Last Year [Harai Kuuko] | Hyp...

By Evellyn_93

146 36 0

Jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Ada yang menetes tetapi bukan darah, juga bukan air mata. Tanpa aku k... More

Introduction
Author's Note

Perihal Waktu, Janji dan Kembang Api.

69 12 0
By Evellyn_93

Entah kapan kegiatan duduk berdua di beranda kuil sudah jadi kebiasaan bagi mereka. Menghabiskan sore dengan hanyut dalam pikiran masing-masing. Dari mengunyah permen karet sampai mencoreti buku jurnal, semua dilakukan dalam senyap. Mungkin akan terinterupsi oleh seekor kucing kuil yang tiba-tiba datang dan mengelus kaki.

Mungkin juga karena sebuah kata yang terlontar tiba-tiba.

"Chuuoku."

Satu kata dari pria bersurai merah yang berhasil buat sang gadis menghentikan kegiatannya. Ujung penanya melayang sebelum sempat torehkan sebuah goresan. Mata jelaganya bergulir pada Kuuko yang sepertinya akan melanjutkan kata.

"Bagaimana menurutmu? Berniat bergabung dengan mereka?" Lanjutnya.

Mungkin lebih tepatnya Party of Words, sebuah partai yang mayoritas diisi oleh perempuan. Pun partai yang rasanya akan diludahi lelaki saat ada yang mengucap namanya. Banyak dari mereka yang tidak suka, namun tetap saja tunduk dibawah tiraninya. Sungguh ironis. Sayangnya Akai tidak hidup di atas ironi. Maka menggelenglah dia.

"Aku tidak ingin berurusan dengan politik, Kuuko-san." Tangan bergerak, sebuah buku jurnal tertutup rapat. "Lagipula, aku juga tidak suka pada mereka. Mana mungkin aku bergabung."

Akaiyoru Shinseina benci kekerasan. Sayangnya dia tumbuh bersamaan dengannya. Mungkin itu sebab rasa tidak sukanya. Apa yang diteriakkan oleh partai itu tentang mengubah dunia tanpa kekerasan membuatnya tertawa, kadang.

Menghapus kekerasan dan membuat kata-kata menjadi senjata untuk menyelesaikan masalah. Akai rasa realitanya sekarang sudah melenceng jauh dari tujuan awal. Akai setuju untuk menyelesaikan masalah dengan kata-kata, tanpa kekerasan. Tapi dia mengharapkan sebuah rundingan yang berjalan sehat untuk memutuskan perkara. Bukan hadirnya suatu alat yang bisa mempengaruhi diri lewat kata-kata lantas digunakan untuk menyerang secara brutal.

Melihat adu rap jalanan saja sudah cukup jadi bukti bahwa apa yang mereka katakan tidak sesuai dengan angan para awam. Apalagi melihat rap battle yang diselenggarakan oleh Chuuoku sendiri. Kekerasan. Mereka tidak menganggapnya sebagai kekerasan. Mungkin itu yang ada di otak mereka.

"Lalu, bagaimana jika orang terdekatmu bergabung dengan mereka?" Kalimat itu tidak jelas dengan kunyahan permen karet sebagai selingannya. Namun, waktu-waktu yang dia habiskan bersama Kuuko membuat Akai bisa menangkap maksudnya. Sudut mata Kuuko menatap helaian jelaga yang tertiup angin, dibarengi dengan pejaman mata sebelum keluarkan jawaban.

"Aku akan memukul mereka."
Saat mata jelaga itu terbuka, tidak ada sirat main-main di dalamnya. Sedikit membuat kelereng emas milik Kuuko membola sekejap, karena belum pernah melihat gadisnya setegas ini.

"Begitu ya."

"Iya."

"Kalau tiba-tiba kau berubah pikiran dan bergabung dengan mereka?"

Akai diam, Kuuko menanti jawaban, angin menyela keduanya. Melewati sela daun dan membuatnya bergesek.

"Aku pikir itu kesalahan."

Dan saat daun momiji berguguran di pelataran kuil, Kuuko kehilangannya. Saat salju menumpuk di sebelah kaki, Kuuko kembali menemukannya.

Tapi Kuuko tidak lagi mengenalnya.

***

Dia dibawa dengan tangan terikat, dan mata tertutup rapat, dengan paksa, dan sepertinya Akai tidak memberikan perlawanan. Kepala mendadak bising karena memikirkan kemungkinan dari nasibnya setelah ini. Sampai akhirnya dia berakhir di sebuah ruangan.

Ruangan ini dingin, angin dari pendingin menggigiti kulitnya. Lantainya berbau cairan pembersih, bau kimianya menusuk hidung, membuatnya pusing. Gema-gema dari ketukan sepatunya dan sepatu dari para perempuan yang membawanya memantul di sudut ruangan. Dirinya didudukkan di tengah ruangan, di salah satu kursi, di depan meja. Lantas kain yang menghalangi pandangannya dibuka.

Dinding tempat ini lebih putih dari salju yang akan turun beberapa bulan lagi. Ruangan ini minim perabot. Hanya ada dua kursi berhadapan yang di batasi meja dan sebuah jam dinding yang suara detikannya memantul kemana-mana. Mereka yang membawanya kemari meninggalkan ruang tanpa membuka ikatan tangannya. Meninggalkannya sendirian di ruangan yang dingin ini. Ditemani suara jam dan degupan jantungnya yang mengeras.

Akai belum bisa menenangkan kepalanya yang masih bising seperti sebelumnya. Tidak ada yang bisa menenangkan hatinya saat ini. Jam yang kadang berputar, kadang tidak—menurut penglihatannya karena waktu sungguh bisa menipu. Sesaat mata memandang mereka bergerak, sesaat mata beralih mereka diam—seakan mengejeknya karena detikannya lebih konstan ketimbang detak jantung sang gadis.

Untuk apa dia dibawa kemari?

Ralat, untuk apa dia di bawa ke tempat Chuuoku?

Lambang segitiga merah muda itu bisa dia ketahui dengan mudah setibanya disini. Hanya alasannya saja yang belum dia temukan. Kepala kembali berpikir, mengeluarkan konklusi yang bisa benar bisa tidak. Kemungkinan untuk jadi antek mereka sampai dibunuh tanpa alasan jelas menyambanginya dalam satu waktu. Berdesakan masuk ke kepalanya yang kecil, ditambah bau kimia dari cairan pembersih di lantai ini. Membuat kepalanya lebih pusing dari sebelumnya.
Akai bergelut dengan dirinya sendiri. Larut dalam kepala yang mulai sakit dan napas yang memburu. Matanya kembali terpaku pada jam yang jarumnya hanya bergerak sedikit dari yang terakhir ia lihat.

Benar kan? Saat memalingkan mata, waktu bisa menipu. Jika dilihat terus menerus, mereka bisa membunuh. Entah kapan sang waktu mau berbaik hati dan menjadi temanmu. Karena Akai mengharapkan hal itu. Jika hal buruk menyertainya setelah ini, ia harap jarum itu bisa bekerja lebih cepat dari biasanya. Membawa pergi rasa sakitnya bersama jarum-jarum yang berputar.

Sayangnya, selama 18 tahun dia hidup, waktu tidak pernah mau berbelas kasih padanya. Kebahagiaannya berakhir cepat, penderitaannya bertahan lama. Lebih lama dari kewarasannya yang kini sudah melayang entah kemana.

Dan sialnya, selama 18 tahun itu, Akai tidak bisa beradaptasi dengan kejamnya waktu.

Mata jelaga itu terpaku pada jam. Kembali melihat jarum berputar sembari menahan tawa. Menatapnya kejam yang terduduk sendirian.

Dan Akai, dia hanya ingin pulang.
Bukan ke Yokohama, tempat tinggalnya.

Bukan ke Nagoya, rumah bibinya.

Bukan ke kuil dimana Kuuko berada.

Dia ingin pulang.

Ke tempat dimana waktu tak lagi berjalan, dimana jarum itu tak menatapnya dengan kejam, dimana masa tidak lagi mempermainkan hidupnya.

Tapi sepertinya takdir tidak berkenan.

***

Menikmati musim semi di beranda kuil seakan jadi rutinitas sendiri bagi mereka. Melihat sakura di pelataran berbunga, merasakan angin hangat menerpa, melihat kelopak-kelopak itu berguguran karena angin, terombang ambing di udara sebelum berakhir di tanah, terkadang sembari menyantap mitarashi dango kesukaan Kuuko dengan kuah yang banyak. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya obrolan ringan, tawa yang kadang pecah bersamaan dan mengayun-ayunkan kaki di beranda kuil.

"Akai," Panggil Kuuko. Buat manik jelaga itu menggulirkan pandangan dari sakura.

"Ya."

"Tahun baru besok, mau menonton kembang api bersama?" Tawar sang lelaki. Tangannya tergerak untuk mengambil dango lantas memakannya. Mengunyah sambil menanti jawaban sang gadis atas pertanyaannya yang sungguh retoris.

"Boleh. Tapi bukannya Kuuko tidak suka keramaian?"

Kuuko tergelak singkat, "disini saja sudah cukup." katanya sambil menepuk lantai kuil. "Bagaimana?"

Pucuk jelaga itu mengangguk. Melihat riuhnya ledakan kembang api memang bisa dilihat dari sudut kuil ini. Cukup nyaman tanpa perlu berdesakan dengan orang lain. Waktu yang dihabiskan berdua pun lebih lama karena tak ada yang menginterupsi. Merasakan ruang-ruang yang melingkupi bersama waktu yang mendadak berhenti. Hanya ada mereka berdua, menanti tahun yang akan berganti bersama harapan penuh arti.

Akai rasa, dia tidak pernah sebahagia ini. Tapi kembali lagi, waktu tak pernah membiarkannya bahagia terlalu lama. Entah kebahagiaan yang alergi padanya atau waktu yang sejak awal memang kejam.

Atau malah dia yang kejam hingga mendapat balasan setimpal?

***

Akai baru ingat kalau ruangan ini mirip kamarnya. Tidak secara harfiah, tapi garis besarnya sama.

Dingin, putih, sunyi, bersama jam yang berputar dengan menjengkelkan. Yang absen disini hanyalah teriakan ayahnya yang acap kali mabuk lalu memukul ibunya tanpa alasan atau olokan ibunya dari luar kamar padanya. Menyisakan kewajaran di kepalanya karena orang baik seperti ibunya pun butuh pelampiasan.

Kalau sudah begitu, dia hanya duduk di kamarnya. Menanti seseorang datang untuk mengulurkan tangannya padanya. Atau mengulurkan tongkat kasti untuk meremukkan jam di atas nakasnya.

Di awal, Akai kesal karena pertanyaan dalam kepalanya hanya disambut detikan penuh ejek. Waktu itu abadi sementara dirinya akan hancur suatu saat nanti. Namun waktu bisa mengulurnya menjadi lebih lama dan lebih lama lagi. Angka-angka yang ditunjuk jarum itu seakan terbahak menyaksikan kewarasannya pudar perlahan, air matanya yang turun semakin deras, badannya yang gemetar semakin hebat sebelum akhirnya hancur berserakan seperti yang mereka inginkan.

Akai tidak mempermasalahkan perihal kehancurannya. Toh itu hal pasti yang akan dilalui semua manusia. Tapi dia minta agar waktu tak mempermainkannya. Untuk apa dia dipaksa bertahan untuk menanggung luka baru setiap harinya? Jika memang waktunya lebih cepat, untuk apa mereka mengulurnya?

Tapi pemikirannya terpatahkan setelah dia datang ke Nagoya, atau lebih tepatnya setelah Kuuko menemukannya yang tersesat. Dia bebas dadi kungkungan orang tuanya—walau dengan cara kabur, tapi biarlah—dan kehidupan mulai berbaik hati padanya.

Sedikit demi sedikit, dia rasa hidupnya berubah.

Tapi kali ini, dia rasa kehidupan akan menjungkirbalikkan dirinya lagi. Kesalnya kembali hanya dengan membawanya ke ruangan yang terasa persis seperti kamarnya. Apalagi soal jamnya. Akai memang tak pernah marah, tapi kali ini, benda bulat itu menyulut amarahnya.

***

"Kau tahu? Kau masih bisa berada disini setelah semua yang terjadi. Kau kuat."

Beranda kuil masih terasa sama seperti hari-hari lalu. Akai meremas tisunya yang barusan dibuat untuk menyeka air mata. Ada beban ratusan ton yang bebas dari bahunya setelah menceritakan semuanya pada Kuuko, yang ternyata biksu di kuil ini.

Akai akan mendapat beberapa bekas memar jika ketahuan menceritakan kehidupannya pada orang lain. Orang tuanya pasti marah besar. Jadi wajar jika dia pun tak berani buka mulut pada bibinya. Tapi entah bagaimana caranya, Kuuko bisa meyakinkannya dan membuatnya menceritakan hal yang sejak dahulu ingin ia ceritakan.

"Dan kau baik." Kuuko tergelak tawar. "Terlalu baik."

Ya, Akai akui itu. Mungkin itulah kelemahannya, atau malah kebodohannya?

"Kalau kau ingin cerita lagi, kau bisa datang kemari."

Mungkin semenjak itu beranda kuil tak lagi sepi. Karena Akai sering berkunjung bahkan saat tidak ada cerita untuk dikeluhkesahkan. Terkadang dia berganti untuk jadi pendengar. Bagi Kuuko, atau Jyushi yang kebetulan berada disitu juga.

Akai rasa, kali ini, tidak masalah jika waktu mencuranginya sebentar.

***

"Waah onee-saaan!!"

Manik jelaganya bergulir pada pintu yang berderit. Tampakkan lelaki yang sepertinya memiliki tinggi tak jauh darinya, bersurai merah muda dan bertampang menggemaskan. Tak beda dari nadanya yang ceria saat menyapanya tadi.

Kakinya berjingkrak mendekati kursi di hadapan dengan senyum yang masih lebar. Gelakan kecil tercipta saat mata tosca itu mengawasinya.

"Namaku Ramuda!" Tukasnya singkat untuk berkenalan.

"Nee, nee onee-san, kau imut sekali lho." Lanjutnya girang. "Kalau kau jadi model untuk pakaianku, pasti cocok!"

Jujur, kehadirannya membuat rasa jengkel Akai pada jam itu berkurang. Lagipula, gila juga kalau dia kesal hanya karena sebuah jam.

"Kau juga imut kok." Balas Akai lembut seperti biasa. "Kau siapa? Kenapa aku dibawa kesini?"

"Shhtt~" Telunjuk bertengger di depan bibir lantas buat desisan agar Akai tidak bertanya lebih banyak. "Ini bagian dari rencana. Jangan merusaknya, Onee-san."

Sang lelaki merogoh saku jaketnya yang sewarna dengan mata. Mengambil sebuah mikrofon kecil. Membuat Akai membelalak dan perlahan mulai meronta untuk lepaskan ikatan yang ada di tangan.

Setahu Akai, mikrofon itu berbeda dengan mikrofon yang biasanya. Itu yang membuatnya resah.

"Eeeh? Jangan takut begitu dong, onee-san~" Bibirnya mengerucut sesaat, lalu seringaian muncul setelahnya. "Sebentar lagi kita akan jadi teman lho."

***

Bisa dibilang Kuuko kehilangannya. Ketenangannya terusik seketika dan berubah menjadi gelisah saat mengetahui sang gadis yang tidak pulang berhari-hari. Bibinya pun khawatir akan keberadaan Akai. Bagai ditelan bumi, keberadaannya tidak ada dimanapun.

Saat menghubungi orang tuanya di Yokohama, hanya dengusan penuh ketidakpedulian yang dia dapat. Bibinya tidak tahu dimana Akai berada. Temannya di kampus pun menggeleng saat ditanya.

Kembali lagi, beranda kuil itu sepi. Hanya diisi sang lelaki dengan pikiran yang berputar tiada henti. Memikirkan sang gadis yang absen mengisi ruang di sisi. Musim gugur kali ini sunyi. Akai pergi dan Kuuko tak tahu lagi kemana harus mencari.

Daun momiji berguguran, melayang mengisi spasi di atas kepala sebelum jatuh berserak di tanah. Sepasang mata sewarna emas itu menatapnya datar. Seketika teringat memori silam perihal ajakan untuk menonton kembang api.

Kuuko ragu jika ajakan itu bisa terealisasi.

***

"Chuuoku, berniat bergabung dengan mereka?"

"Aku tidak ingin berurusan dengan politik, Kuuko-san. Lagipula, aku juga tidak suka pada mereka. Mana mungkin aku bergabung."

"Lalu, bagaimana jika orang terdekatmu bergabung dengan mereka?"

"Aku akan memukulnya."

"Kalau kau sendiri berubah pikiran dan bergabung dengan mereka?"

"Aku pikir itu kesalahan."

***

Titik salju turun, memutihkan pandangan, buat tumpukan di sisi jalan. Beberapanya terinjak oleh sepasang sepatu. Akai menyusuri jalan Nagoya, menuruti kemanapun kaki berjalan.

Dia ingat kalau dia punya urgensi untuk melihat kembang api. Tapi dengan siapa? Ingatannya samar. Bagai dipotong di tengah jalan.
Jubah sewarna biru navy itu direkatkan, sedikit digunakan untuk menutupi atribut yang ada. Dia tidak ingin mencolok diantara warga sipil walau dia mengenakan seragam. Dirinya terhenti seketika kala gerbang kuil menyambutnya.

"Nee-san, jangan lama-lama ya!" Suara ceria mengisi ruang sebelah. Ramuda perlahan menjauh setelah menghantarkan Akai ke kuil itu. Sang gadis mengangguk lantas memasuki area kuil. Menelusup ke salah satu sudut dimana pohon sakura berdiri. Menatap dahannya yang sepi karena meranggas. Lantas satu persatu ingatan samar memasuki kepalanya.

"Akai!"

"Ya?"

"Tahun baru besok, mau menonton kembang api bersama?"

"Boleh. Tapi bukannya Kuuko tidak suka keramaian?"

"Disini saja sudah cukup. Bagaimana?"

Tangannya naik untuk memegang kepala yang mendadak pening. Sesaat dia menyesali pilihannya untuk menghabiskan jatah libur di Nagoya. Akai tahu siapa Kuuko, tapi dia tidak ingat jika memiliki memori demikian.

"Akai?"

Ketukan kaki berhenti, buat Akai menoleh ke belakang. Lantas temukan netra emas yang membola.

Akai kembali, dengan seragam Chuuoku yang melekat dalam diri.

"Oh, Harai-san. Selamat malam." Sapa Akai sekenanya. Gaya bicaranya menjadi sedikit lebih tegas setelah bekerja di pemerintahan.

Ada rasa yang bercampur menjadi satu di dada Kuuko saat ini. Dia senang, lega, kecewa, marah. Ada kenyataan yang ingin dia salahkan tapi hal itu tak akan membantu. Awalnya dia tidak menemukan cara untuk bersikap, sekarang hanya dengusan dan seringaian yang dia lontarkan.

"Menjilat ludah sendiri, huh?" Kakinya mengambil langkah lantas menempati ruang di sebelah sang gadis. Menatap atribut-atribut dari Chuuoku yang Akai punya.

Akai mengulum senyumnya, "Aku benar-benar naif dahulu."

Kuuko kecewa, sangat. Tapi kakinya tak berniat untuk meninggalkan Akai. Dirinya enggan untuk beranjak karena jauh dalam hati ada rasa rindu yang melingkupi.

"Sedang apa kemari?" Tanya sang lelaki sedikit ketus.

"Ini kuil. Semua orang boleh kemari." Jawab Akai. Melipat tangan sementara pandangannya jatuh pada langit yang belum terhias dengan ledakan kembang api.

'Tapi tidak dengan sudut ini, beranda ini. Ini tempatku dengan Akai.' Batin Kuuko. 'Dan Akai sudah pergi.'

"Aku punya urgensi untuk melihat kembang api disini. Aku punya janji dan aku menepatinya." Lanjut Akai tiba-tiba. Buat Kuuko terkejut karena Akai tidak lupa.

Akai tidak lupa dengan ajakannya saat sakura berguguran walau sosoknya dalam pikiran Akai telah memudar.

Keheningan dipecah oleh kembang api yang meledak. Ciptakan pecahan-pecahan yang menghias langit malam. Keindahan yang sempurna untuk menutup tahun, sekaligus keindahan yang singkat.
Kuuko menggulirkan pandang pada Akai. Pada netra jelaga yang berbinar karena cahaya dari kembang api.

Kuuko rasa, Akai dan pertemuan mereka tak beda dengan kembang api yang hancur di langit sana.

Indah, singkat.

TAMAT—

Continue Reading

You'll Also Like

153K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
498K 37.2K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
65.2K 5.9K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
83.8K 8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...