HOLLOW

By salsarnn

70.9K 4.4K 639

"Ada Cia, Al. Perhatiin dia." "Abis merhatiin lo, gue perhatiin dia. Janji." ♠♠♠ Persoalan sederhana yang h... More

0. The Pain
1. Three Angles
2. Friends Just Want The Best
3. Just 4 U
4. Behind Their Romantic Scene
5. Temporary Winner
6. d' Loser
7. Butterflies: Ceysa's Puzzle
8. About Brigenzz
9. The Game Will Start
10. Sorry, Cia
11. Pricy

12. She Stole It

2.3K 263 27
By salsarnn

Semakin dalam rasa,
semakin dalam pula tercipta luka.
—Hollow

♠♠♠

Bel berdentang di SMA Dharma pada pukul 06.45 WIB. Namun, pukul enam tepat ini, Alden masih betah duduk di depan piano dan menekan tuts-tuts begitu kasar. Sangat tidak biasanya.

So shameless, Bro. How could you do it in that cafe? The hell.

Mengikuti style salah satu pianist kesukaan—Richard Clayderman—yang dijuluki Prince of Romance oleh Nancy Reagan alias Ibu Negara Amerika Serikat di zaman itu, Alden selalu menekan tuts begitu lembut, halus, dan menyentuh hati sang pendengar. Akan tetapi, lagu The Nights karya Avicii kini dimainkan sangat kasar. Bukti kekesalan di dalam diri.

"Damn it," desis Alden seraya menekan asal beberapa tuts kasar.

Setelah menekan sebuah icon dan rekaman berdurasi dua menit kurang sedetik tersimpan, atensi Alden dicuri oleh tepukan tangan dari belakangnya.

"Bagus, ya, pagi-pagi mainin piano sambil emosi." Rosa menyilangkan kedua tangan di dada. "Ntar kalau rusak, beli sendiri!" kesalnya.

"Dasar ABG labil!"

Alden memasangkan kolong berwarna kuning di hasduk. Membuang napas kasar, dia meraih mengambil sepasang sepatu seraya berkata, "Ya udah, maaf. Mas mau berangkat, nanti makan di kantin aja."

"Sarapan dulu kali, udah dimasakin susah-susah sampe kecipratan minyak, ini malah mau makan masakannya orang!" oceh Rosa.

"Wajarlah, Bun. Mas mau cepet-cepet berangkat soalnya ditunggu pacar di depan. Ntar kalau lama pacarnya ngambek, deh!"

Gerakan menyimpul tali sepatu terhenti. Alden menoleh, menatap Airys—adik pertamanya—diikuti kerutan yang semakin lama terlihat jelas di dahi.

"Heran, deh. Punya Mas satu buah doang gak manly banget," ujar Airys, membenarkan kolong merah yang hendak melorot. "Cewek tuh dijemput, bukan malah jemput Mas."

"Pacarnya Mas di depan?" tanya Rosa.

Airys mengangguk cepat. "Dari setengah jam lalu malah!" ucapnya.

"Namanya Ceysa bukan?"

What? Wait a damn minute.

Airys menggidikkan bahu, tetapi setelahnya gadis yang duduk di bangku kelas sembilan SMP itu segera berlari keluar kamar bernuansa kelabu diiringi perkataan, "Mbak tanyain dulu, ya, Bun. Tungguin!"

"Katanya Ceysa temen doang," sindir Rosa, duduk di kursi belajar milik Alden, wanita itu memakukan tatapan pada sosok anak sulung yang bergerak merapikan rambut hanya dengan tangan kanannya.

"Maunya dijadiin pacar, tapi dia gak mau."

"Kenapa gak mau?"

Alden mengangkat bahu. "Padahal dia keliatan sayang banget ke Mas," tuturnya.

"Kepedean banget."

Tak memberi jawaban, Alden menatap pantulan dirinya di cermin. Segala ucapan dari Ceysa agar dia senantiasa menjaga, memerhatikan, dan memprioritaskan Cia kembali terngiang di telinga.

Lelaki itu menghela napas kasar, bergerak menyalami tangan ibunya bertepatan dengan Airys tergopoh-gopoh memasuki kamarnya.

"Namanya Adelicia Abraham, Bun!" Airys memegangi kedua lutut, mengatur napas mengingat jarak antara kamar Alden dan teras tidak sedekat itu. "Tadi pas Mbak nanya nama dia Ceysa atau bukan, malah marah-marah. Mana Mbak dikira selingkuhannya Mas Alden. Idih, siapa coba yang mau sama makhluk gituan? Najisun, ew!"

"Ck, sialan," gumam Alden.

Rosa berdiri dari duduk. Kedua tangannya bersedekap sementara netra menatap tajam sang anak pertama. "Jangan mainin cewek, Mas, kamu punya adek cewek dua. Jangan sampe mereka yang kena karma dari Mas," ucapnya.

"Tau! Katanya kemaren Ceysa, ini Adelicia!"

"Mas berangkat dulu," pamit Alden.

Setelah menyalimi tangan sang ibu kemudian beradu mulut bersama Airys sebentar, lelaki itu berjalan keluar kamar dengan satu tali tas tersampir di bahu kiri.

Hal demikian sudah ia terka semenjak Cia mengetahui alamat rumahnya. Sialan. Alden jadi yakin jika gadis itu benar-benar tidak memiliki urat malu. Bisa-bisanya datang ke rumah teman laki-laki padahal tidak diundang.

"Makan, Mas."

Alden menoleh, melihat ayahnya mengangkat satu sendok penuh nasi goreng. "Gak dulu, udah kenyang makan kekecewaan," candanya.

"Menjijikkan omonganmu," balas Ferninand Narendra.

Alden mencibir lalu menoleh saat merasa kakinya dipeluk makhluk pendek berpipi chubby. Aileen, anak bungsu di keluarga ini.

Terkekeh gemas, laki-laki itu membawa bocah berumur empat tahun yang mengenakan seragam putih berkancing depan tiga biji dan rok selutut berwarna kuning lemon ke gendongannya, menghujani pipi chubby itu banyak kecupan.

"Anterin Mas ke depan, ya?"

"Iya!" seru Aileen kegirangan. "Sayang Mas!" Aileen memeluk leher Alden erat.

Alden melangkah setelah mengucap salam. "Adek, ntar kalau ngeliat ada cewek pake seragam kayak Mas di sana, Adek pukulin dia sambil bilang 'Jangan ambil Masnya Adek, pergi!' gitu, oke?" titah laki-laki tersebut tepat di pintu utama.

"Mas mau diambil?"

Alden mengangguk.

"Sama monster jahat?" tanya Aileen lagi.

Tertawa kecil, Alden membenarkan ucapan adiknya. Berjalan pelan mendekati sosok Cia yang sedang memainkan ponsel dan membelakanginya, pemuda itu berdeham keras.

"Eh?" Cia membalikkan badan, fokusnya langsung dicuri Aileen. "Wah … lucunya. Anak siapa ini?"

"Anak aku, lah."

"Adek anaknya Bunda sama Ayah." Aileen berbisik lirih, tentu tak sampai di telinga Cia, pun dalam sekedipan mata dia melupakan perintah kakaknya.

Cia memberengut sebal. "Sama siapa? Perasaan kamu gak pernah apa-apain aku," ujarnya.

"Sama Ceysa."

"Hah?!"

Antara gampang dibohongi sama tolol emang beda tipis.

Alden mengusap lembut puncak kepala adiknya, berlagak biasa saja tatkala Cia menunjukkan mata memerah pertanda bersiapnya tumpah air mata.

"Gak mungkin."

"Emang enggak, ini adek gue!"

Cia ber-oh panjang, langsung tersenyum begitu manis sembari mengeluarkan sebatang cokelat yang seharusnya untuk Alden.

"Jangan dikasi—"

"Wahhhh cokelat! Adek suka banget!" Mata Aileen berbinar, dia menatap Cia. "Kakak cantik, ini cokelatnya buat adek, 'kan?"

Cia mengangguk semangat. "Iya, dong, itu buat adek yang gemayy!" Gadis itu langsung mengambil Aileen, mendekapnya gemas seraya berceloteh sedikit tatkala adik Alden itu menggenggam erat sebatang cokelat yang diberi.

Alden merotasikan bola mata malas melihat sikap sok akrab yang ditunjukkan Cia. Gadis yang menyandang status sebagai pacarnya itu kini malah menciumi pipi adiknya, tertawa bersama Aileen pula. Jujur, dia benci pemandangan itu.

"Adek, masuk!"

Tawa kedua perempuan itu terhenti. Aileen menatap Alden bingung. "Adek masih mau main sama Kakak Cia—"

"Masuk, Adek."

"Iya, Mas." Aileen patuh, berontak untuk bisa turun dari gendongan Cia kemudian berlari riang memasuki rumah tanpa tahu sang kakak laki-laki sedang kesal setengah mati.

Kini Alden menatap Cia malas. "Ayo berangkat," ajaknya seraya berjalan menuju tempat di mana motornya terparkir.

Cia melebarkan mata, tersenyum malu-malu hanya karena perintah itu. Ia pun menyusul langkah Alden, senyuman enggan pergi barang sedetik dari bibir meronanya padahal kemarin hubungan mereka baru saja ditimpa masalah.

"Lama aku tinggal."

"Eh, jangan!"

Alden membuang napas kasar, menunggu Cia menurunkan kedua pijakan dengan kaki sembari berkata kasar dalam hati.

Diselimuti kabut emosi juga malas menerima hukuman sebab datang terlambat, Alden melajukan motornya cepat sampai Cia terpekik kencang dan memeluknya erat.

"Kamu modus, 'kan?!" tuduh Cia.

"Modus apa?"

"Ngebut." Cia meletakkan dagu di pundak kiri Alden, tersenyum lebar sembari berkata, "Bilang aja pengen aku peluk!"

Tersenyum sinis di sebalik helm fullface, Alden menyahut, "Dipeluk kamu bikin enak." Tentu saja bagian dari kebohongan, karena jujur, Alden risih disentuh-sentuh sebegininya, mana tangan kiri Cia sibuk menggambar abstrak di perut hingga dadanya. Geli, sumpah.

"Enak apa enak?" goda Cia, mengeratkan pelukan.

Shit. Ceysa, you're such a stupid cupid.

"Oh, iya! Aku bawain kamu bekal, loh!" seru Cia. "Katanya si pembantu—"

"Asisten rumah tangga," koreksi Alden.

"Ah, pokoknya itu, lah. Kata dia—"

"Beliau."

Cia melepaskan pelukan, hal yang membuat Alden menghela napas lega serasa bebas dari kungkungan penjahat. Kemudian, gadis itu melayangkan tamparan keras di punggung Alden, membuat motor agak oleng.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Alden, kesal.

"Kamu ngeselin!" Cia bersedekap dada. "Gitu doang sok dibenerin, padahal artinya juga sama."

Alden menggeleng kecil, menghentikan motor di parkiran sekolah tepat lima menit sebelum bel berbunyi. Jarak antar rumahnya dan SMA Dharma memang tidak begitu jauh.

Arti dari kekata tadi memanglah sama, tapi bergaul dengan Ceysa menyadarkannya bahwa ada tingkat kesopanan tutur kata yang membuat kualitas diri semakin menawan. Toh, Ningsih jauh lebih tua dibanding dirinya ataupun Cia.

"Kesel banget aku ke kamu!"

Alden mematikan mesin motor, meletakkan helm. Tak memedulikan amarah gadis yang kemarin berbaikan dengannya di cafe, lelaki itu berjalan santai. Namun, satu penuturan Ceysa terngiang. Dia pun melangkah sangat cepat, menyusul Cia yang memasuki gedung sekolah lewat lorong paling kiri—tempat laboratorium-laboratorium berada.

"Adelicia, gak usah berlagak marah besar. Ini sepele," tutur Alden, menyejajarkan langkahnya.

"Sepele katamu?" Cia terkekeh. "Hey, tanpa sadar tadi kamu ngebegoin aku, loh!"

What?

"Sadar apa enggak?!" bentak Cia.

Alden tertawa keras dalam hati, tetapi ekspresi yang ditunjukkan kini ialah datar, kesal, dan menahan emosi. Dia mencekal pergelangan tangan Cia, mendorong gadis itu hingga punggungnya merasakan tembok dingin depan laboratorium kimia.

"Kamu apa-apaan, sih?!"

"Kamu yang apa-apaan!" Alden meletakkan kedua tangan di sisi kepala Cia, mengungkungnya. "Bisa stop childhish gak?"

"Childhish?" Setetes air mata Cia terjatuh begitu saja. Pandangannya dialihkan ke koridor sepi agar tidak terfokus pada ekspresi penuh marah dari Alden.

"Jangan pernah bikin Cia nangis lagi, Al."

Setelah memejamkan kedua mata guna meredamkan emosi, Alden menarik dagu Cia agar gadis itu mau menatapnya.

"Apa?" tanya Cia, masih kesal.

"Maaf," ucap Alden, pelan sekali seakan penuh penyesalan hingga gadis di depannya terkesiap. "I just want the best for you, Adelicia. Sopan, salah satunya."

Suara rendah itu membuat lidah Cia kelu, sukar untuk sekadar menanggapi, terlebih kala kedua ibu jari Alden menghapus jejak air mata di pipi.

"Udah dimaafin?" Alden memastikan, walau sudah tahu jawabannya adalah iya. Selagi Cia memiliki hati lemah, semua dipermudah.

Cia tidak menjawab, masih asyik menatap iris pekat Alden, tenggelam dalam tajamnya sorot, kemudian beralih ke ujung hidung mancung yang menggoda untuk digigit. Terakhir, Cia fokus betul menatap bibir Alden. Tidak hitam layaknya perokok berat, karena sang lelaki tidak menyukai batang tembakau itu. Lebih suka vape, tapi kadang-kadang aja, katanya dulu.

"Cia, udah di—" Diinterupsinya ucapan Alden dengan sebuah hal yang tidak pernah dia duga.

Cia menunduk, berlari kecil menjauh diiringi kikikan khas. "Udah dimaafin kok! Aku sayang Alden!" serunya.

Atas perbuatan yang dilakukan beberapa detik lalu, Cia menggigit bibir bawah malu. Dia tidak menyangka bisa melakukan itu, tak menyangka Alden masih membeku di tempat, tak menyangka pula ada saksi yang berdiri dengan jarak lima langkah di hadapannya.

"Hai, Ci—"

"Puter balik, gak usah caper ke cowok gue!" bentak Cia, mendorong bahu Ceysa yang membawa beberapa map berisi soal-soal latihan untuk olimpiade kimia.

"Gue mau ke lab."

"Puter balik gue bilang!"

Ceysa diam walau Cia memaksanya berbalik badan. Netra cokelatnya menatap Alden yang juga menatapnya dari belakang sana. Lelaki itu tampak begitu emosi meski amarah disamarkan dengan hadirnya senyum tipis.

"Ngeliatin saya gitu amat, situ iri ya?" sindir Cia. "Enak loh, Cey," bisiknya begitu lirih, tetapi sukses menghadirkan cemburu besar yang bergelora dalam diri Ceysa.

Tidak marah atau apa, Ceysa menarik kedua sudut bibirnya naik. "Lain kali jangan di tempat umum." Ia mengingatkan, kemudian berlalu begitu saja menuju laboratorium kimia tanpa peduli suara berat Alden yang berulang kali memanggil namanya dengan nada penyesalan.

Disgusting scene, I hate it. Kenapa mereka gak pacaran sewajarnya? Kalau kelepasan gimana? Kasian nanti hasilnya punya kehidupan gelap kayak aku.

♠♠♠

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 101K 35
AREA 🔞🔞 HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA Aturan dasar bagi Agres adalah; tidak berbagi segala sesuatu apapun tentang Shasa serta bersifat mutlak. [ SER...
2.1M 7K 1
"Buat perjodohan kita batal. Kalau lo gagal ...." Jarren menghentikan ucapannya beberapa detik. "Lo akan jadi mainan gue selamanya!" ungkap pemuda it...
150K 20.8K 36
[COMPLETED] Malming diajak doi jalan-jalan liatin orang yang ciuman di pinggir jalan , gue yang liat itu langsung tutup mata , Hadeuhhh mata ku terno...
52.9K 3.1K 36
Title : Brother In Love Genre : Romance Dilarang untuk mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita, apalagi tanpa izin! NB : ~ Terima kasih untuk para...