hiraeth - miya osamu

By lunoxiary

23.4K 4.6K 798

6 tahun berpacaran dengan Miya Atsumu, [Full Name] tak pernah mengetahui bahwa pria yang ia kencani bukanlah... More

ε§‹γΎγ‚Š
i. bitter
ii. warm
iii. weakling
iv. home
v. untold
vi. nikujaga and onigiri
vii. piggy back ride
viii. grateful
ix. revenge
x. execution
xi. yellow hyacinth
xiii. her regret
xiv. guilty
xv. rival
xvi. forget-me-not
xvii. the truth
xviii. ambrosia
xix. daffodil
xx. spray mums
xxi. ζ„›
xxii. marigold
xxiii. kagura dance
xxiv. hallucination
xxv. a date in kyoto
xxvi. a great way to start your morning.
xxvii. egoistic
xxviii. zero point
xxix. a thief
xxx. addicted
xxxi. suspicious
xxxii. value
xxxiii. the letter
xxxiv. late night talk
xxxv. farewell
xxxvi. burning hatred
xxxvii. takane no hana
xxxviii. her diary
xxxix. more than enough
xl. last resorts
xli. cyclamen
xlii. orange lily
xliii. cherry blossoms

xii. instinct

708 159 22
By lunoxiary

Aku menghentikan tanganku yang sebelumnya beralih mengaduk bubur yang telah Osamu buatkan untukku. Dalam hati aku mengutuk diriku karena raut yang dipasang Osamu sangatlah serius.

Ia benar-benar ingin mengetahui siapa nama pemuda yang ku sukai dan kata-kata serta ekspresinya membuatku menyadari satu hal.

Oke, [Name], barusan adalah kode yang sangat keras sekali dan kau akan sangat bodoh jika tak menyadarinya.

Sial, aku hanya bisa berharap bahwa wajahku tak memerah layaknya tomat matang.

Skill flirting Osamu ternyata terlalu ku remehkan—walaupun sebenarnya ia tak sadar telah menggunakan hal itu kepadaku.

Di saat bersamaan, aku seharusnya tahu, bahwa ia terlalu sering melihat Atsumu menggoda fans nya di luar lapangan dan secara alami hafal kalimat-kalimat yang digunakan oleh kembarannya itu. Entah untuk mengejek Atsumu atau ia gunakan kepadaku jika ia punya kesempatan.

Manikku bergerak begitu liar agar Osamu tak menatapku tepat di mataku. Ada dua kemungkinan jika kami saling bertukar pandang saat ini, ia menyadari bahwa wajahku memerah saat ini atau aku akan membeberkan jawaban yang sebenarnya kepada dirinya.

Sudah jelas kedua opsi itu tak lah bagus bagiku. Aku tak ingin ia tahu bahwa aku lemah dengan perkataan manis yang keluar dari mulutnya dan aku juga tak mau ia mendapatkan jawaban yang inginkan secepat kilat.

Aku terlalu khawatir dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Bagaimana jika kesempatan yang diberikan dewa itu segera berakhir di saat aku mendapatkan apa yang aku mau?

Bagaimana jika ia malah menjauhkan ku dengan Osamu disaat kami mulai berkencan hanya karena aku tak sabaran?

Aku tak menginginkan itu semua.

Aku masih ingin bersamanya, melihatnya beraktivitas di gymnasium sepulang sekolah walaupun harus berkedok dengan kunjungan untuk menemui Kita dan kami bahkan belum berbincang melalui ponsel di pagi hari seperti yang Osamu minta kepadaku beberapa hari yang lalu.

Ada banyak hal yang ingin kulakukan bersamanya. Banyak sekali hingga jika aku tunjukkan wishlist ku, kalian akan terkejut dengan berapa panjang halaman kertas tersebut.

Pokoknya, Osamu tak boleh tahu. Ia tak boleh mengetahui bahwa orang yang aku sukai adalah dirinya.

Bahwa aku super duper menyukainya hingga aku bisa menangis jika mengingat bahwa aku menghabiskan waktu bersamanya di apartemenku, seperti saat dimana aku dan 'Atsumu' berkencan dulu.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa dalam kurun waktu dua bulan ah, ralat, 7 minggu menuju hari dimana aku menyatakan perasaanku kepadanya, aku akan membuatnya terus berjuang. Jika sampai pada hari itu ia tak kunjung menyatakan perasaannya, maka aku yang akan menyatakan perasaanku duluan

Setidaknya itu lah yang aku rencanakan.

Makanya aku rela memilih rute yang jauh dan melakukan tarik ulur dengannya. Aku tak mau tergesa-gesa dan malah menghancurkan segalanya. Kesempatan yang diberikan kepadaku dan waktu ku di dunia ini sama sekali tak ku ketahui batasnya.

"Senpai ... "

Aku meliriknya yang telah memanggilku dan sontak menghela napasku karena menyadari dia memasang tampang layaknya anak anjing yang kehujanan.

Se-sejak kapan ia tahu trik berbahaya seperti itu?!

Jangan bilang bahwa Atsumu adalah biang dari semua ini?!

Osamu yang ku kenal tak pernah menggunakan trik selicik itu!

Aku buru-buru memejamkan mataku. Dalam hati merapal mantra dengan cepat agar aku berpegang teguh pada janji yang ku pegang dengan diriku sendiri.

Tahan, [Name], tahan. Kau tak boleh tergoda. Ia memang imut tapi jangan sampai terbuai oleh trik yang ia gunakan. Tolong di tahan kadar bucinnya, tolong.

Aku membuka mataku beberapa detik kemudian dan menunjukkan tampang seseorang yang sama sekali tak terpengaruh oleh keimutan yang Osamu tunjukkan.

"Maaf Osamu, tapi pembicaraan ini kita undur saja, ya?"

"Tapi—"

"Setidaknya sampai aku sehat kembali, oke?"

Aku memberikan senyum terbaik milikku kepadanya. Namun di dalam hati berteriak frustasi agar ia menyetujui ku.

"Kumohon ..."

Osamu menatapku sejenak lalu menghela napasnya pasrah. "Baiklah ... setelah senpai sembuh, senpai harus segera memberitahuku.

"Oke~"

Ia memperhatikan gerak-gerik ku sejenak lalu kembali memakan snack yang kuberikan kepadanya. Aku menghembuskan napas lega karena ia sepertinya tak akan menanyakan pertanyaan yang sukses membuatku terpojok lagi lalu memaksakan diriku memakan bubur yang telah ia buatkan untukku.

Setidaknya aku berhasil mengulur waktuku dan bisa merasa tenang hari ini. Jika tidak, aku yakin bahwa sakit kepalaku akan kumat dan aku tak akan sembuh dari demamku hingga golden week berakhir.

Agak membuatku dilema karena jika aku sembuh, aku harus membicarakan topik yang sama dan jika aku sakit seminggu penuh, semua rencanaku malah kacau balau. Nampaknya tak ada rute yang baik bagiku eh?

Aku menelan sesendok bubur dengan pikiran kalut dan detik berikutnya aku malah membelalakkan mataku.

Oh, wow! Di luar dugaanku rasa bubur nya ternyata lumayan enak, setidaknya daripada bubur buatan Kita yang selalu ku hindari. Yah, Kita memang tak terlalu berbakat dalam memasak jadi aku tak seharusnya berharap banyak kepadanya sih.

Tapi, sungguh, skill memasak Osamu sepertinya sudah terasah sedari ia remaja. Kalau begini sih, aku tak akan heran lagi ketika ia berhasil membuka kedai makanan yang terkenal akan kelezatannya.

Porsi bubur yang Osamu buat hari ini pun tak terlalu banyak jadi aku bisa menghabiskan nya dengan cepat lalu beralih pada french toast buatannya. Oh astaga, bahkan french toast ini juga enak!

"Sepertinya tak ada masalah dengan nafsu makanmu, senpai." Osamu memberikan komentar kepadaku yang makan dengan lahap dan aku terkekeh sebagai balasannya.

"Yah, sarapanmu terlalu enak sih sampai berhasil menyembuhkan indra perasaku."

"Apa itu pujian?" Ia membalas dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Tentu! Bahkan jika kau membuatkan makanan yang mengandung seafood, aku akan tetap memakannya."

"Eh tapi senpai akan dirawat di rumah sakit lho."

"Oh, benar juga. Tidak jadi deh, seafood memang enak tapi masakan rumah sakit terlalu hambar bagiku."

Osamu mendengkus geli atas komentarku yang begitu bersemangat. "Sepertinya dalam hitungan jam, senpai akan sembuh total..

"Kau sengaja berkata seperti itu agar kau segera mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu?" Aku menatapnya penuh menyelidik, setengah bercanda dan Osamu bersidekap sejenak, ikut bermain denganku.

"Mungkin?" Ia menjawab sembari tersenyum dan aku langsung berhenti memasang raut wajah ceria.

Ah, kalau begitu aku lebih baik sakit seharian, sih, batinku sembari memperhatikannya yang sudah membereskan alat makan yang berada di atas meja.

Osamu tak memperbolehkan ku untuk membantunya mencuci piring kotor jadi aku segera beranjak ke ruang tamu dengan segelas air putih dan mengambil obat penurun demam dari kotak p3k milikku.

"Osamu." Panggilku padanya yang berada di depan wastafel dan ia membalas ku dengan gumaman singkat.

"Hm?"

"Sepertinya aku akan tertidur setelah meminum obat ini." Jawabku setelah membaca efek sampingnya. Tanpa sadar bersyukur karena bisa terhindar dari kemungkinan bahwa ia akan menyerangku dengan rasa keponya. "Apa kau baik-baik saja sendirian di apartemenku? Atau kau mau kembali ke sekolah?"

Ia berpikir sejenak lalu membalas, "Senpai punya koleksi blue-ray film tidak?"

"Ada sih tapi kebanyakan film horor dan action."

"Kalau begitu aku akan menonton itu saja."

Anak ini, sepertinya ia benar-benar berniat untuk merawatku seharian ini atau mungkin ia sedang malas latihan?

Apapun alasannya, aku tetap merasa bersalah karena ia akan ku tinggal tidur. Ia pasti kesepian karena aku tak yakin akan bangun hingga sore menjelang nanti. Jadi, aku meletakkan botol obat yang ku pegang dan beranjak ke kamarku.

Mengambil bantal dan selimutku, aku mengabaikan Osamu yang menatapku dengan bingung dan sudah sibuk menarik bantalan sofa hingga memanjang menjadi sofa-bed. Ternyata ada untungnya juga aku membeli sofa dengan desain seperti ini.

"Kaset nya ada di dalam laci, snack juga ada di sana, aku tak tahu apakah masih ada jus di dalam kulkas tapi kau bisa membuat smoothie dengan buah yang masih tersisa." Aku berbicara sembari mengatur posisiku di atas sofa setelah meminum obatku.

Satu pil sepertinya sudah lebih dari cukup dan aku tak butuh kompres penurun demam lagi jadi aku mulai menyelimuti badanku dan bersandar di atas sofa. Memposisikan kepalaku di atas bantal, aku memberi tatapan penuh tanda tanya pada Osamu yang terdiam di dekat meja makan.

"Ada apa?" Tanyaku padanya. "Kenapa kau diam saja?"

"Bukankah lebih baik jika senpai tidur di kamar saja? Aku tak akan membuat kekacauan kok."

"Ano ne, aku bukannya takut barang-barangku hilang tapi aku hanya tak ingin kau sendiri—" ucapanku terpotong, aku benar-benar sudah mengantuk karena aku menguap tanpa kusadari. Obatnya bekerja lebih cepat karena aku sudah makan. "Ku ulang, aku hanya tak ingin kau sendirian di apartemenku dan merasa kesepian. Lagipula, aku merasa nyaman jika berada di dekatmu."

Aku menurunkan masker yang kugunakan, menunjukkan sebuah senyuman kepadanya yang diam membisu lalu kembali berkata, "Jadi, pilih film yang ingin kau tonton dan duduk lah di sini."

Aku menepuk posisi kosong di sebelahku dan kembali memakai maskerku. Sungguh pada poin ini aku sudah begitu mengantuk, aku bahkan tak bisa menebak ekspresi macam apa yang tengah Osamu pasang di balik maskernya dan memilih untuk memejamkan mataku sedikit demi sedikit.

Aku juga tak bisa menebak isi pikirannya Osamu yang terkadang begitu complicated, makanya aku memilih untuk mengabaikan opininya.

Tapi mungkin, mungkin saja jika tebakanku benar, maka ia sepertinya menyukai ide dimana aku menemaninya dan ia bisa tetap berada di sisiku. Terbukti dari tangan Osamu yang memegang erat tanganku setelah ia memutar film yang ia pilih.

Ia mungkin tak tahu bahwa aku dalam kondisi setengah sadar dan mengetahui bahwa ia menyentuhku. Namun jika aku boleh jujur, aku akan mengatakan bahwa aku menyukai tindakan egoisnya ini.

Tangannya begitu hangat, terasa kasar karena sering melakukan kontak dengan bola, namun ibu jarinya yang mengusap punggung tanganku terasa begitu lembut.

Dan pada tetesan kesadaranku yang terakhir, aku menyatukan jemariku dengannya sembari tersenyum lebar di balik masker yang ku gunakan.

Sungguh, aku begitu bersyukur dengan kesempatan yang telah aku terima ini.

***

"Osamu, kau yakin kau baik-baik saja?"

"Kau pikir aku menyiksanya huh?"

"Kau sudah melakukannya bukan? Dengan cara memeluknya dari samping sehingga ia tidak bisa kemana-mana sampai kau bangun. Semakin kupikirkan, semakin menderita Osamu olehmu."

"Shinsuke!" Aku menjerit frustasi pada Kita yang lagi-lagi menyudutkanku. Ia malah mendengkus geli seolah menganggap bahwa aku yang tengah malu dan (agak) menyesal ini terlihat begitu lucu.

Layaknya sedang menjahili anak bangku taman kanak-kanak, Kita sepertinya menganggap bahwa menganggu ku yang baru sembuh dari demam adalah hal yang menarik.

"Aku tak apa-apa kok Kita-san."

"Tuh, dengar!" Aku menimpali ucapan Osamu. Memberi penekanan di kalimatku agar Kita yang mulai memasang raut wajah tak tertarik fokus kepada Osamu yang membelaku.

"Tapi pelukan [Last Name]-senpai memang erat sekali sih, aku mulai berpikir bahwa pinggang ku akan retak setelah puluhan menit dia memelukku."

"Osa—

"Tuh, dengar."

Aku menggeram pada Kita dan Osamu yang mendengkus geli saat melihat wajahku yang merah padam. Kita apalagi, ia malah membalikkan kata-kata ku kepada diriku sendiri hingga aku merasa malu bukan kepalang.

"Kalian berdua, tak baik menjahili anak gadis orang lain."

Beruntungnya, aku punya Nenek Yumie di sisiku, aku tersenyum lebar pada sosok wanita yang selalu ramah kepadaku itu. Terlebih di saat Kita tak membuka mulutnya lagi, entah itu untuk meledekku atau memancing emosiku.

Jam di ruang makan rumah Kita sudah menunjukkan pukul 7 malam dan aku yang sudah pulih secara total memutuskan untuk memaksa Osamu untuk makan malam bersama di rumah Kita yang tentunya tak keberatan jika harus menambah porsi makanan yang dimasak demi Osamu yang sudah merawatku.

Sebesar keinginanku untuk memasakkan sesuatu untuk Osamu, sebesar itu pula penolakan dari Kita karena ia tak mau salah satu aset tim nya mengalami keracunan.

Aku yang sadar bahwa aku punya kemampuan untuk meracuni seseorang pun pasrah dengan ide Kita untuk makan malam di rumahnya saja. Walaupun agak sulit karena Osamu bersikukuh ingin pulang saja.

Sebenarnya Kita sudah pulang sekitar jam 3 sore tadi sih. Latihan klub nya selesai lebih cepat dan ia memutuskan untuk singgah di apartemenku terlebih dahulu untuk mengecek keadaanku. Tanpa diduga ia malah menemukan ku yang tidur dengan memeluk pinggang Osamu.

Aku juga tak sadar bahwa aku tidur dengan posisi seperti itu. Mungkin kau bisa memanggilnya sebagai tindakan berdasarkan insting karena sebelumnya aku kerap tidur dengan posisi memeluk 'Atsumu'.

Hanya saja dipergoki oleh Kita adalah hal yang terburuk yang pernah ku bayangkan, aku mungkin harus tahan mendengar ia membalas argumen ku dengan kata-kata yang berhubungan dengan insiden itu hingga beberapa hari ke depan.

Osamu di sisi lain, awalnya tak terlalu mempermasalahkan tindakan ku. Ia hanya berkata, "Syukurlah kalau demam senpai sudah turun." saat aku bertanya kepadanya dan tak mengatakan apapun tentang apa yang ia rasakan ketika aku memeluknya tanpa sadar.

Tapi akibat Kita, ia juga ikut-ikutan meledekku.

Aku hanya bisa berharap di dalam hati bahwa aku tak mengatakan hal yang aneh di dalam tidurku ataupun melakukan gerakan yang memalukan agar mereka tak semakin meledekku dan supaya Atsumu tak mengetahui kejadian ini. Mulutnya yang seperti ember bocor itu tak bisa kupercaya, apalagi jika ia bercerita kepada Suna.

Kumohon Kamisama, jangan buat poin minus ku di mata Osamu bertambah!

"Ngomong-ngomong [Name],"

"Ya?"

"Golden week ini kau akan tetap disini atau pulang ke Kyoto seperti tahun-tahun sebelumnya?"

Aku berpikir sejenak, membiarkan Kita sibuk menata piring dan sumpit di atas meja dan sesekali melirik Osamu yang duduk dengan canggung di sebelahku. Pulang ke Kyoto, ya?

"Aku memang punya rencana untuk pulang ke Kyoto sih. Ada yang ingin ku urus di sana tapi belum sepenuhnya pasti, aku belum mengabari orang tuaku dan tugas sekolah untuk minggu selanjutnya sedikitpun belum ku sentuh."

"Kelas tiga diberikan tugas selama golden week ini?" Osamu menimbrung percakapan di antara kami.

"Banyak tugas malah." Kita menjawab. "Kalian murid kelas dua harus bersyukur, apalagi kamu dan Atsumu."

Aku menganggukkan kepalaku, menyetujui ucapan Kita. "Kalian adalah murid kesayangan jadi guru-guru meringankan tugas kalian."

"Walaupun sebenarnya lebih baik memberikan tugas yang banyak untuk Atsumu agar ia tidak berkeliaran sih."

Aku tertawa atas balasan yang Kita berikan, terlebih di saat Osamu mengangguk, menyetujui ucapan Kita karena kenyataannya, Atsumu memang sering pergi bermain sana-sini.

"Bukankah seharusnya kamu pulang, [Name]-chan? Tahun baru kemarin kamu tidak pulang 'kan? Orang tuamu pasti merindukanmu."

Aku mengangkat kepalaku, bertemu pandang dengan Nenek Kita yang meletakkan hotpot di atas meja. Masih mendidih dan asap nya mengepul di sana sini.

Sungguh, terkadang aku heran dengan Nenek Yumie yang punya tenaga layaknya anak muda. Aku sih tidak sanggup mengangkat pot dari keramik itu di tambah isinya yang sangat penuh dari dapur ke ruang makan ini. Lenganku pasti sudah menyerah di tengah jalan.

Namun begitu aku meresapi ucapan Neneknya Kita, aku menaikkan alisku. "Tahun baru kemarin aku tidak pulang?"

Kita balik menatapku heran, tangannya yang sedang meletakkan mangkuk di depan Osamu langsung berhenti. "Kau masuk rumah sakit, akibat anemia dan malnutrisi. Kau tidak ingat? Kau bahkan menangis karena stok kantung darah ketika kau masuk rumah sakit habis total."

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Seingatku, semenjak aku pindah ke Osaka, aku selalu pulang ke Kyoto setiap golden week, awal libur musim panas dan libur musim dingin hingga tahun baru an di sana. Itu adalah kesepakatan yang ku buat dengan keluarga ku.

Dan tahun baru kemarin, aku yakin bahwa aku pergi ke kuil bersama orang tuaku dan mengikat kertas ramalan yang aku beli bersama mereka di sebuah tali yang sudah disediakan. Kegiatan rutin yang kami lakukan sebelum menikmati acara televisi khusus tahun baru dengan mochi, soba serta buah jeruk di atas kotatsu yang hangat.

Sungguh aneh, aku juga tak pernah masuk rumah sakit karena anemia dan malnutrisi. Lagipula, bagaimana mungkin aku malnutrisi disaat keluarga Kita selalu mengurusku?

Aku bahkan selalu makan masakan yang dimasak neneknya dan jarang membeli makanan siap saji, kecuali jika nenek Kita sedang ada urusan ke luar kota dan Kita juga ikut menemani Neneknya.

Anehnya lagi, keluarga Kita tak pernah keluar kota di saat tahun baru. Jadi, kenapa aku malah dirawat di rumah sakit?

Kita bertukar pandang dengan Neneknya, cukup lama hingga aku serta Osamu hanya menatap mereka dengan tatapan bingung, tak bisa mengerti bahasa telepati mereka.

"Seperti yang Shinsuke bilang beberapa hari yang lalu, kamu memang bertingkah aneh [Name]." Respon yang Nenek Yumie berikan cukup membuatku terkejut. Ternyata Kita bercerita kepadanya huh?

Aku berusaha menunjukkan senyumku namun otot wajahku terlalu kaku. "Aku mungkin mengalami amnesia ringan." Komentarku pelan.

"Akibat spike Tsumu?" Tanya pemuda berambut kelabu di sebelahku dan aku membalas sembari menganggukkan kepalaku.

"Sepertinya begitu karena aku melupakan banyak hal akhir-akhir ini."

"Sebaiknya senpai ke dokter."

"Hm, akan ku lakukan saat aku ke Kyoto nanti."

Menit berlalu, kami mulai makan malam setelah Nenek Kita memanggil kedua adik Kita yang semakin jarang kutemui karena mereka sudah menginjak bangku sekolah menengah pertama dan ikut les yang membuat mereka jarang makan malam bersamaku.

Ruang makan keluarga Kita mulai bising karena televisi yang dihidupkan oleh adik Kita yang paling bungsu, sehingga aku memiliki kesempatan untuk memisahkan jamur yang tak ku sukai di pinggir hotpot.

Sungguh, dari semua sayur yang ada di dalam hotpot, kenapa malah jamur—jenis makanan yang cukup ku benci— berada di dekatku?

Beberapa menit pertama, aku selamat dari tatapan Nenek Yumie. Namun menit berikutnya saat aku ingin mengambil potongan daging, aku malah mendapat tatapan tajam dari Kita yang duduk di seberang ku.

Ia menunjuk ku dengan sumpitnya, hanya dalam hitungan di bawah satu detik tapi cukup membuatku bergidik ngeri. Itu adalah perintahnya untuk tak menyisakan makanan.

Aku mengangkat jari telunjukku, "Sekali ini saja, please~"

Aku berbisik kepada Kita, mencoba memintanya memberikan perlakuan khusus kepadaku.

Oh ayolah, aku baru saja sembuh. Tidak bisakah ia memberikan kelonggaran untukku?

Kendati begitu, Kita sepertinya terlalu dingin untuk aku lelehkan. Ia menggelengkan kepalanya dan membuat bahu ku langsung turun.

Aku bertukar pandang dengan Osamu yang duduk di sebelahku dan ia mengulas sebuah senyuman tipis.

Ia memakan semua jamur yang ku sisihkan, tanpa mengatakan apapun kepadaku maupun Kita yang sudah menghela napasnya.

Hatiku menghangat, tindakan sederhana darinya bahkan sudah cukup untuk membuatku mabuk kepayang.

Osamu ternyata lebih peka daripada yang ku duga, huh?

***

"Terimakasih untuk perawatan mu hari ini."

Aku menghentikan langkahku begitu aku mencapai bagian depan apartemen yang ku tinggali. Makan malam sudah berakhir puluhan menit yang lalu dan aku bahkan sudah menghabiskan banyak waktu di rumah Kita sembari berbincang dengan Nenek Yumie serta Osamu selagi Kita menyelesaikan tugas yang bisa ia pinjamkan kepadaku.

"Kau sepertinya berbakat untuk menjadi perawat, Samu."

"Yah, kalau pasiennya seperti senpai aku tak keberatan sih."

Aku terdiam karena respon yang ia berikan secara spontan. Nyaris menjatuhkan buku-buku tugas milik Kita yang saat ini ku dekap di dadaku.

"Oho, kau bahkan bisa menggunakan jurus flirting yang sama dengan Atsumu sekarang." Aku membalas dengan nada canggung dan mendapati Osamu tengah menatapku dalam-dalam. Membuatku tambah grogi di hadapannya.

Perasaanku saja atau atmosphere di antara kami berdua sangat berbeda?

"Dia 'kan kembaranku."

"Ah, kau benar."

Osamu menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku lalu berkata, "Senpai harus segera tidur setelah ini, oke?"

"Mou, memangnya aku ini anak kecil?"

"Tidak sih tapi itu hanya tindakan pencegahan. Kita-san bilang senpai sering tidur larut jika keasyikan membaca novel dan aku setuju dengan larangan yang ia berikan kepadamu."

Aku menatapnya dengan air muka masam. "Sekarang aku jadi ragu, kalian ini temanku atau orangtuaku?" Tangan kananku bergerak maju, mendorong tubuh Osamu yang malah tak bergerak seinci pun. "Pulang sana, nanti orang tuamu khawatir."

"Senpai mengusirku?"

"Aku tidak mengusirmu. Ini sudah hampir jam 9 malam, apa kata orang tuamu jika ia tahu bahwa kau masih bersamaku?"

"Mereka akan senang, mungkin?"

Aku menatapnya heran. Orang tua macam apa yang senang saat tahu anaknya berduaan hingga larut malam di apartemen gadis lajang?

"Apapun itu, kau harus segera pulang. Aku sudah hampir pulih karena panasku sudah turun jadi kau tak perlu merawatku lagi."

"Benarkah?" Ia meletakkan telapak tangannya di dahiku secara spontan dan aku yang kaget karena tindakannya yang tak kuduga mundur satu langkah dengan netra yang melebar. "Masih panas." Komentarnya pelan.

"Te-termometer yang kugunakan mengatakan yang sebaliknya kok?" Aku berkata dengan canggung lalu kembali melangkah maju. Menatapnya yang kelihatan tak percaya, aku lantas menginstruksikannya untuk melakukan satu hal.

"Um, coba tundukkan badanmu."

"Untuk?"

"Lakukan saja. Cepat."

Sebelum rasa malu ku kembali terisi lagi.

Osamu menuruti permintaanku dan aku menggeser poniku sebelum menempelkan dahiku dengan dahinya. Ini cara yang biasa 'Atsumu' gunakan untuk mengecek demamku dan aku harap ia percaya bahwa demamku sudah turun.

"Sudah turun 'kan?" Kataku cepat lalu bersiap untuk menarik badanku menjauh darinya. Aku tak menyadari hal ini sebelumnya tapi ketika jarak di antara kami nyaris terhapus, aku langsung tersadar bahwa aku sudah melakukan hal yang melewati batas.

Bau parfum yang Osamu gunakan begitu menguar dari jarak sedekat ini dan jika tak terhalang oleh masker yang sama-sama kami gunakan, aku mungkin sudah bisa merasakan hembusan napasnya di permukaan wajahku. Hal yang patut aku syukuri karena aku tak yakin masih bisa bersikap normal setelah mengalami hal tersebut secara langsung.

"Maaf, Osamu. Aku telah—"

Ucapanku terpotong akibat napasku yang tercekat saat aku merasakan tangan Osamu sudah berada di kedua sisi wajahku. Aku menatapnya dengan gugup, takut bahwa ia kesal kepadaku karena aku tiba-tiba mendekatkan wajahku kepadanya.

Namun Osamu tak mengatakan apapun, ia hanya diam, menatapku dalam-dalam sembari mengusap wajahku yang tertutup masker kesehatan.

Aku seolah terhipnotis manik kelabu miliknya yang memikat hingga aku terdiam di posisi ku layaknya sebuah patung dan membiarkannya menyentuh wajahku.

Aneh, aku harusnya segera menjauhkan diriku dari nya karena aku tak tahu apa yang akan Osamu lakukan kepadaku.

Tapi aku terus menatapnya dan meneliti fitur wajahnya yang tertutup masker berwarna putih hingga tiba-tiba saja ia menghapus jarak di antara kami.

Masker yang kami gunakan menempel secara sempurna, tangan kanan Osamu sudah beralih menyentuh tengkuk ku dan ada rasa hangat yang menggelitik di dadaku.

Netraku melebar sempurna, buku-buku milik Kita yang sedari tadi ku dekap jatuh begitu saja di atas jalanan dan tangan ku menggantung di udara saat otakku bisa mencerna apa yang telah terjadi.

Osamu, dia telah menciumku.

Tepat di bibirku.



TBC

Saya yang nulis, saya juga yang baper (╥﹏╥)

Continue Reading

You'll Also Like

109K 8.9K 85
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
78.6K 3.6K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)πŸ”ž+++
91.1K 11.2K 35
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
52.7K 11.5K 131
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...