeras. "Kita akan adakan pemakaman."

Pelahap Maut tersentak, jelas tak mengharapkan kalimat itu keluar dari mulut sang tuan. Tak pernah sebelumnya mereka mengadakan pemakaman. Narcissa bertanya, "Untuk siapa, Tuanku?"

Tuan mereka membuka pintu, memperlihatkan di atas ranjang sesosok yang telah ditutupi oleh selimut, hanya rambut hitam gagaknya yang menyembul keluar. Mereka tahu siapa itu, Harry Potter. Keterkejutan melanda mereka. Mereka tak menyangka anak itu akan mati bahkan sebelum mereka, tidak di medan perang.

Harry Potter sudah mati.

Voldemort tidak tahu mengapa. Tapi ada suatu perasaan kosong di dalam dirinya. Perasaan yang mencekiknya, membuatnya sulit bernapas dan merasa sakit di dada.

Dia tidak tahu mengapa.

Dan berharap tidak pernah tahu mengapa.

******

Bisa bisanya tuh lho.. aku bikin cerita baru sedangkan cerita lainnya masih ada dibiarin terbengkalai😂😢

Continue Reading

You'll Also Like

44.8K 6.1K 29
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
149K 11.4K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
300K 26.5K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
325K 35.3K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...