BERTEDUH

By amellidong

62K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

3. HANYA AKU

3.6K 671 52
By amellidong

Sepanjang perjalanan, konsentrasi Tombak terbelah dengan jalanan gelap di hadapannya, serta tatapan kosong Aira yang selalu menghadap jendela. Sejak masuk ke dalam mobil, perempuan itu tak mengucapkan barang satu kata pun sebagai pemecah sunyi di antara keduanya. Terjebak dalam keadaan seperti ini, lama-lama membuat Tombak frustasi juga.

"Aira?"

"Hm?" Tak sedikit pun Aira menggerakkan kepala ataupun bola matanya.

"Perjalanan kita berdua setelah ini... kamu maunya ke mana?"

Detik berlalu, hanya keheningan yang menyelimuti. Tombak pun menggenggam kedua tangan Aira yang saling bertautan di atas paha perempuan itu.

"Aira?"

"Ya?" Aira menoleh dan kembali nampak hidup dengan ekspresinya kali ini. "Ada apa, Tombak?"

Tombak menghela napas dan menepikan mobilnya. "Kamu banyak melamun dari tadi. Kamu nggak apa-apa?"

"Oh ya?" Aira mengusap wajahnya dan turut menghela napas besar. "Maaf, ya? Fokusku sedikit terganggu."

"Apa yang kamu pikirkan?"

Aira menghadap jalanan gelap di depannya seraya berpikir. "Nggak ada sebenarnya. Nggak tahu."

Dahi Tombak mengerut.

"Mungkin aku cuma capek."

"Kamu yakin?"

Kepala Aira mengangguk untuk meyakinkan suaminya. Perempuan itu bahkan menunjukkan senyum kecil. "Ayo pulang. Semakin cepat aku tidur bakal semakin baik."

.

Gembul terlihat berdiri dari kursi teras saat mobil Tombak memasuki halaman. Pria bercambang tipis itu tersenyum ramah dan membungkuk sedikit menyambut kedatangan para pemilik rumah. "Gimana rasanya kencan sama Mas Tommy, Ra? Seru?"

Aira tertawa kecil. "Seru dooong!" jawabnya seraya berjalan menuju teras.

"Syukurlaaaah." Gembul melirik Tombak yang sedang mengeluarkan beberapa barang dari mobil.

"Andrea mana, Mas?"

"Habis makan malam tadi langsung masuk kamar, sih. Telponan kali sama pacar-" Gembul berhenti seketika untuk menatap Aira lekat-lekat. "Kamu pucat, Ra. Sakit?"

Kepala Aira menggeleng cepat. "Cuma ngantuk, Mas. Nggak apa-apa."

"Yakin?"

"Yakin." Aira menoleh Tombak yang kini berjalan menaiki undakan teras. "Kamu mau aku bikinkan kopi untuk nemenin Mas Gembul ngobrol?"

"Nggak perlu. Kamu cepat masuk kamar. Istirahat."

Aira membentuk lingkaran dengan telunjuk dan ibu jarinya. Setelah berpamitan kepada Gembul, perempuan itu berjalan masuk ke rumah.

"Lo yakin Aira nggak apa-apa, Boy?"

Tombak hanya memperhatikan punggung Aira yang menghilang di depan pintu kamar sebelum menatap Gembul. "Ada yang mau lo omongin, nggak? Kalau nggak, gue mau masuk."

Gembul mengangguk cepat. Wajahnya berubah serius seketika. "Ada yang mau gue diskusikan."

"Tentang apa?"

"Perkembangan organisasi." Gembul memberi waktu bagi Tombak untuk merespon perkataannya dengan ekspresi. "Nggak lama sebelum lo datang, gue dapat telepon langsung dari Bos."

"Apa yang terjadi?"

"Tapi, Boy..." Gembul nampak kesulitan. "Gue sebenarnya nggak enak ngobrolin ini sama lo. Lo kan... udah bukan anggota lagi."

Tombak menghela napas malas seraya membuang muka. Pria itu lalu meletakkan semua belanjaan Aira dan duduk di salah satu kursi teras. "Lo udah ngomong topik permasalahannya. Udah kepalang tanggung bagi gue untuk nggak ngerti. Cepet omongin!"

Senyum Gembul merekah lebar. "Pria idaman emang lo ini, Boy."

Tatapan tajam Tombak melunturkan senyuman Gembul dan segera membuat mantan partner bertugsnya itu mulai bercerita.

.

.

.

.

Seingat Aira, ia tak pernah sekalipun ke tempat ini. Ia tengah berdiri sendirian di tengah sungai dangkal nan luas. Sekitarnya nampak putih oleh kabut yang lumayan tebal. Apapun yang bisa ia dengar saat ini hanyalah suara gemericik air yang konstan dan menghipnotis.

Perhatian Aira lalu terjerat oleh air yang mengalir di mata kakinya. Lambat laun, ia merasa air tersebut semakin meninggi hingga menyentuh ujung rok selututnya. Aira berusaha menepi, namun daratan yang tadinya terlihat dekat, entah mengapa terasa semakin jauh saat Aira berusaha menapakinya.

Aira cukup terkejut ketika aliran air itu sudah berada setinggi pinggangnya. Ia semakin gugup saat melihat warna air itu yang berubah keruh.

Tidak. Ini tidak keruh. Ini merah.

Ini darah!

Napas Aira tercekat saat aliran darah itu setinggi lehernya. Jauh di daratan sana, seseorang tengah berdiri bergeming menatapnya. Aira berusaha mengulurkan tangan, berharap orang tersebut bisa menariknya keluar. Namun hingga aliran darah itu mencapai kepalanya, tak ada siapapun yang menarik tangannya.

Aira tenggelam sepenuhnya. Pandangannya di dalam air dipenuhi oleh warna merah darah. Ia tak bisa melihat apa. Kedua tangannya berusaha menggapai apapun untuk ia pegang, namun ia tak menemukan apa-apa. Ketakutan Aira tak terbendung lagi. Ia tak bisa bernapas, sedangkan dada dan tenggorokkanya terasa panas. Napas Aira terputus. Gelembung udara terakhir yang keluar dari mulutnya menjadi penanda akhir hidupnya pula.

.

.

.

"ARRRRRRGGGGGGGGHHHHH..."

Tombak bangun dengan terkejut. Pria itu mendapati Aira yang duduk terengah dengan kedua mata yang melotot takut.

"Aira?" Tombak meraih pundak Aira, dan membuat perempuan itu menolehnya. "Hei, ada apa?"

Tak ada jawaban dari Aira. Napasnya masih tersengal. Kedua matanya yang memerah mulai dialiri air mata.

"Aira lihat aku! Kamu mimpi buruk?"

Tangis Aira pecah. Tubuhnya melemah dan ambruk di dada suaminya. "Tombaaaaak...," lirihnya.

Kedua lengan Tombak memeluk Aira, mengalirkan ketenangan lewat usapan lembutnya. "Ada aku. Jangan takut, itu hanya mimpi."

"Tombaaaaak..." Suara Aira semakin lirih. Ia menangis tanpa suara lagi.

Tombak mendadak diliputi perasaan resah. Ketakutan yang sempat ia lupakan kini hadir lagi. Rasa bersalah itu pun membuncah kembali.

***

Andrea memperhatikan Tombak dan Gembul yang sedang berbincang di halaman belakang lewat jendela besar di dapur rumah. Jika dilihat dari raut wajah keduanya, mereka seperti membahas sesuatu yang serius.

Perhatian Andrea teralih ke pintu kamar utama. Sejak ia keluar kamar pagi tadi, ia tak melihat keberadaan Aira sedikit pun. Aneh. Bagi Andrea keadaan ini tidak seperti biasanya. Ia pun mulai bertanya-tanya apakah sekarang Aira masih tidur atau hanya sekedar malas untuk keluar kamar.

"Kita berangkat, Ndre."

Andrea menoleh Gembul yang sudah entah kapan sudah berdiri di sampingnya. "Ke mana?"

"Ke rumah tempat lo akan tinggal."

"Ha? Emangnya udah nemu?"

"Gue sama Tombak udah nemu tiga rumah. Lo pilih sendiri nanti."

"Cuma kita berdua? Bang Tombak nggak ikut?"

"Nggak, Ndre," jawab Tombak yang sedang berdiri di pintu belakang. "Kalian berdua aja yang berangkat."

"Tapi bukannya-"

"Udah ayok!" Gembul menarik lengan Andrea begitu saja. "Berangkat sekarang biar sekalian bisa cari sarapan."

.

.

"Makan, Ndre! Sate lo nggak bisa berubah jadi ayam kalau cuma lo liatin begitu."

Andrea menatap Gembul jengkel.

"Ya ampun... mata lo kejem banget, sih? Serem tahu, nggak?"

"Kenapa Bang Tombak nggak ikut? Harusnya kan dia ikut jagain gue, Bang!"

Gembul meneguk teh hangatnya perlahan. "Lo cuma ngefix-in rumah mana yang mau lo tinggali, bukan lagi pergi ke markas musuh."

"Tapi tetep aja! Semalam Papa bilang kalau Bang Tombak setuju untuk ikut jagain gue!"

Dengan malas Gembul menoleh Andrea. "Dan lo juga harus tahu kalau Tombak bukan lagi anggota organisasi."

"Bang Tombak nge'iya'in permintaan Papa!"

"Karena semalam Tombak nggak tahu kalau Aira bakal sakit. Ngerti?"

Andrea tercenung sesaat. "Kak Aira sakit apa?"

Gembul menggaruk kepalanya. "Gimana jelasinnya, ya? Intinya dia sakit dan perlu istirahat lah, Ndre! Udah gitu aja."

Selama beberapa saat Andrea hanya terdiam merenungi perkataan Gembul. Aira ternyata sedang sakit. Pantas raut wajah Tombak sedikit kusut pagi tadi. Kekhawatiran pun merasuk ke benak Andrea tanpa bisa ia pilah bentuk kekhawatiran seperti apa yang kini tengah ia rasa.

.

.

Senyum lebar Aira menyambut kedatangan Tombak yang baru saja membuka pintu kamar. "Apa itu?"

"Bubur buatan Bu Giman."

"Bu Giman?"

Tombak mengangguk dan meletakkan mangkuk yang mengeluarkan uap hangat itu di atas nakas. "Tadi aku ke sana untuk minta dibuatkan ini."

Aira kembali tersenyum seraya membelai rahang Tombak. "Maaf merepotkan, ya?"

"Udah enakan?"

"Udah." Aira menghela napas. "Lagian aku cuma pusing, Tombak. Bukan sakit parah."

"Sama aja." Tombak sedikit menundukkan kepala. "Kamu nggak boleh sakit."

Tatapan Aira melembut.

"Semalam kamu mimpi buruk lagi, kan?"

Senyum Aira memudar perlahan. Ia pun mengangguk.

"Kita ke psikiater, ya?"

"Umm... kayaknya nggak perlu deh."

"Kalau trauma kamu kambuh lagi-"

"Traumaku nggak akan kambuh lagi. Aku yakin."

"Tapi-"

"Selagi ada kamu...," potong Aira lagi. "Nggak akan kambuh lagi, Tombak."

Tombak hanya menatap istrinya penuh simpati.

"Boleh aku minta sesuatu?"

Kening Tombak mengerut samar.

"Boleh, Tombak?"

"Apa?"

Aira tersenyum dan kembali meraih wajah Tombak dengan kedua telapak tangannya. "Bisakah setelah ini kamu hanya memikirkan aku, Tombak?"

"Pertanyaan apa itu?"

"Jawab saja!" Aira mendekatkan kepalanya. "Bisa?"

Sepersekian detik Tombak hanya bisa menatap binar lembut di kedua mata sayu Aira. Daya pikirnya seolah terhenti. Ia ingin menjawabnya dengan mudah, namun sorot mata Aira terasa menyulitkannya.

"Pasti," jawab Tombak pada akhirnya.

Senyum Aira melebar. Ia pun mengecup bibir Tombak sebelum menghamburkan diri ke pelukan pria itu. "Aku cinta kamu, Tombak. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Pelukan Tombak mengerat. Pria itu menghirup aroma leher istrinya dalam-dalam. "Aku jauh lebih nggak menginginkannya, Aira."

***

Andrea memperhatikan beberapa foto yang menampakkan sisi-sisi rumah kosong yang ada di galeri ponselnya. Tiga hari lagi, ia akan menempati rumah yang ia pilih kemarin. Itulah mengapa seharian ini, Andrea mengurung dirinya di dalam kamar untuk merencanakan property apa saja yang akan ia beli. Pernah mengenyam pendidikan desain interior membuatnya tak pernah menyia-nyiakan kesempatan menata interior rumah yang selalu ia tinggali.

"Gambar apa, Ndre?"

Kepala Andrea mendongak kaget. Ia hampir melupakan fakta bahwa sore ini ia sedang duduk di meja makan untuk menikmati kopi seraya melanjutkan sketsanya. "Kak Aira sudah sembuh?"

Aira tersenyum dan berjalan menuju dapur. "Sudah mendingan dari tadi pagi."

Perlahan Andrea menutup buku sketsanya.

"Kamu sudah makan siang?"

"Sudah. Tadi Bang Gembul belikan makanan sebelum berangkat."

Gerakan Aira mengambil teh memelan. "Berangkat ke mana?"

"Mengurus perijinan tinggalku, Kak."

"Ah... iya aku ingat."

"Sama Bang Tombak juga."

"Oh kalau Tombak nggak keluar rumah untuk itu. Dia mau ketemu pelanggan perkebunan."

Andrea terdiam, lalu memandang kopinya yang masih tersisa banyak.

"Dia janji mau pulang sebelum maghrib." Aira berjalan dan menarik kursi di depan Andrea. "Sekalian bawakan makan malam."

"Kak Aira masih belum kuat untuk masak?"

Aira menyandarkan punggungnya. "Bisa sebenarnya, tapi masih dilarang Tombak."

Lagi-lagi tak ada sahutan dari Andrea.

"Kamu jadi pilih rumah yang mana?"

"Yang paling dekat dengan pusat kota."

"Yang dekat dengan restoran Mas Delvi itu?"

Andrea mengangkat bahu. "Aku belum sempat jalan-jalan di sekitar sana."

Aira tersenyum simpul. "Kalau bosan, kamu bisa main ke sana. Mas Delvi orangnya asik kok."

Senyum Andrea terpaksa muncul. Ia tak seberapa mengingat wajah pria yang dibicarakan Aira sebenarnya. Yang ia ingat, pria pemilik restoran itu adalah kakak sepupu Tombak.

"Andreaaaaaa..."

Baik Aira dan Andrea menoleh ke sumber suara.

"Buruan siap-siap! Katanya mau beli perabot-" Gembul terkejut sesaat melihat Aira yang duduk menatapnya di meja makan. "Aira? Udah sembuh?"

"Sudah, Mas," jawab Aira hangat.

Gembul duduk di samping Aira untuk mengamati wajah perempuan itu. "Iya sih. Udah nggak kelihatan sepucat kemarin lusa."

"Ayo sekarang, Bang!" Andrea berdiri dan membawa kopinya ke konter cuci piring.

"Lo nggak siap-siap dulu? Mandi kek, atau dandan gitu?"

"Nggak, gini aja." Andrea menyelesaikan mencuci cangkirnya. "Yuk."

***

Hari perpindahan Andrea telah tiba. Menjelang sore, Aira pun berangkat bersama Tombak untuk berkunjung sekaligus membawakan hadiah.

"Andrea bakal suka nggak ya?" gumam Aira seraya menatap tiga pot bunga koleksinya yang ada di kursi belakang mobil.

Tombak tersenyum kecil. "Kalau ragu kenapa kasih itu?"

"Karena aku nggak tahu apa yang disuka Andrea." Aira kembali menghadap depan dan menghela napas. "Semoga mereka bertiga bisa hidup untuk waktu yang lama."

Mobil Tombak memasuki sebuah area pemukiman kelas menengah. Rumah-rumah yang bersebelahan di sana memiliki dinding maupun pagar standard sebagai jarak antara satu rumah dan yang lainnya. Hal ini sungguh berbeda dengan kawasan rumah Tombak yang dipisahkan jarak tanah yang membentang berpuluh-puluh meter jauhnya.

"Di sini?" tanya Aira saat Tombak menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih dan berpagar hitam setinggi dua meter.

"Pot bunganya biar aku yang bawa. Kamu buka pagarnya."

Aira menurut. Setelah turun dari mobil, ia bergegas untuk menggeser pagar besi tersebut. Namun gerakan Aira sontak terhenti saat ia melihat empat orang pria yang tak ia kenal tiba-tiba menghentikan perbincangan dan memandangnya heran.

Kaki Aira mundur perlahan. "Tombak, kita nggak salah rumah?" bisiknya.

"Nggak." Tombak mendahului Aira. "Ayo masuk."

Keempat pria di teras itu segera berdiri saat Tombak berjalan masuk. Keempat-empatnya bahkan menyambut kehadiran Tombak dengan hangat.

"Wah... kalian udah sampai."

Suara Gembul dari pintu rumah membuat perhatian Aira teralih.

"Andrea mana?" tanya Tombak.

"Sekarang lagi di ruang makan." Gembul mengambil satu pot bunga dari rengkuhan Tombak. "Dari siang sibuk nata letak perabotan. Nggak mau diganggu."

.

"Bunga-bunga ini perawatannya nggak sulit kok, Ndre. Jadi seharusnya kamu pun bisa merawatnya."

Andrea tersenyum terpaksa. Seumur-umur baru kali ini ada yang mempercayakan makhluk hidup kepadanya. "Thanks, Kak."

"Sama-sama." Senyum Aira terukir begitu lebar, sungguh berbeda dengan lawan bicaranya. "Hubungi aku kalau kamu ngerasa kesulitan di sini, Ndre."

"Iya, Kak."

"Oh iya. Ternyata restoran Mas Delvi deket banget dari sini. Kata Tombak sih bisa ditempuh lima menit jalan kaki."

Kepala Andrea mengangguk kecil. "Kalau sempat aku akan ke sana."

"Harus."

"Kak Aira mau pulang?"

Aira melongokkan kepala ke arah teras, tempat di mana Tombak, Gembul dan keempat pria yang mengejutkannya tadi tengah berbincang pelan dan serius saat ini. "Um... kata Tombak sebentar lagi."

Sedetik setelahya, Tombak berjalan masuk ke ruang tengah untuk menghampiri istrinya. "Ayo pulang."

"Yuk."

"Kami pulang, Ndre."

Andrea berdiri dan mengangguk. Ia pun mengantar kepergian sepasang suami istri itu hingga depan pagar.

Saat sudah memasang sabuk pengaman, Tombak termenung tiba-tiba. Kedua matanya terfokus pada Andrea yang masih berdiri mengawasinya.

"Tombak?" Aira keheranan melihat Tombak nampak seperti melamun.

"Tunggu di sini." Tombak melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. "Cuma sebentar."

Belum sempat Aira menanggapi, pintu mobil itu tertutup dengan tegesa dari luar. Alhasil, Aira hanya bisa melihat suaminya nampak berbicara serius dengan Andrea, tanpa tahu apa yang dibicarakan keduanya.

***

Rintik ringan suara hujan yang mengetuk-ngetuk jendela menjadi pusat perhatian Aira yang belum terlelap malam harinya. Hanya dengan balutan selimut, perempuan itu memunggungi sang suami yang memeluk punggung telanjangnya dari belakang. Beberapa pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak siang tengah berterbangan di pikirannya sekarang.

"Tombak?"

"Hm?" Suara berat Tombak teredam di tengkuk Aira.

"Empat laki-laki di rumah Andrea tadi siapa, ya? Aku belum pernah lihat mereka."

"Anak buah Gembul."

"Ngapain mereka di sana? Apa mereka bakal tinggal bersama Andrea di sana?"

Tombak menghela napas dan merapatkan pelukan. "Mereka yang mengurus perijinan dan identitas baru Andrea di kota ini."

"Identitas baru?" Aira mengubah posisinya menjadi terlentang untuk bisa menatap wajah kantuk suaminya. "Kenapa Andrea butuh identitas baru?"

Hanya keheningan dan tatapan mengantuk yang Tombak berikan.

"Hebat juga anak buah Mas Gembul bisa lakuin itu, ya?"

"Biasa aja."

Aira memicing. "Aku jadi penasaran. Organisasi kalian sebenarnya bisa ngelakuin ap-"

Ciuman singkat Tombak memotong perkataan Aira. "Kita sudah janji untuk nggak membahas masa lalu lagi, kan?"

Selama beberapa saat Aira termenung melihat perubahan wajah Tombak. Lebih dari mengantuk, pria itu nampak sama sekali tak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan. Aira pun hanya mengangguk sebagai tanda penutup obrolan.

"Sekarang tidur." Tombak menarik tubuh Aira untuk menghadapnya. "Jangan buat aku memaksa kamu capek lagi. Oke?"

Aira terkekeh di leher suaminya. Membalas pelukan Tombak, perempuan itu pun menyamankan diri di kehangatan suhu tubuh suaminya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Saya kepo nih, ada pembaca yang belum baca Bersauh ngga ya di sini? Wkwkwkwk...
Daaan... ada yang tahu kalau saya publish cerita baru? *winkwink

Well... met malam minggu. Di rumah aja, baca cerita yang disuka ❤

.

.

.

Sekarang udah bisa senyum-senyum ye, Bwaaang 😌

Continue Reading

You'll Also Like

7M 48K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.4M 108K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
4.6M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...
253K 19K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...