Petite Princesse | Jaerose |...

By RohmiAjj

63K 6.7K 1.9K

"Dia putri ku sekarang," ujar Dauphin tegas setelah kembali menggulung kertas yang dia baca tadi. Memasukanny... More

Une - 1
Deux - 2
Trois - 3
Quatre - 4
Cinq - 5
Tolong perhatiannya !
Six - 6
Sept - 7
NOTE AUTHOR
Huit - 8
Neuf - 9
(Sad Ending) Dix - 10
(Sad Ending) Onzièm - 11
(Sad Ending - end) Douzième - 12
(Happy ending - Treize 13)
(Happy ending - Quatorze 14)
ENDING CHAPTER B ( Happy Ending - Quinze 15)
'Author'
Bonus Chapter | Wisten El'Guallen

ENDING CHAPTER A (Happy ending - Quinze 15)

2.6K 273 88
By RohmiAjj

Oke semuanya, setelah sekian abad berlalu akhirnya kita sampai pada akhir dari cerita ini yah, huhuhu... ;)

Rada gk ikhlas buat tamat sih sebenarnya :))))

Tapi gak apa", kapan-kapan lagi aku bakalan up cerita buat kalian kok, tunggu aja...

Baiklah, tolong nikmati yah baca ini karena ini jalur happy ending terakhir sekaligus chapter penutup di buku ini...

Ah iya, aku bagi dua chapter yah, jadi setelah baca ini gas ke chapter terakhir, gak cukup soalnya, biasa lagi maruk ;)...

Ah, iya udah sampe disini aku mau minta banyak"in juga dong komentar kalian karena sampe sini kita bakalan tutup buku dan udahan di seri Petite Princesse

Selamat membaca~



.
.
.

Jeffrey mengusap lembut helaian rambut pirang Rosèanne yang masih terlelap, mendengarkan deru napas tenang dari Rosè yang terdengar nyaman baginya. Kembali menatap wajah cantik yang entah bagaimana kini terlihat membaik itu dengan lamat, menyadari akan satu hal. Rosè, terlihat sedikit berseri saat ini, menjadi dua kali lebih manja padanya bahkan sering meminta Jeffrey untuk melakukan suatu hal yang sama sekali tidak pernah wanita itu minta sebelumnya.

Contohnya seperti, ingin diambilkan buah apel dari kebun istana secara langsung oleh Jeffrey.

Atau ingin mencicipi madu langsung dari sarangnya yang dia oleskan pada roti gandum yang akhir-akhir ini dia suka.

Atau juga tiba-tiba saja meminta semangkuk berry yang akan langsung habis dikunyah olehnya. Dan yang paling mencengangkan adalah ketika wanita itu meminta pada Wisten sang paman untuk di ajarkan cara memanah meski yang satu itu tidak akan pernah dikabulkan oleh pamannya yang overprotektif itu.

Ayolah, keadaan Rosèanne sudah sangat membaik saat ini, Wisten tidak akan bertingkah bodoh dengan mengabulkan keinginan aneh keponakannya itu.

Jeffrey terkekeh kecil melihat kening itu berkerut ketika jemari Jeffrey mengusik pelan ujung hidung Rosè. Mencium kedua mata itu beberapa kali membuat Rosè melenguh terganggu. Wanita itu lantas menenggelamkan wajahnya pada dada Jeffrey yang langsung tertawa, apa lagi dengan pukulan-pukulan pelan yang Rosèanne daratkan pada punggungnya.

"Bangunlah, sebentar lagi matahari akan terbit, kau tahu aku akan menemui Jekahar selepas sarapan nanti..." Tukas Jeffrey pelan.

Rosè yang memang mencoba untuk terjaga jadi terdiam, menghentikan pukulan manjanya pada punggung Jeffrey. Yah, dirinya tahu bahwa Jeffrey memutuskan akan turun dari tahtanya, menjelaskan segalanya pada Rosèanne yang awalnya menolak keputusan Jeffrey itu dan malah meminta sang suami untuk melepaskan dirinya saja. Tapi Rosè sadar, bahwa mungkin Jeffrey juga sudah lelah, melihat kedua pundak yang dulu kekar dan sekuat baja itu kini menurun seakan menjelaskan rasa lelahnya. Melihat wajah Jeffrey yang juga mulai terlihat garis wajahnya yang sedikit menurun, menunjukkan jika usianya tak lagi muda. Lagipula, keputusan Jeffrey semata-mata juga untuk menyelamatkannya, untuk melindunginya. Jadi Rosè hanya akan mengikuti apa yang akan Jeffrey putuskan, yang terpenting baginya kini dirinya dan Jeffrey akan hidup dengan tenang sebentar lagi.

"Aku ingin ikut..." Cicit Rosèanne kemudian, tentu dengan suaranya yang terdengar manis bagi Jeffrey.

"Sebaiknya tidak sayang, kediaman Jekahar sangat jauh, aku akan mengantarmu ke rumah Dauphin atau Wisten saja..."

Rosè lantas melepas pelukannya dari Jeffrey dan bahkan menatap suaminya itu dengan mata yang menyipit, mengintimidasi. Melupakan fakta jika pria yang dia peluk adalah seorang Raja.

Tapi tatapan intimidasi itu nyatanya cukup untuk membuat Jeffrey hanya diam serta mengerjapkan matanya saja.

"Majestè, aku ingin ikut !" Kekeh Rosè.

Jeffrey menelan ludahnya lalu berdehem pelan.

"Tapi keadaan mu baru saja membaik sayang, perjalanan ke kediaman Jekahar akan memakan waktu yang lama, aku takut kau kelelahan,"

"Ah baiklah kalau begitu," Jeffrey kemudian tersenyum ketika Rosè terlihat menurut saja pada apa yang dikatakannya, tapi itu tak lama karena kedua matanya langsung membulat mendengar ucapan Rosèanne selanjutnya.

"Jika begitu, saat Majestè pergi nanti aku akan tiap-tiap hari berenang di kolam, memanjat pohon apel untuk ku sendirian dan mencari buah berry sendiri dihutan."

"Ah, baiklah kau boleh ikut, mari kita bersiap, kau harus membawa beberapa barang dan pakaian untuk diperjalanan nanti..." Putus Jeffrey cepat segera anjak dari posisinya yang tengah berbaring sambil memeluk Rosè itu. Mencium kening Rosè terlebih dahulu sebelumnya, segera memerintahkan beberapa pelayan untuk menyiapkan keperluan Rosè yang akan ikut dengannya.

Tidak bisa, Jeffrey tidak akan pernah membiarkan apa yang istrinya itu katakan menjadi nyata. Susah payah dirinya tersiksa melihat keadaan Rosèanne yang mengkhawatirkan disaat yang lalu, apakah kiranya dirinya akan dengan mudah membiarkan Rosè nya melakukan hal berbahaya seperti yang dikatakannya ? Oh tentu tidak, tidak akan pernah.

Sedangkan Rosèanne sendiri hanya terkikik kecil, memperhatikan punggung Jeffrey yang telah keluar dari kamarnya.

Rosè merasakannya lagi, perasaan dari hatinya yang selama beberapa waktu ini seakan sangat membaik disertai berbagai letupan rasa bahagia.

Dirinya bahkan bisa makan dengan lahap kembali, tak ada rasa mual atau sesuatu yang sakit seperti yang lalu-lalu dia rasakan. Hanya saja memang, Rosè masih tidak bisa memakan jenis daging apapun. Termasuk daging asap yang harus kalian ingat bahwa Rosèanne sangat menyukai makanan itu.

"Reine, air mandi untuk anda telah siap, mari..." Hingga seorang pelayan menyadarkan Rosè dari pikirannya, segera bangkit dari ranjangnya dengan melilitkan selimut ke tubuhnya yang polos, memakai kembali gaun tidurnya yang sejak tadi tergeletak begitu saja dilantai. Ulah Jeffrey tentu saja.

Rosè sedari tadi hanya terus tersenyum. Tidak tahu, dirinya hanya terus merasa bahagia tanpa alasan pasti, mudah tertawa karena hal kecil juga lengkap dengan suasana hatinya yang selalu baik.

Namun bukankah yang namanya kebahagiaan memang tidak selalu beralasan ? Jadi Rosè tidak terlalu memikirkan keadaannya yang membaik kini, dia hanya akan menikmatinya.

.
.
.

"Kau yakin akan ikut ? Bukankah lebih baik kau ke rumah oncle saja Rosè, bermain dengan adikmu, Anna..." Dauphin menatap khawatir pada Rosè yang tengah dipakaikan baju hangat sebagai pelengkap baginya untuk diperjalanan. Tersenyum menatap Dauphin yang justru terlihat khawatir.

Ah iya, kalian juga harus tahu jika kini Dauphin telah resmi menjadi seorang ayah setelah buah cintanya lahir 3 tahun lalu dan dia beri nama Anna Navarra El'Francois.

Yah, seperti dugaan Jeffrey, anak Dauphin adalah perempuan.

"Tidak apa-apa oncle, lagi pula Rosè bosan berada di istana," Balasnya.

"Atau kau mau kerumah ku saja, la tante mu berencana akan membuat kue jahe, kau suka membuat kue kan..." Wisten kini mencoba bersua, ingin hati membuat keponakannya itu mengurungkan niatnya untuk ikut bersama Jeffrey.

Wisten khawatir tentu saja, apalagi kini dia jadi lebih overprotektif pada keponakannya itu.

"Tidak mau, Rosè akan tetap ikut bersama Majestè, bersama suamiku." Kekeh Rosè dan berhasil membuat Dauphin dan Wisten bungkam.

Ah sudahlah, sepertinya memang percuma menahan Rosè untuk tidak pergi. Wanita itu jadi agak kekeh dan tak ingin dibantah setelah sembuh dari sakitnya.

Lalu Jeffrey kemudian tiba, mengusap lengan Rosè yang tersenyum manis padanya.

"Aku titipkan istana pada kalian," Pesan Jeffrey.

Dauphin dan Wisten mengangguk pelan, memang sudah menjadi kewajiban bagi mereka ketika Jeffrey tak ada di istana maka semua hal disana ada dalam kendali Dauphin dan Wisten. Sejak dulu sudah begitu.

"Berapa lama kau disana nanti ?"

Jeffrey tampak berpikir sejenak.

"Mengingat diperjalanan saja akan memakan waktu sekitar 1 setengah hari mungkin satu minggu akan habis dengan menginap beberapa hari di kediaman Jekahar," Dauphin mengangguk paham.

Lalu kemudian, tanpa disangka tiba-tiba saja dokter yang selama ini menangani Rosè menampakkan dirinya dengan membawa semangkuk ramuan yang sudah biasa dia sajikan pada sang Ratu.

"Mohon ampuni hamba Majestè menahan anda untuk pergi tapi..." Sang dokter melirik singkat pada Rosè yang mana sudah menatapnya tajam. Entahlah, Rosè merasa marah tanpa alasan pada dokter itu.

"Untuk apa kau ke sini ?" Tukas Rosè sarkas.

Sang dokter lantas menunduk dan menyodorkan mangkuk yang dibawanya itu kearah Rose yang langsung menjauh dari ramuan itu.

"Anda melupakan obat anda Reine, demi kebaikan anda tolong minumlah dahulu obat ini agar diperjalanan nanti anda tak cepat merasa lelah..." Jelasnya.

Tapi Rosèanne malah memalingkan wajahnya, tentu gestur itu menunjukkan tanda bahwa dia menolak.

"Bawa pergi ramuan itu"

"Tapi Reine, minumlah, sedikit saja pun tak apa..."

"Aku tidak mau,"

"Hamba mohon Reine, sedikit saja..."

"Aku bilang aku tidak mau !" Rosè bahkan menghempas mangkuk itu hingga menghantam lantai dan hancur, membuat semua ramuan itu tercecer tak terselamatkan.

Hal itu tentu membuat Jeffrey, Dauphin dan Wisten tercengang. Apa lagi dengan si dokter yang bahkan kedua tangannya bergetar menahan takut. Menilik singkat pada sang Ratu yang kini benar-benar menatapnya dengan tajam.

"Sudah aku katakan aku tidak mau tapi kau keras kepala, sekarang menyingkirlah dari hadapan ku ! Kau menghalangi jalan Ratu mu !" Rosè berlalu lebih dulu meninggalkan Jeffrey dan naik ke kereta dengan wajahnya yang masih menekuk menahan emosi.

Hal itu memang sesuatu yang baru bagi ketiga pria itu, bahkan Wisten sempat menggerakkan kepalanya terheran-heran.

"Ah, keponakan siapa wanita itu hm ?" Tukasnya menyadarkan Jeffrey dan Dauphin yang masih terkesima.

Dauphin lantas melihat pada sosok dokter yang masih ditempatnya, tersenyum kecil kemudian.

"Kau baru beberapa tahun mengabdi di istana ini namun sikap mu sangat berani pada Reine, sepertinya kau kurang mengetahui tentang yang namanya sopan santun," Ujar Dauphin diselingi kekehanya.

"Jangan diambil hati perlakuan Ratu mu, wajar dia marah, kau memaksanya dan Rosèanne kami adalah satu-satunya wanita yang tidak bisa dipaksa di istana ini."

Dauphin kemudian melihat pada Jeffrey yang masih terdiam, sepertinya masih terhenyak melihat bagaimana Rosèanne bersikap.

Ah, pria tua itu.

"Hei, cepat bergegas dan tenangkan istrimu, bicara dengannya secara hati-hati, wanita agak menyeramkan ketika marah, hm..."

Jeffrey menghela napasnya dengan dalam dan kembali berpamitan pada Dauphin dan Wisten, segera menaiki keretanya.

"Berhati-hatilah, jaga Rosè dengan baik Jeff, cepat berangkat sebelum siang menjelang..."

Jeffrey pun mengangguk, menutup pintu keretanya dan menilik dari jendela kecil di kereta itu.

"Hati-hati..." Tukas Wisten lagi sebelum kereta kuda dan beberapa pengiring yang ikut mulai berjalan, meninggalkan area istana.

Setelah iring-iringan Jeffrey keluar dari pelataran istana juga dokter yang pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua, Dauphin langsung mengubah raut wajahnya menjadi sedingin es, layaknya musim salju diikuti badainya. Berucap datar pada Wisten yang juga masih melihat kearah depan.

"Lakukan rencana kita Wisten, benar-benar harus tuntas sebelum Jeffrey menyadarinya, dia sungguh sangat terlambat untuk menyadarinya."

.
.
.

Diperjalanan itu Rosè sedari tadi hanya terus menyulam benang dengan teliti, berniat untuk memberikan hadiah kecil pada istri Prince Jekahar saat sampai nanti. Rosè mempelajari cara menyulam dari istri pamannya, Wina El'Guallen.

Sejak beberapa waktu lalu suasana hati Rosè kembali membaik, berkat melihat pohon-pohon yang rindang serta angin sejuk hutan yang nyaman.

Suasana yang sangat dia rindukan.

Dan berbeda dengan apa yang dilakukan istrinya, Jeffrey, pria itu hanya tetap memangku dagunya dengan terus memperhatikan sosok cantik Rosèanne yang tampak serius dengan kegiatannya. Kedua lesung pipinya bahkan terbentuk karena Jeffrey mengulum senyumnya secara tak terkendali.

Lantas Jeffrey menutup matanya sambil bergumam dalam hati, merutuki tingkahnya yang sama sekali tidak mampu mengalihkan atensinya dari wanita cantik itu. Tidak bisa, Jeffrey tidak sanggup.

"Ah, aku bisa gila..." Gumamnya tanpa sadar terucap.

"Atau aku memang sudah gila ? Ah, benar, aku memang sudah tergila-gila padanya." Ujar Jeffrey dengan kekehanya menyadari betapa dirinya sudah sangat jatuh cinta pada Rosèanne nya, pada wanita miliknya.

Rosè sendiri bahkan sepertinya tak peduli pada apa yang tengah Jeffrey lakukan, dia hanya terus menyulam dengan amat sangat serius. Tidak sadar jika kini Jeffrey bahkan tengah menggigit bibirnya dengan kembali memperhatikannya.

"Sayang..."

"Hm ?"

"Kau sedang apa ?"

Rosè lantas menghentikan tangannya yang akan menyulam lagi ketika suara Jeffrey terdengar dalam dan berat. Rosè mengangkat wajahnya menatap Jeffrey, menemukan wajah yang memang tak lagi muda namun tetap terlihat tampan itu menatapnya cukup gelap.

Rosè menghela napasnya kemudian, mengerti maksud dari tatapan segelap malam purna yang Jeffrey tunjukkan padanya.

"Kita sedang di kereta Majestè, bukan sedang di kamar..."

"Tak akan ada yang tahu..."

"Terserah, tapi jika sulaman ku belum selesai karena mu, akan aku pastikan selama beberapa minggu ke depan tak ada yang namanya tidur bersama."

Dan Jeffrey memilih untuk berdehem dan meraih beberapa buku yang sengaja dia bawa untuk menemani perjalanannya, berniat membacanya, menjernihkan pikirannya yang hampir dipenuhi hal-hal dewasa.

Jiwa lelakinya dan hanya berduaan dengan Rosèanne memang bukan suatu kombinasi yang baik. Membuat jiwa liarnya sering lupa daratan.

Tidak, Jeffrey akan menahannya. Dia tidak mau tidur sendirian. Ancaman Rosè tidak bisa dianggap enteng, wanita itu benar-benar akan melakukan apa yang dia ucapkan.

Ah, Jeffrey tidak akan bisa membayangkan bagaimana nasib dirinya jika tidak tidur bersama si wanita cantik itu. Bisa gila dia.

.
.
.

"JEFFREY !!!" Jeffrey menutup matanya ketika suara Jekahar begitu lantang memanggilnya, tepat ketika pintu rumah kediaman besar milik sepupunya itu dibuka lebar. Jekahar bahkan merentangkan kedua tangannya saat ini.

"Astaga, aku tidak percaya memiliki sepupu seperti dia." Gumam Jeffrey sedangkan Rosè hanya mengulum senyumnya.

"Hahaha... Kau pasti sedang mengatai ku 'kan Jeff ?" Ujar Jekahar berjalan mendekat kearah Jeffrey, langsung memeluk sepupunya itu dengan erat.

Jeffrey membalasnya juga, ikut tertawa pelan.

Lalu Jekahar mengalihkan pandangannya pada Rosèanne yang hanya tersenyum melihat tingkah kedua pria itu.

"Ah, Rosèanne sang Ratu Frankia, senang bertemu dengan mu, wah... kau benar-benar telah tumbuh menjadi seorang wanita yang sangat cantik, pantas saja Jeffrey begitu tergila-gila padamu..."

"Hei !!!"

"Apa ?! Itu kenyataan ! Kau bahkan tidak membiarkan putra ku untuk menyukai Rosè dulu !!" Ujar Jekahar agak sebal.

Ah benar, Jeffrey hampir lupa tentang hal itu. Jekahar memang telah memiliki seorang putra karena pria itu memilih untuk menikah muda bersama Yerimia, istrinya yang tak lain adalah Putri dari Raja Edward, Raja inggirs. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Sedangkan pada masa itu Jeffrey sedang gencar-gencarnya dituntut untuk menikah tapi malah memilih untuk mengangkat seorang anak, yaitu Rosèanne. Dan pada saat pertama kali putra Jekahar bertemu dengan Rosèanne yang sama-sama telah berusia 15 tahun, putra Jekahar lantas memberitahu sang ayah bahwa dirinya menyukai Rosè dan Jekahar mengatakan hal itu pada Jeffrey.

Dan kalian pasti tahu bagaimana reaksi Jeffrey kala itu. Benar, Jeffrey menentang telak ucapan Jekahar yang mengatakan bahwa putranya menyukai Rosè.

Jeffrey menolak putranya dengan pasti maka Jekahar tak ambil pusing, menyuruh putranya untuk tidak menyukai Rosè lagi adalah satu-satunya jalan.

Ah, dasar si tua Jeffrey.

"Ah, benar, aku lupa tentang hal itu, hahaha..." Jeffrey tertawa sumbang dengan melihat pada Jekahar yang hanya menatap malas pada sepupunya itu.

"Sudahlah, lagi pula sekarang putraku sudah menikah dan akan segera memiliki anak, kau 'pun begitukan, Rosè ?"

Rosè dan Jeffrey malah terdiam, saling melirik satu sama lain dengan Rosè yang memilih untuk menunduk, meminta Jeffrey yang mengatakan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.

Dan hebatnya, Jekahar langsung menyadari hal itu, gelagat berbeda yang keduanya tunjukkan padanya. Merasakan ada sesuatu yang salah pada sepasang suami istri itu. Hingga Jeffrey kemudian berdehem kecil dan kembali menatap Jekahar.

"Kami datang kemari bukan tanpa alasan Jekahar, akan aku katakan di dalam saja..." Jekahar yang merasa lain pada sosok Jeffrey hanya menatap sepupunya itu dengan lamat, mengangguk pelan sebagai jawaban dengan mempersilahkan keduanya untuk masuk.

.
.
.

Kini Jeffrey dan Jekahar sudah duduk berhadapan di ruang tamu sang tuan rumah, tersenyum ketika Yerimia istri Jekahar menyajikan teh dan beberapa makanan ringan.

"Terimakasih sayang," Ujar Jekahar dan malah di balas wajah malas oleh istrinya itu.

"Terimakasih sepupu..." Ucap Jeffrey sopan dan di angguki sopan pula oleh Yerimia. Hal itu tentu membuat Jekahar hanya bisa menipiskan bibirnya, menahan sebal.

"Reine ada di dapur, dia menolak untuk ikut bicara bersama," Ujar Yerimia. Jeffrey hanya mengangguk, memahami jika Rosè mungkin tidak akan bisa menjelaskan apapun karena hatinya pasti tak sekuat dirinya.

Dan yah, Yerimia memanggil Jeffrey dan Rosè dengan sebutan Majestè dan Reine, karena meski Jekahar adalah sepupu Jeffrey baginya tetap panggilan itu adalah pilihan terbaik. Yerimia menyadari jika dirinya dan kedua orang berkuasa di Frankia itu terikat hubungan keluarga karena pernikahannya, tidak lebih dan baginya rasa hormat patut di utamakan.

"Tidak apa-apa, tolong temani dia saja," Pinta Jeffrey dan di angguki Yerimia yang berlalu.

Jeffrey menatap punggung Yerimia yang menjauh, memperhatikannya dengan lamat.

"Apa kau tidak memiliki pelayan ? Kau membiarkan istri mu mengerjakan tugas rumah seorang diri..." Tanya Jeffrey yang menyadari jika istri Jekahar itu melakukan banyak pekerjaan rumah tangganya sendirian.

Jekahar meraih cangkir teh nya lalu terkekeh kecil, meniup pelan kepulan asap pada teh nya lalu menyesapnya pelan.

"Yerimia menolak semua pelayan yang aku pilihkan untuknya" Tukas Jekahar.

"Ah, terkecuali untuk pelayan yang mengurus cucian atau tugas-tugas berat lainnya, aku tidak ingin tangan istriku kasar atau bahkan terluka."

"Kenapa ?"

"Hm ?"

"Kenapa istri mu menolak untuk menerima seorang pelayan, maksud ku, untuk melayaninya..."

"Kau tahu jika dia adalah putri Raja Edward, dan kau pasti tahu bagaimana dia bersikap pada anak-anaknya, sejak kecil Yerimia bahkan tidak pernah keluar dari kastil tempatnya tinggal, jadi selama 18 tahun hidupnya disana dia habiskan dengan melakukan banyak hal, termasuk mengerjakan pekerjaan rumah, dia menguasai semua tentang itu, dia hebat..." Ujar Jekahar sambil tetap tersenyum manis, mengingat sosok istrinya itu ketika muda.

Jeffrey ikut terdiam, membenarkan ucapan Jekahar yang memang Raja Inggris itu dikenal keras pada anak-anaknya. Terutama anak perempuan karena dia begitu sangat menginginkan anak laki-laki.

Beruntung sekali Jekahar yang waktu itu berkunjung ke London untuk tugas negara dipertemukan dengan sosok Yerimia muda yang kebetulan tengah dipanggil sang ayah untuk segera memilih calon suaminya. Dan dengan segala kegilaannya, Jekahar dengan lantang mengatakan jika dia bersedia untuk menjadi suami dari Yerimia.

Mereka bahkan baru pertama kali bertemu, baru pertama kali saling melihat, menatap mata satu sama lain.

Tapi Jekahar dengan beraninya memutuskan untuk melakukan apa yang suara hatinya katakan.

Ah, ternyata, Jekahar sama gilanya dengan mu Jeffrey.

Meski caranya sangat berbeda.

"Ah, benar, apa yang tadi ingin kau bicarakan dengan ku ? Sepertinya itu penting..."

Jeffrey yang memang masih terdiam hanya menatap Jekahar dengan lamat, sedikit mengulas senyumnya yang terlihat berbeda dari yang Jekahar tangkap.

"Bagaimana, jika kau menjadi Raja, Jekahar ?" Jekahar lantas mengerutkan keningnya.

"Apa maksudmu ?"

Jeffrey kian merekahkan senyumnya meski tak ada kesan manis dari senyuman itu, menarik napasnya dengan dalam.

Terasa berat memang melepas sesuatu yang sudah mendarah daging dalam dirinya.

Yah, Jeffrey mencintai posisinya sebagai seorang Raja namun bukan dalam artian dia tamak. Jeffrey menyukai posisinya karena dia mencintai negerinya, mencintai rakyatnya. Memperjuangkan banyak hal hingga kini rakyatnya mendapatkan hak-hak mereka dengan adil.

Jeffrey membagikan banyak lahan hasil dari wilayah bekas perang bagi para petani hingga mereka hidup dengan cukup. Menjamin para anak-anak yang tak lagi memiliki orang tua dalam sebuah panti-panti. Memberi peraturan pajak dengan adil pada semua orang tanpa terkecuali.

Jeffrey bahkan pernah menghabiskan setengah harta pribadinya untuk membantu para prajuritnya yang tak lagi bisa bekerja dalam lingkungan istana karena harus kehilangan anggota tubuhnya karena perang.

Jeffrey menjadi Raja bukan semata-mata karena ketamakan, Jeffrey mencintai posisinya. Maka wajar saja kan jika dia begitu berat untuk melepas posisinya itu.

Tapi sekali lagi, bagi Jeffrey, Rosèanne adalah segalanya.

Akan sangat sulit lagi jika dia malah melepas wanitanya itu.

Jangan gila, Jeffrey tidak akan pernah melakukan hal bodoh itu.

"Kau masih ingat kan tentang surat yang tiga tahun lalu aku kirimkan padamu ? Tentang kesepakatan antara aku dan para menteri agar bisa menikahi Rosèanne ?" Ujar Jeffrey agak lirih.

"Ah, surat itu ? Yang kau bilang telah menyetujui perjanjian sesat mu dengan para menteri iblis itu ?"

"Jekahar..."

"Apa ? Aku benar kan ? Mereka ular..." Jekahar meraih cangkir teh nya lagi dan menyesap pelan, menatap Jeffrey dengan serius.

" Jika memang menteri-menteri itu ada di pihak mu seharusnya mereka akan selalu menerima apa yang menjadi keputusan mu, bukan hal buruk untuk menikahi Rosèanne, itu hak mu, kau seorang Raja, tidak peduli pada rumor tentang Rosè jika mereka memang mendukung mu mereka pasti akan menerimanya..." Jekahar menghela napasnya kasar, melepas perhatiannya pada Jeffrey sembari berdecak pelan.

"Salah kau membuat kesepakatan ini Jeff, kau salah melangkah, membuat kesepakatan seperti ini malah justru akan membuat mereka menang atas mu, seharusnya kau lebih bisa berhati-hati lagi, aku yakin banyak dari orang-orang menteri itu adalah jelmaan manusia ular mereka pasti tengah merencanakan suatu hal untuk membuat mu turun dari tahta mu !" Dengan berani, Jekahar lantas menunjuk Jeffrey dengan tepat.

"Kau sedang dalam masalah dan terjebak dalam perangkap mereka jika kau terus mengikuti perjanjian itu." Tutup Jekahar, masih dengan memfokuskan diri menatap lekat sosok sepupunya itu. Kening Jekahar bahkan mengerut tajam tanda dirinya tak suka dan tidak setuju pada keputusan Jeffrey yang satu ini.

Jekahar tidak percaya jika kini Jeffrey selemah ini, semudah ini untuk masuk dalam perangkap yang para menteri ular itu buat. Jekahar yakin ini hanya salah satu jalan, entah hal apa lagi yang telah mereka lakukan agar bisa menurunkan Jeffrey dari tahtanya.

Sedangkan Jeffrey sendiri masih terdiam, membalas Jekahar lamat-lamat. Menyadari fakta dari ucapan Jekahar tentang para menteri.

Ingin hati Jeffrey setuju dengan ucapan Jekahar tapi disisi lain Jeffrey sadar bahwa kesepakatan itu bahkan dibuat oleh dirinya sendiri.

Benar, Jeffrey tengah terperangkap saat ini.

Dan gila saja Jeffrey karena begitu sangat terlambat menyadarinya.

Jeffrey kemudian melepas singgungannya dengan Jekahar dan memilih untuk memperhatikan Rosèanne yang tengah duduk di meja makan di ruang dapur yang posisinya masih bisa terlihat dari ruang tamu.

Mata yang masih terlihat cukup tajam itu kini malah memandangi wanitanya yang tengah menutup hidungnya dengan sapu tangan. Melembut dengan mudahnya, seakan menyatakan jika pemilik punggung itu ada kelemahan terbesar bagi dirinya.

Jeffrey yang melihat bagaimana Rosèanne kini jadi mengerutkan keningnya, khawatir mengetahui bahwa Rosè terlihat kurang nyaman saat disuguhi makanan ringan oleh Yerimia.

Apakah Rosèanne merasa kembali tak sehat ?

Hembusan napas panjang Jeffrey bahkan sampai terdengar oleh Jekahar yang kini mengikuti kemana arah pandang Jeffrey saat ini.

Ah, Jeffrey sepertinya telah menanggung banyak beban hingga napas lelahnya sampai terdengar jelas.

"Sejujurnya Jekahar, selain karena kami tak kunjung memiliki keturunan, aku juga sebenarnya ingin segera membawa Rosè keluar dari kehidupan istana," Jekahar menahan dirinya ketika hendak memakan biskuit yang tersedia di depannya. Menatap terkejut pada Jeffrey.

"Maksud mu ?" Tanyanya dan Jeffrey kembali melihat pada Jekahar dengan kekehan kecilnya yang terasa miris.

"Selama tiga tahun ini Rosè selalu berusaha untuk bisa mengandung, dia banyak meminum ramuan dan melakukan segala cara agar dirinya bisa segera memiliki seorang anak. Namun pada kenyataannya, hal itu malah membuat kesehatannya memburuk..." Jeffrey kembali memperhatikan sosok Rosèanne yang terlihat menggelengkan kepalanya seperti tengah menolak semua sajian yang istri Jekahar siapkan untuknya.

"Dia melewati masa sakit selama satu tahun terakhir dan baru beberapa bulan ini kesehatannya kembali pulih, aku takut dia kembali sakit dan merasa terpuruk lagi Jekahar, aku hanya ingin membawanya pergi dan terlepas dari tuntutan untuk memberikan seorang anak pada kerajaan Frankia." Jelas Jeffrey pelan.

Jekahar lantas melihat pada Jeffrey dan Rosè bergantian, malah menyunggingkan senyum nakalnya yang masih awet dia miliki hingga kini.

"Ah, aku mengerti, jadi tuntutan untuk memiliki seorang pewaris adalah masalahnya ?" Jekahar menyenderkan punggungnya dengan merentangkan kedua tangannya ke sisi kursi panjang yang di dudukinya, membalas Jeffrey yang kini melihat padanya dengan wajah guyon andalannya.

"Sepertinya aku tahu apa penyebab semua itu, kau dan dia terpaut usia yang terlalu jauh, 20 tahun Jeffrey jika kau lupa, mungkin saja kan kini kau kurang berstamina untuk bisa membuahi Rosèanne -AW !!!"

Belum sempat Jekahar menyelesaikan ucapannya, Jeffrey dengan secepat kilat melempar kasar sebuah gula-gula yang juga tersedia di meja mereka, mengenai tepat lengan atas Jekahar yang kini meringis sakit dan terus mengusap bekas lemparan maut ala Jeffrey di lengannya.

"Jeff ! Sakit !!!"

Jeffrey yang kini giliran untuk tersenyum puas hingga menampakkan kedua dimpel yang masih terlihat manis di kedua pipinya.

Menyenderkan tubuhnya dengan menyilangkan kaki, menatap Jekahar yang masih kesakitan dengan raut puas.

"Bagaimana menurutmu ? Masih mengira aku tidak begitu berstamina ?"

Jekahar hanya menanggapi dengan wajah kesalnya.

"Ah, Jeffrey tetaplah Jeffrey, pria keras kepala yang pernah membunuh seekor singa hanya dengan tombak kayunya." Lalu kedua pria yang tak lagi muda itu kini malah terkekeh geli, menyadari tingkah bodoh mereka berdua.

"Tapi aku serius Jeff, aku menolak permintaan mu untuk menjadikan aku sebagai pengganti mu, aku menolak..."

"Kenapa ?"

"Karena-"

"Reine !!" Ucapan Jekahar lantas terhenti dan atensi kedua pria itu teralihkan kala suara pekikan Yerimia terdengar. Menyebut gelar satu-satunya wanita milik Jeffrey itu dengan intonasi terkejut.

Jeffrey segera beranjak diikuti Jekahar yang terlihat kebingungan.

"Rosè..." Jeffrey segera bersimpuh dibawah Rosè yang terlihat berusaha menutupi hidungnya dan sesekali bergerak seakan ingin memuntahkan sesuatu dalam perutnya.

"Ingin muntah ?" Tanya Jeffrey dan diangguki pasti oleh Rosè.

Mengerti, Yerimia segera membawa sebuah wadah dan memberikannya pada Jeffrey, Yerimia mengusap pundak dan tengkuk Rosè yang masih terlihat berusaha mengeluarkan isi perutnya.

Tapi tetap, tak ada apapun yang keluar.

Jeffrey menjauhkan wadah yang dipegangnya dan langsung menarik Rosèanne kedalam pelukannya, mengusap puncak kepala Rosè dengan sayang.

Ini terjadi lagi, Jeffrey melihat wanitanya sakit lagi.

"Aku mohon tolong jangan sakit lagi..." Lirih Jeffrey.

Yerimia dan Jekahar jadi saling menatap, saling bicara lewat singgungan mata mereka. Keduanya khawatir tentu saja melihat bagaimana Rosèanne tadi tampak sangat mengkhawatirkan hanya dengan rasa mual yang di deritanya.

Tapi di sisi lain mereka berdua seakan menyadari sesuatu.

"Apa yang sedang Rosè makan, sayang ?" Tanya Jekahar pada istrinya.

Yerimia menunjukan sepiring kecil daging asap dan beberapa potong roti serta pelengkap lainnya yang Rosèanne makan.

"Reine memakan daging asap untuk beberapa suapan dan langsung seperti ini, padahal tadi saat aku menyuguhkan buah-buahan dia tidak apa-apa," Jelas Yerimia.

Jeffrey yang mendengar itu hanya mengangguk paham, dirinya mengerti jika Yerimia pasti tidak tahu tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh Rosèanne.

"Rosè memang tidak bisa memakan daging untuk saat ini," Jelas Jeffrey.

"Kenapa ?"

"Entahlah Jekahar, Rosè sudah begitu sejak dirinya sembuh dari sakitnya." Balas Jeffrey pelan.

Lalu mereka terdiam selama beberapa saat, hanya memperhatikan Rosè yang tengah menenangkan dirinya dengan menutup mata.

"Apakah ini karena kau tidak meminum obat yang dokter tawarkan padamu saat kita akan pergi ?" Tanya Jeffrey setelah Rosè mengangkat wajahnya dan menatap prianya.

Rosè menggerakkan kepalanya, menyeka sudut bibirnya dengan sapu tangan.

"Majestè harus tahu bahwa aku sudah tidak meminum obat yang dokter itu buat sejak beberapa waktu terakhir, karena itu kini aku bisa kembali sehat..."

Jeffrey yang mendengar itu lantas mengerutkan keningnya.

"Maksud mu ?"

"Sejujurnya aku ingin mengatakan hal ini pada Majestè sejak dulu, jikalau sejak dokter itu ditugaskan untuk merawat ku dan dia menyuruhku untuk meminum obat ramuannya, rasanya tubuh ku terasa sakit, semuanya terasa sakit,"

"Awalnya aku tidak tahu kenapa dan terus menuruti sarannya, hingga aku berpikir apa mungkin selama ini aku sakit karena terus menerus meminum obat ramuannya, lalu aku mencoba untuk tidak meminumnya lagi dan benar, aku kembali sehat dengan meski perlahan," Rosè menatap Jeffrey dengan lekat, menyatakan apa yang dia rasakan selama ini tanpa diketahui oleh Jeffrey.

"Semua itu karena obat yang dokter itu buat Majestè, dia mungkin meracuni ku." Dan Rosè melihatnya, wajah tegas Jeffrey yang menegang seakan menahan diri. Yah, Rosè tahu jika Jeffrey tengah menahan amarahnya karena sadar jika kini mereka sedang tidak ada di istana.

Jekahar juga menyadari itu, namun yang paling ingin dia ketahui lebih dulu dia pilih. Jekahar melangkah menuju meja makan dan meraih piring yang masih berisikan makanan yang tidak Rosè habiskan. Rosè melihat apa yang Jekahar lakukan segera menutup hidungnya dan menghindar.

"Aku heran kenapa kau jadi tidak menyukai daging asap Rosè, padahal ini adalah makanan kesukaan mu, coba kau cium wangi dari daging asap ini, terasa enak..." Jekahar menyodorkan piring itu kehadapan Rosè yang benar-benar menghindarinya.

"Tolong hentikan, aku mual..." Lirih Rosè seakan tak berdaya karena Jekahar terus menyodorkan makanan itu.

"Jekahar, hentikan." Dan Jekahar benar-benar menghentikan dirinya ketika suara dalam Jeffrey terdengar.

Jekahar hanya tersenyum saja dengan menepuk pelan pundak Jeffrey lalu menatap Yerimia.

"Kau ingat sayang bagaimana dirimu saat pertama kali kau mengandung Albert dulu ?" Tanya Jekahar pada istrinya yang langsung mengerutkan keningnya, mengingat lagi saat-saat pertama dirinya mengandung anak pertama mereka.

"Hm, dulu... aku sempat merasa mual yang hebat, sakit di sekujur tubuhku dan bahkan tidak suka pada kue pie, padahal aku sangat menyukai kue pie, tapi saat aku tahu bahwa aku tengah hamil Albert, aku—" Yerimia lantas menghentikan ucapannya saat menyadari sesuatu, membulatkan matanya dengan melihat pada Jekahar yang hanya tersenyum puas karena istrinya itu begitu cerdas dalam menanggapi maksud dari pertanyaannya.

"Benar sayang, cepat panggil dokter keluarga kita, aku ingin tahu dengan jelas bagaimana kondisi dari Ratu Frankia ini sekarang juga."

.
.
.

"Bagaimana ?" Jekahar bertanya dengan tenang pada sosok dokter yang sudah tampak senja namun masih mengabdikan dirinya pada Jekahar. Tersenyum sangat ramah lagi cerah kemudian menunduk hormat pada Jeffrey dan Rosè secara bergilir.

"Entah bagaimana hamba mengatakan ini dengan sopan Majestè, hamba benar-benar sangat beruntung karena bisa mengabdikan diriku untuk mu meski hanya sejenak, tapi demi Tuhan Majestè, aku bersumpah dan anda sungguh telah diberkahi..." Tak ada yang bersuara, Jeffrey bahkan tampak tegang, kedua tangannya yang dia sembunyikan dibelakang tubuhnya saling bertautan dengan erat.

"Selamat untuk mu Majestè, Reine... kini tengah mengandung, anda akan memiliki seorang keturunan, seorang pewaris..."

"Anda akan menjadi seorang ayah, Majestè Jeffrey Die'udonnè yang Agung." Tutur sang dokter dengan kembali menundukan dirinya pada Jeffrey.

Hening, ruangan itu hening total selepas dokter mengatakan hasil dari pemeriksaan yang dia lakukan secara teliti dan hati-hati, bahkan dokter itu mengulang pemeriksaannya sebanyak tiga kali untuk memastikan keakuratan dari pemeriksaan yang dilakukannya.

Hingga kekehan Jekahar menjadi penyadar bagi mereka, bagi Jeffrey dan Rosè yang bahkan tak sadar jika kedua mata mereka telah basah.

"K-kau, tidak, menipuku 'kan ?" Tanya Jeffrey dengan suaranya yang bergetar.

"Hamba berani menjamin hal itu Majestè, hamba bahkan sanggup untuk di hukum mati jika hamba salah." Dan jawaban itu cukup untuk meyakinkan Jeffrey bahwa itu benar, bahwa Rosèanne nya tengah mengandung. Buah cinta mereka.

"Oh, ya Tuhan..." Jeffrey berjalan pelan kearah Rosèanne yang tengah menangis dengan menutup mulutnya, seakan tidak percaya bahwa kini ada sesosok mahluk kecil yang tinggal di dalam dirinya.

"Rosè—" Jeffrey langsung memeluk Rosèanne dengan erat, mereka menangis haru dan bahagia tentu saja. Kembali dipercaya untuk menjadi calon ayah dan ibu dari janin kecil yang akan tumbuh kelak nanti.

"Terimakasih banyak, terima kasih..." Jeffrey mencium kening Rosè beberapa kali dan mengusap punggung istrinya yang juga bergetar.

Jekahar mengajak dokter keluarganya itu untuk keluar setelah melihat Yerimia yang juga telah keluar lebih dulu karena tak kuat menahan dirinya melihat keharu-biru yang tercipta dikamar itu. Jekahar lantas menyalami dokter dengan sangat ramah.

"Terimakasih dokter Wilson, anda sungguh telah membantu..."

"Tentu Tuan ku, sudah menjadi kewajiban bagi ku untuk itu, terlebih ini menyangkut tentang seorang pewaris, Majestè dan Reine pasti telah melewati banyak kesulitan dan ini adalah hadiah bagi mereka, aku sungguh bahagia menjadi orang yang mengabarkan kehamilan Reine pada Majestè..." Jekahar lagi-lagi tersenyum ramah. Dokter keluarganya ini memang orang terbaik yang pernah dia temui.

"Tapi Tuan ku, hamba juga menyadari jika kondisi Reine terlihat kurang sehat,"

"Yah, itu wajar, Reine baru saja sembuh dari sakitnya, dia berkata bahwa dirinya mungkin telah diracuni oleh dokter istana"

"Apa ?!"

"Hm, kau pasti terkejut mengetahuinya, tapi sepertinya apa yang Reine katakan adalah sebuah kebenaran, dia mungkin diracuni selama ini,"

"Jika begitu, kondisi Reine pasti begitu lemah saat ini..." Jekahar tersenyum melihat raut khawatir dari dokternya ini, seakan tak percaya bahwa ada orang yang berani menyakiti seseorang demi maksud dan ambisi.

"Tidak akan, wanita milik Majestè itu adalah wanita yang berbeda, dia kuat dan cerdas, mengetahui bahwa ada yang salah dengan obat yang di ramu oleh dokter istana, Reine tidak lagi meminum obat itu dan terbukti dia kembali sehat...."

"Ah benar, aku mungkin akan meminta resep obat darimu untuknya dan saran agar dia bisa kembali bugar di kehamilan pertamanya ini..."

"Ah, tentu saja Tuan, tentu saja."

.
.
.

"Jeff..." Jeffrey yang terlihat masih menggenggam tangan Rosè dengan sesekali menciuminya itu mengalihkan pandangannya pada Jekahar, sepupunya itu masih tersenyum.

"Aku sungguh-sungguh bodoh karena tidak mengetahui bahwa istri ku tengah mengandung, Jekahar, aku sungguh bodoh..." Jeffrey kembali menangis, menyadari kebodohannya. Seharusnya Jeffrey tahu tentang keadaan Rosèanne, seharusnya dia mencari tahu lebih banyak lagi tentang kondisi istrinya dan malah mempercayai ucapan dari dokter istana yang justru dibelakangnya hendak mencelakai istrinya.

"Aku bodoh sekali..."

"Majestè..." Rosè yang kali ini meraih pundak Jeffrey yang terlihat lemah dan memeluknya, menenangkan suaminya itu yang masih terus menangis dan menyalahkan diri.

Jekahar mendekat dan menarik Jeffrey untuk berdiri, menegakan kedua pundak Jeffrey yang kini melihat padanya.

"Sudah cukup menitikkan air mata mu Jeff, sekarang tegakan diri mu dan dengarkan aku..."

Jeffrey mengusap wajahnya dan menatap lamat pada Jekahar yang memandangnya dengan serius, tidak ada gurat wajah canda dalam sorot yang Jekahar tunjukkan kini.

"Semuanya sudah jelas Jeff, ini adalah ulah dari para menteri mu yang ular dan pengkhianat itu, mereka telah menjebak mu dan menyakiti Rosèanne selama tiga tahun terakhir,"

"Apa kau akan tetap berada disini sedang meninggalkan tahta ku disana ? Apa kau akan menyerahkan tahta begitu saja pada mereka ? Apa kau akan menyerahkan apa yang telah kau perjuangkan selama 20 tahun ini pada mereka yang haus tahta ? Tidak kan ? Kau tidak akan melakukannya !" Jekahar mencengkeram erat kedua pundak Jeffrey dan kembali teras kekar, pria Die'udonnè itu kini merasa hidupnya telah kembali.

"Sekarang juga, kembalilah ke istana dan hukum mereka semua yang telah berkhianat padamu, jadilah Jeffrey Die'udonnè yang dulu aku kenal, kau adalah penguasa dan Raja Frankia Jeffrey, kembali kesana dan ajak Dauphin serta Wisten untuk menghajar habis mereka..."

"Seperti dulu, seperti kau menghukum Jules Kardinal dulu."

.
.
.

Jeffrey memacu kudanya dengan sangat cepat diikuti prajurit yang juga mengikutinya dari belakang. Rosè tidak ikut pulang karena Jeffrey memintanya untuk tetap tinggal dikediaman Jekahar sampai situasi di istana membaik.

Dan kini, Jeffrey telah kembali menjadi dirinya, menjadi Louis yang Agung yang haus akan kemenangan.

Hati Jeffrey kini tengah membangun tebing tinggi yang akan sangat sulit untuk ditembus, sulit untuk dimintai pengampunan. Jeffrey telah kembali menjadi sosoknya yang kejam bagi lawannya.

Ini gila, bagaimana bisa dirinya tidak menyadari bahwa dirinya telah dijebak selama ini ? Yah memang jika dirinya lah yang membuat kesepakatan gila itu dengan para menteri tapi dirinya tidak tahu jika kelicikan para menteri sama sekali tak tercium olehnya. Menyakiti Rosèanne dengan ramuan racun agar wanitanya itu tak bisa mengandung hingga terus menerus menyudutkannya agar segera turun tahta.

Lihat aja apa yang akan Jeffrey lakukan pada mereka jika dirinya sudah sampai nanti.

Sepertinya Dauphin dan Wisten juga akan sama marahnya dengan dirinya jika mereka tahu fakta yang sesungguhnya.

"Cepat ! Kita harus segera sampai secepatnya !!!" Ujar Jeffrey keras dengan terus memacu kudanya.

.
.
.






Oke, lanjut gas ke chapter ending awokwokwok 🤸💃

Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 575K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
70.6K 5.8K 14
Saat perasaan cintanya kian tumbuh, Jisoo harus dihadapkan dengan kematian Taeyong yang mendadak. Tiba-tiba saja perasaan cintanya lenyap, digantikan...
7.6K 1.1K 21
Dua sejoli yang seharusnya tidak bersatu, memaksakan kehendak untuk menentang peraturan. Mengatasnamakan cinta untuk berjuang mendobrak dendam antar...
KASHMIR By B.O.S🚀

Historical Fiction

369K 24.2K 119
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...