ALVAREZ [End]

By PinkCappuccino

9.6M 225K 77.3K

(SUDAH TERBIT) TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA -Sequel Silhouette- (ABC SERIES) "Gue terima surat cinta lo." "H... More

โค๏ธŽ ATTENTION โค๏ธŽ
Prolog
02 - Breath
03 - Shadow
04 - Tatapan
05 - Breakfast
06 - Love Letter

01 - Poor Zea

329K 35.5K 21.9K
By PinkCappuccino

Halo apa kabar~
Aku mau update ulang cerita Alvarez setiap Senin. Biar yang gabisa beli novelnya menikmati versi wattpad. Yang beli novelnya juga nggak bakalan rugi karena extra partnya banyak banget 🫰🏻

Versi wattpad juga nggak aku revisi, jadi kalau ada typo dan kesalahan penulisan mohon dimaklumi. Enjoy 🎀

❤︎❤︎❤︎

Mata Zea tak berkedip menatap jam dinding di depan kelas. Setiap detiknya seolah berarti. Di tangan gadis itu sudah ada sebotol air mineral yang tengah digenggamnya erat. Kakinya tak bisa diam, ia tengah gugup. Detik jam dinding itu seolah berbalapan dengan detak jantung Zea.

Tepat, saat jarum jam berada di angka dua belas, bel berbunyi sangat nyaring. Sebagian anak melemaskan bahu seolah merasa lega, sebagian juga memilih mengistirahatkan kepala mereka dengan cara meletakkannya di atas bangku, ada juga yang sudah mengode teman sebangku untuk ke kantin. Namun berbeda dengan Zea. Guru matematika di depan kelas saja baru mengucapkan, "Sampai sini pelajaran kita hari ini." Namun Zea seperti kesetanan malah berdiri dan langsung berlari meninggalkan kelas, mendahului guru matematika yang baru saja berdiri dari kursinya yang ada di muka kelas.

Sekelas dibuat bungkam, terlebih guru matematika yang cukup heran. Naura dan Ira sudah nyengir, "Zea kebelet pipis, Bu." Ujar Ira menetralkan suasana yang sempat hening beberapa detik itu.

Bu Susan, selaku guru matematika kelas sepuluh mengangguk paham. Ia keluar kelas tanpa bertanya-tanya lagi. Sekelas juga mulai gaduh, seperti pasar. Ada yang keluar untuk ke kantin, ada yang makan bekal, ada juga yang sibuk mencatat materi di papan.

"Kali ini Zea ke mana?" tanya Naura.

"Pasti ke lapangan, Kak Alvarez kan pelajaran olahraga hari ini," balas Ira.

"Kasihan Zea."

"Tapi lebih aman kita nggak usah ikut campur. Tahu 'kan ancaman Kak Alvarez waktu itu. Kalo kita ikut campur, Zea bakal lebih menderita."

"Bener juga. Lagian Zea ceroboh banget. Bisa-bisanya dia tabrak Kak Alvarez yang ganteng nan galak itu. Rusakin jam tangan mahalnya lagi. Apes banget."

Naura dan Ira kompak membuang napas. Miris pada nasib temannya yang cantik tapi ceroboh itu.

Kejadian jam tangan Alvarez yang rusak itu sudah berjalan sebulan. Dan selama sebulan Zea menjadi asisten Alvarez, kata kasarnya pembantu, atau yang lebih kasar babu.

Zea yang selalu datang terlambat, berubah menjadi anak paling rajin di antara dua temannya. Jam setengah tujuh sudah sampai sekolah, ia menunggu Alvarez di parkiran untuk sekadar membawakan tas punggung pria itu sampai ke kelas.

Belum lagi saat makan siang, Zea diwajibkan untuk makan bersama Alvarez di kantin. Tentu bersama dua teman Alvarez, Bilal dan Caka. ABC, julukan mereka di sekolah.

Alvarez Atmaja, si tampan, si pintar, si mulut pedas, dan si galak. Meski banyak yang mengagumi dan ingin dipacari pria itu, namun tak ada satu pun perempuan yang mau dan berani dekat-dekat Alvarez. Apalagi kalau tidak ingin terkena tatapan tajam, semprotan pedas mulut seksinya, atau yang lebih penting sikap galaknya. Mereka lebih ingin hidup aman, nyaman, dan tentram.

Berbeda lagi dengan Bilal, dia adalah teman Alvarez yang paling friendly. Saking friendly-nya, dia dijuluki sebagai pria termodus sepanjang sejarah Internasional High School.

Dan mungkin di antara ketiganya, hanya Caka yang bisa dibilang netral di mata warga sekolah. Si kutu buku, yang paling sabar. Jika warga sekolah takut pada Alvarez karena galaknya, atau mungkin takut pada Bilal karena mulut buayanya, mereka tak akan pernah takut pada Caka. Semua warga sekolah selalu mengandalkan Caka jika ada keperluan dengan Alvarez, selaku Ketua OSIS. Mengingat Caka adalah Wakil Ketua OSIS.

Kembali lagi, Zea baru saja sampai di lapangan indoor sekolah. Ia melihat Alvarez baru saja selesai bermain basket. Guru olahraga juga sudah meninggalkan lapangan.

Tanpa ragu, Zea menghampiri Alvarez, menyodorkan sebotol air mineral pada pria itu. "Kak, air minumnya." Ujar Zea.

Alvarez mengambil botol minum itu, memperhatikan dengan saksama. "Gue mau es jeruk."

"Tapi kantin lagi rame, Kak. Keburu haus, nanti aku lagi yang Kakak omelin?"

Alvarez melotot, "Ngomel lo bilang?"

"B—bukan gitu... maksud aku, nanti Kakak eum ...," Zea panik, ia memikirkan kata yang pas untuk berbicara pada Alvarez. Namun tidak menemukan kata yang pas. Memang Alvarez suka ngomel.

"Lo mau? Setahun lo jadi pembantu gue buat lunasin hutang lo ke gue, jadi seumur hidup gara-gara belas kasihan gue ke lo hilang?"

"J—jangan, Kak. Yaudah aku beliin di kantin." Baru saja Zea berbalik hendak berlari ke kantin, namun, Alvarez menarik lengan seragam Zea untuk menghentikan langkah gadis itu.

"Bareng!"

"Hah?"

"Gue bilang bareng." Tekan Alvarez.

•••000•••

Di kantin, lagi-lagi meja Alvarez menjadi sorotan. Duduk Zea dan Alvarez di sana, hanya berdua. Jarang sekali Alvarez bersama dengan perempuan. Jadi pasang mata yang menangkap kejadian langka itu terheran-heran.

"Pesen sana." Ujar Alvarez bersikap cuek seraya memainkan ponselnya.

"Udah, Kak. Kakak mau pesen apa lagi selain es jeruk?"

"Gue bilang lo, sana pesen."

"Hah? Eum, enggak, Kak. Uang aku di tas, lupa nggak dibawa."

Alvarez memutar bola matanya muak. "Gue bayarin. Gue tahu lo miskin. Sana."

Sudah terbiasa, Zea hanya tersenyum paksa menerima hinaan Alvarez. Ya, bukannya tak pernah, sering sekali Alvarez menghinanya. Miskin, tolol, sok cantik, bermacam-macam. Sampai teman Alvarez—Bilal—mengatakan bahwa Alvarez memang seperti itu. Bilal juga sering mendapat hinaan. Mulut Alvarez memang suka menghina. Entah menurun dari siapa, Zea tidak paham sama sekali kenapa bisa ada manusia seperti Alvarez.

"Enggak, aku bisa bayar sendiri. Meskipun nggak sekaya Kakak, aku masih mampu beli makan di kantin pakai uang saku lima belas ribu aku." Balas Zea sedikit menyindir.

"Dih! Sok banget. Yaudah kalo gak mau."

Alvarez berdiri, ia menggebrak meja, sempat membuat Zea terlonjak.

Zea mendongak, menunggu apa yang dilakukan Alvarez yang berdiri dan sudah menjadi pusat perhatian karena gebrakannya yang tiba-tiba itu.

"Hari ini, jajanan kalian gue bayarin! Yang mau nambah sana nambah." Ujar Alvarez.

"Serius, Al?"

"Serius, Kak Alvarez?!"

"Yoi! Sekarang hari jum'at. Bunda gue yang paling cantik sedunia selalu ngajarin gue buat beramal setiap hari jum'at. Ya karena gue baik kayak bunda gue, gue traktir kalian semua makan sebagai amal jum'at gue minggu ini."

Seisi kantin gaduh. Mereka berlomba-lomba untuk memesan makanan. Alvarez kembali duduk dengan santai setelahnya. "Baik 'kan gue." Bisiknya di telinga Zea.

Zea melirik dengan alis terpaut. Kakak kelas yang duduk di sampingnya ini sungguh memiliki rasa percaya diri tinggi.

"Gak boleh umbar kebaikan buat dipuji tahu, Kak." Nasihat Zea.

"Gue emang baik, jadi nggak haus pujian semua orang juga tahu gue orang baik."

Zea membuang napas, memilih untuk tidak peduli saja. Berbicara dengan Alvarez seperti berbicara dengan batu. Keras.

"Pulang sekolah lo temenin gue."

"Temenin ke mana?"

"Beli senar gitar, senar gitar gue kemarin putus."

"Nggak sampe malem, kan? Soalnya aku belum izin orang tua."

"Cuman beli senar gitar doang, terus makan, pulang. Lagian orang tua lo nggak punya HP apa? Tinggal kabarin apa susahnya? Uti sama akung gue aja udah pinter main facebook, Zea."

"Ya nanti ditanyain sama siapa, ke mana, ngapain aja. Aku males, Kak. Mama aku cerewet."

"Sama Alvarez Atmaja, ke toko musik, beli senar gitar, terus makan, terus pulang. Apa susahnya? Gue bukan preman. Gue orang ganteng di sekolah ini."

Zea ingin sekali mencakar Alvarez, hanya saja, memang Alvarez ganteng mau bagaimana? Tapi sepertinya, hanya Alvarez orang ganteng yang gemar memuji dirinya sendiri. Zea tak pernah menemukan spesies seperti Alvarez sebelumnya.

Selama jam istirahat pertama, Zea tak makan apa-apa. Ia hanya menemani Alvarez makan seraya menyeruput es jeruk yang tampak menyegarkan itu. Zea cukup menyesal tidak menerima tawaran Alvarez.

•••000•••

Pulang sekolah, kelas Alvarez lebih dulu selesai pelajaran. Alhasil pria itu memilih untuk menyusul Zea ke kelasnya.

"Al, lo nggak mau nongkrong di warung Bu Cumi?" tanya Bilal saat melihat Alvarez terburu-buru memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Gue mau beli senar gitar."

"Sama Zea?" tanya Caka.

"Yoi."

"Lo naksir Zea ya?" goda Bilal seraya menunjuk-nunjuk Alvarez.

"Dih! Ogah! Sama cewek tepos itu?"

"Gengsi lo, Al." Ejek Caka menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tepos-tepos gitu cantik tahu," tambah Bilal.

Selanjutnya Alvarez memilih pergi tanpa mempedulikan ucapan Bilal dan Caka. Meski dalam hati, Alvarez berteriak. Zea cantik? Ya cantik banget gila!

Alvarez sangat tertarik pada Zea, dan ia bingung bagaimana cara mendekati adik kelasnya itu. Secara Alvarez terkenal galak.

Saat Alvarez ingin bicara untuk minta nomor ponsel Zea usai MOS, gadis itu sampai membawa dua temannya. Dia juga bertanya salahnya di mana sampai Alvarez mengajaknya bertemu. Padahal Alvarez hanya ingin PDKT saja. Dan dari sana Alvarez tahu kalau Zea sama seperti murid lain yang takut padanya.

Sampai akhirnya Alvarez meminta saran ayahnya, Alvero.

Sore itu, ayah Alvarez—Alvero— yang libur kerja sedang asik menyeruput kopi buatan bundanya di taman belakang.

Alvarez yang tampak kesal sepulang sekolah karena gagal meminta nomor ponsel Zea akhirnya duduk seraya menggerutu. Hal itu mencuri perhatian Alvero. Ayahnya itu membuka kacamatanya, menatap Alvarez dengan dahi mengerut.

"Kenapa kamu?" tanya Alvero.

"Nggak apa-apa, Yah." Balas Alvarez singkat. Meski wajahnya masih terlihat kusut.

"Kebiasaan, ditanya kenapa, selalu jawab nggak apa-apa. Mirip banget sama bundamu itu. Nggak apa-apa tapi wajahnya kusut kayak baju yang belum disetrika."

"Lagi kesel aja."

"Kesel kenapa? Sana beli mobil, biar nggak kesel. Nih pake kartu Ayah." Alvero mengambil dompet di saku celana bagian belakangnya. Memberikan kartu andalannya untuk Alvarez, putra semata wayangnya.

"Bosen beli mobil mulu, Alvarez juga pake motor ke sekolah. Nggak bakal kepake mobilnya. Kalo ketahuan bunda pasti diomelin lagi."

"Yaudah beli helikopter aja. Ayah nggak bakal bangkrut kok kalo cuma buat jajan helikopter."

"Alvarez lagi nggak mau buang-buang duit. Inget ucapan bunda. Cari duit susah."

"Dih! Lagian yang cari duit itu Ayah." Alvero kembali memasukkan dompetnya ke dalam saku celananya. Ia memilih diam saja karena tak ingin memaksa Alvarez untuk cerita.

Baru saja Alvero hendak mengambil tabletnya, Alvarez bersuara. "Alvarez suka cewek, Yah. Namanya Zea. Dia tuh tolol banget! Alvarez suka. Gemes aja gitu. Baru kali ini ada perempuan tolol yang bikin gemes."

Alvero cukup tercengang mendengar ucapan putranya. Ternyata benar Alvarez adalah putranya, selera perempuan mereka sama. Sama-sama suka yang tolol.

"Tumben kamu cerita masalah cewek sama Ayah?"

"Ya karena baru Zea yang bikin Alvarez tertarik. Emang nggak boleh? Al udah gede kali. Udah boleh pacaran."

"Ya deketin aja. Emang dia bisa nolak kamu? Kamu itu anak Alvero Atmaja. Ganteng, pinter, kaya, baik, dan tentunya semua itu warisan Ayah. Jadi jangan malu-maluin kalo kamu sampe ditolak. Lakukan apapun, Al! Kamu harus dapetin dia dengan cara apapun. Yang penting tahu batas. Laki-laki harus berjuang!" Entah nasihat Alvero adalah sebuah pencerahan atau petaka. Alvarez sangat suka mendengarnya. Ia merasa tertantang untuk itu.

Percakapan singkat mereka buyar kala Chrisa datang membawa sepiring cookies. "Kalian lagi ngomongin apa?" tanyanya.

"Hah? Enggak ngomongin apa-apa, Bunda."

Alvero berdehem, ia sok sibuk dengan kembali mengambil tablet dan memasang kacamatanya. Tentu, jika Chrisa dengar nasihat Alvero untuk Alvarez, wanita itu tak akan setuju.

Hal itu adalah awal, di mana Alvarez dengan licik menjebak Zea.

— T o B e C o n t i n u e —

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 113 1
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Cowok playboy jadi bucin+manja? Ini kisah tentang Javier Orlando. Laki - laki dengan sejuta kebrutalan dalam dirinya. N...
3.3M 384K 67
"Lo kenapa segitunya bela gue sih?" "Gue berada di titik dimana gue bisa kasih seluruh hati gue untuk lo Ra." ยฐยฐยฐ "Hera, lo udah suka sama gue?" "Gue...
2.2M 241K 44
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
23.6M 1M 23
(SUDAH TERBIT) TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA "Mau enggak mau, lo harus jadi pacar gue." "Pacar?" tanya Chrisa mengulang ucapan Alvero. "Iya. Pangkat l...