HOLLOW

salsarnn tarafından

71.8K 4.4K 641

"Ada Cia, Al. Perhatiin dia." "Abis merhatiin lo, gue perhatiin dia. Janji." ♠♠♠ Persoalan sederhana yang h... Daha Fazla

0. The Pain
1. Three Angles
2. Friends Just Want The Best
3. Just 4 U
4. Behind Their Romantic Scene
6. d' Loser
7. Butterflies: Ceysa's Puzzle
8. About Brigenzz
9. The Game Will Start
10. Sorry, Cia
11. Pricy
12. She Stole It

5. Temporary Winner

2.5K 310 67
salsarnn tarafından

Segala kerumitan berujung beberapa kali hadirnya perseteruan yang tanpa ampun mengoyakkan tiga hati ini bermula semenjak bulan ketujuh menimba ilmu di SMA Dharma.

"Now and forever, we're always together, Adelicia. I'm your priority and you're my priority," tutur Alden beberapa bulan lalu, disaksikan banyak murid, dan diiringi jeritan iri dari kaum hawa.

Tidak ada ucap sayang atau cinta, tetapi sukses membuat debaran menggila bertahan beberapa jam di dada Cia.

Cia kira semua akan berjalan mulus; Alden selalu menjadi prioritasnya dan dia selalu menjadi prioritas pemuda itu. Namun, akibat terlena dari kebahagiaan tak kekal yang diberi, Cia melupakan sesuatu. Ceysa de Luca, gadis bersurai legam yang "katanya" telah dianggap karib oleh Alden.

Ceysa itu ... dulu bilangnya mau membantu, tetapi kini bersikap seakan ingin merebut.

"Ci! Lo denger gue ngomong gak, sih?!" bentak Clarissa.

"Hah?" Cia mengerjap cepat, mengembalikan fokus ke dunia nyata. "Sorry, gue gak fokus. Lo ngomongin apa tadi?"

Sissy mendecak, menonjolkan lidahnya ke pipi kiri bagian dalam, mengode kehadiran Ceysa bersama teman nakalnya di hadapan mading utama.

Clarissa menaikkan satu alis menantang. "Kasih pelajaran buat si pelakor jangan?"

"Kasih aja, lah!" seru Sissy bersemangat. "Inget, Ci, lo pacarnya si Alden dan di mana-mana, pacar itu lebih berhak dari yang cuma temen atau sahabat."

Cia membisu, tapi tetap melangkah mendekati Ceysa dan Kalya.

"Jangan takut kali ah, ada gue sama Sissy!"

Sissy memberi anggukan tanda setuju. Menatap Ceysa yang masih belum terusik karena kehadirannya, dia merotasikan bola mata sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

"Pelakor rendahan modelan si tolol itu harus dibasmi. Malu-maluin kaum cewek tau gak? Sok classy, tapi masih ngerebut punya orang. Gak laku, ya? HAHAH, cantik kok murahan."

Baru setelah penuturan panjang teman Cia yang hobi nyinyir itu, Ceysa merasa terusik. Namun, dia tak langsung berbalik badan dan menghajar si pelaku, lebih baik dibiarkan saja agar tidak semakin menjadi.

"Yang gratisan diem." Kalya berbalik badan, berkacak pinggang menampilkan kaos hitam bercorak tengkorak dengan seragam batik yang disampirkan ke bahu sebagai pemanis. 

Tergelak begitu saja, Sissy membalas, "Ngomong ke diri sendiri? Badan diumbar ke inti Brigenzz aja bangga lo. Murah!"

"Apa kabar lo, Mbak, penguasa dance floor yang hobi dijamah om-om. Butuh duit berapa ratus milyar, sih? Kok ngincer yang seumuran sama bokapnya?"

Sissy mengepalkan kedua tangan kuat. "Sialan," desisnya.

"Yang satu hobi dipake, satunya ngerebut cowok orang. What a wonderful friendship?" Paham bahwa Sissy kehabisan kata-kata, Clarissa maju melawan.

Pagi ini, sebelum bel berbunyi nyaring sekitar dua puluh menit lagi, perseteruan di antara dua kubu yang biasa terjadi menarik atensi para murid. Mereka berbondong-bondong menyaksikan, beberapa memotret dan merekam untuk dijadikan bahan gunjingan di grup angkatan.

Ceysa de Luca perlahan membalikkan badan begitu elegan. Dia mengulas senyuman khas—yang selalu membuat orang lain segan—seraya menatap Clarissa dan Sissy lekat, menyiratkan peringatan kuat yang tidak mampu dua gadis itu pahami.

"Wah, pelakornya mulai panas, nih!" kompor Clarissa.  "Butuh air gak? Mau disiramin?" tawarnya.

Cia menggigit bibir bawahnya keras. Takut jika Alden  tiba-tiba datang seperti kemarin. "Udah, Clar, jangan dilanjut."

Ya 'kan ujungnya Cia yang disalahkan, kalau Clarissa sama Sissy tahu apa?

"Wow!" Sissy bertepuk tangan, diikuti penonton hingga suasana semarak bak ada pertandingan bola. "Denger 'kan, Guys? Ini korbannya ngebelain si pelakor, loh! Gue heran deh kenapa kalian banyak yang nge-fans sama modelan dia!" ocehnya.

"Pelakor, pelakor, pelakor mulu lo, Tai Anjing! Ngerti Ceysa luar dalem gak? Bacot mulu lo dah kayak yang paling paham, Najis!"

Clarissa tertawa meledek. "Aduh, toxic banget. Mulut sama sampah gak ada bedanya, ya?"

"Daripada lo! Nuduh temen gue pelakor. Udah ngerasa paling bener sedunia akhirat? Fitnah hadiahnya neraka, Mbak Jago," balas Kalya, enggan mengalah. 

"Dan lo kira ngomong kasar bikin masuk surga?"

Ceysa memegang pundak Kalya, menepuk dua kali dengan gelengan pelan dan tegas di kepala. Tidak menjawab, tak mengindikasikan dirinya lemah. Siapa saja yang melihat, pancaran mata seorang Ceysa lebih ganas dari tajamnya ucapan Clarissa atau Sissy.

Sissy melirik Cia, memerhatikan mata yang ketara sekali bengkak akibat menangis semalaman. Of course, she knows what happened last night. "Liat kelakuan temen lo, Kalya. Jalan sama Alden padahal Cia lagi ada di titik terendah!"

"Sissy!" peringat Cia. Pasalnya, dia enggan jika masalah tersebut diungkit di hadapan banyak murid. Sungguh memalukan.

"Apa? Gue bener, 'kan?" balas Sissy, congkak. "Miris gue liat kisah cinta lo gak ada seneng-senengnya gitu. Capek gue denger lo cerita soal si Alden lebih prioritasin Ceysa, lah, lebih—"

Tepuk tangan dari Kalya mengatupkan bibir Sissy dalam satu kedipan. "Salah sendiri temen lo di luar ekspektasi Alden. Biar tambah panas, ayo, Cey, ceritain semalem lo ngapain aja sama si Alden!" perintah Kalya.

"Gue gak jalan sama dia semalem," dusta Ceysa, menjaga hati pacar sang sahabat yang wajahnya jelas menampakkan rasa kecewa.

Hening cukup lama. Kalya hanya memberikan pandangan tidak terima atas ujaran itu, sementara Sissy dan Clarissa dibuat kelimpungan melempar kode untuk melanjutkan hujatan. Kalau Ceysa, dengan senyuman sopannya meminta gerombolan membubarkan diri dan langsung dituruti.

Dikiranya perseteruan telah usai, tetapi tawa menyeramkan sarat akan ketidakpercayaan dan kemuakan terdengar. Mereka kembali membentuk kerumunan, mencaritahu si pelaku yang ternyata ialah Cia.

"Gak jalan sama Alden?" Cia bergerak maju, tak mampu membendung amarah. Persetan kali ini Alden datang atau tidak "So, how about … Ceysa de Luca, why you look so stunning tonight? I fucking can't take my eyes off of you. I hate it, I love your gaunt cheeks." Gadis itu menirukan ucapan serta logat khas Alden.

Senyuman Ceysa luntur. "Hey, I didn't mean to—"

"Udahlah." Tanpa sengaja, Cia menepis kasar tangan Ceysa yang hendak memegang pundaknya. "Yang lo perlu paham, seberusaha apa pun lo buat tampil classy, kalau ngerebut cowok orang ya jatuhnya tetep murah. Bangga lo jadi cadangan? Pakai pelet apa, sih, heran gu—"

"Adelicia Abraham."

Patah-patah Cia menolehkan kepala menuju sumber suara. Terlihat, di sana ada Alden menatapnya tajam penuh peringatan.

Ayolah, Alden Narendra, dia hanya ingin menyelamatkan hubungan percintaan. Cia masih tak sanggup merindu apabila ucap putus diseru.

Maju mendekati dua orang pemeran utama, Alden menatap Ceysa. "She's my friend," katanya, walau sedikit tak ikhlas kala menyebut status di antara mereka. Mengalihkan tatapan, dia memandang wajah ketakutan Cia. "Aku ngehargai teman-temanmu, kamu juga harus bisa ngehargai teman-temanku."

"Tapi kalian gak bersikap selayaknya teman—"

"Apa? Gara-gara aku sering ngomong sayang ke Ceysa kamu jadi cemburu?" Alden tertawa datar, menggidikkan dagu ke arah Ceysa. "Tanya ke dia. Aku ngomong sayang, I love you, I adore you ke dia udah gak ada harganya. Malahan bosen karena keseringan." 

Salah aku iri? Kamu gak pernah ngomong gitu ke aku, Al. Cia menundukkan kepala dalam-dalam. "Maaf, Alden, aku yang salah."

"Bagus kalau sadar."

"Al!" peringat Ceysa.

Sang pemilik nama menoleh, menunjukkan senyuman terbaik yang hanya bisa dinikmati oleh ibunya dan Ceysa. "Udah janji mau nemenin gue ke kantin, 'kan? Keburu bel, ayo," ajaknya.

"Gue gak mau," tolak Ceysa, "mending lo sama Cia."

"Gue maunya sama lo." Alden tersenyum miring, melancarkan ancaman, "Ikutin gue atau mau gue gandeng?"

Bagi Ceysa, melakukan kontak fisik dengan lawan jenis itu merupakan perbuatan yang sangat-sangat wajib dihindari. Ia benci dipegang lelaki—bahkan oleh keluarga sendiri—dan akan langsung marah besar pada diri sendiri kalau sampai ada yang menyentuhnya, baik sengaja ataupun tidak.

Berusaha tetap tenang dan berekspresi sewajarnya, Ceysa melihat Cia lewat ekor mata, melangkah perlahan sembari membisikkan kata maaf yang hanya bisa didengar gadis bermata belo itu.

"Tungguin, Cey." Alden terkekeh sedikit. Menoleh menatap Cia sejenak, dia berbisik, "Jangan salahin Ceysa, salahin diri sendiri yang gak asyik diajak night ride." Dan tanpa peduli perasaan pacarnya serta pandangan orang lain, Alden melangkah menyusul Ceysa.

"Mampus, 'kan? Mana nih dua beban gak guna, liat Alden doang langsung pada kicep!"

Samar-samar ocehan Kalya dan sorakan para murid merasuk ke indera pendengaran Alden. Demi Tuhan, dia sama sekali tak menaruh kepedulian apabila di ujung nanti Cia menggelontorkan segala amarah yang tertanam dalam hati karena iri akan afeksi.

"Cey," Alden menyamai langkah, "gue putus sama Cia kita pacaran, ya?" tawarnya, menyelipkan nada candaan. Padahal, jantung berdebar kencang menunggu jawaban meski ini bukan kali pertama ia mengajukan pertanyaan serupa.

"Jangan sampe putus."

Sorot mata Alden meredup, tetapi tak membuat semangatnya luntur untuk mendapatkan hati Ceysa. "Yahh, ditolak yang ke-delapan kalinya."

"Jangan ada yang ke-sembilan," ucap Ceysa, berbelok arah menuju koridor kelas 10 IPS untuk segera menuju kantin, menunaikan janjinya.

"Wait." Alden menyunggingkan senyum salah tingkah. "Mau diterima, nih, ceritanya?"

Ceysa tertawa kecil. "Jangan nembak lagi maksudnya."

Bibir Alden terkatup rapat. Ceysa memang ahli membuatnya kehilangan kekata, membuatnya juga lupa hendak menyinggung hal apa, padahal semalam sudah menyusun beragam topik menarik untuk dibahas. Topik yang tidak bisa dikatakan ringan, sebab gadis pujaannya itu tidak tertarik jika ditanya mengenai sudah makan belum atau hal membosankan lainnya.

"Pantang mundur sebelum dapet iya," celetuk Alden. Dibanding percakapan mati tanpa ada topik baru yang berbobot, lebih baik dirinya membuat candaan.

"Gak bakal bilang iya, maaf."

Alden menginjakkan kakinya di ubin kantin SMA Dharma bersamaan dengan Ceysa. "Kalau gitu seenggaknya kasih alesan yang jelas, Cey."

Kali ini Ceysa dibuat terdiam. Mulutnya ditutup rapat seraya duduk di salah satu bangku yang ditunjuk Alden.

Perihal menolak cinta, Ceysa tentu memiliki alasan jelas, lugas, dan khusus. Dia hendak memberitahu, tetapi takut jika Alden malah menjauh.

"Lo lebih cocok sama Cia."

"Kalau gue sayangnya ke lo gimana?" balas Alden, urung beranjak untuk memesan kudapan.

Ceysa mengalihkan pandangan, menghindari tatapan lekat sang teman. "Gue juga sayang ke lo, beneran—"

"Tapi cuma sebagai temen."

Tawa penuh keputusasaan terdengar, mati kutu Ceysa dibuat. "Maaf. Gue udah berusaha, tapi tetep gak bisa," ucapnya.

"Usaha lo kurang niat."

"Lo bakal dapet rasa sayang yang lo butuhin dari Cia. Trust me."

"Gue gak suka dia, Ceysa. One and only girl whom I love in this world is you, Ceysa de Luca."

"Belajar buat sayang ke Cia. Gue yakin lo bisa."

Alden mengetukkan jemarinya di atas meja. Menatap wajah cantik Ceysa, jantungnya berdegup kencang begitu saja. Padahal, Ceysa hanya diam sembari menatapnya menggunakan sorot datar.  

Seakan lupa atas rasa enggan Ceysa disentuh lawan jenis, Alden mengangkat tangannya, bergerak mengusap lembut puncak kepala Ceysa. Penolakan tentu didapat. Lelaki itu terkekeh pias, mengepalkan tangan kuat seolah berusaha menghilangkan rasa kecewa.

"Gue udah pe—"

"Belajar buat sayang ke gue lebih dari temen. Gue yakin lo bisa," sela Alden.

Ceysa mengalihkan pandangan, meremas kuat ujung rok putih. Dia sudah menyayangi pemuda itu lebih dari sekadar teman. Namun, satu hal masih diragukan Ceysa: akankah Alden tak pernah meninggalkan dirinya beserta afeksi tidak terbatas yang dia miliki di kemudian hari?

Sosok Adelicia ditangkap indera penglihatan, sedang berdiri mematung di pintu kantin. Ceysa menerka, mungkin gadis itu mendengar perkataan Alden barusan.

Menoleh menatap Alden yang ternyata sedang mengagumi proporsi wajahnya, Ceysa memberitahu, "Ada Cia di sana, susulin."

"Ogah."

"Alden, I told you to—"

"Fine!"

Ceysa tersenyum, mengikuti sosok Alden menghampiri Cia. Nasib baik meja yang dipilih dekat dengan pintu, jadi dia bisa melihat gerak-gerik sejoli itu.

Entah apa yang dibicarakan, tetapi wajah Cia yang tadinya murung mulai berseri, gerakan tangannya bersemangat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Paper bag yang diterima Alden antara ikhlas dan tidak.

Mungkin, Cia meminta maaf atas kejadian kemarin.

Seusai menepuk puncak kepala Cia dan membiarkan gadis itu menjauh, Alden berbalik badan, melangkah pelan menuju tong sampah besar dan membuang paper bag bermerek itu tanpa rasa kasihan. Sontak Ceysa beranjak dan menghampiri.

"Kenapa dibuang?" tanya Ceysa.

Alden menggidikkan bahu. "Gue gak suka pemberian dia," jawabnya enteng.

"Tega, ya?"

Hendak memberi jawaban, bibir lelaki itu mengatup sempurna melihat Ceysa mengambil paper bag, kemudian mengeluarkan kotak berwarna merah dipadu hitam, membersihkannya dengan tissue yang diambil dari saku secara sangat hati-hati. Dia kehilangan kata-kata, sungguh.

Ceysa berjalan menuju meja tadi, tentu dengan Alden mengikuti di belakang. Gadis itu masih sibuk mengelap bagian luar kotak makan walau Alden yakin telah bersih bak sediakala.

"Cey … gak usah segininya."

"Kenapa lo tega?" Ceysa menatap Alden, menunjukkan sorot tak percaya lagi kecewa. "Cia nyisihin waktu pagi-pagi cuma buat ini, belum lagi misal tangannya kegores pisau, kena wajan atau teflon panas, harus kuat hati kalau dicie-cie-in keluarganya. Dan balesan lo apa?" tanyanya.

"Lo gak cemburu?" tanya Alden. "Gue ngejaga perasaan lo."

Ceysa tidak mampu menjawab, dia tak habis pikir dengan sebagaimana buruknya jalan pikiran Alden.

Tanpa memedulikan tatapan memelas yang pemuda itu beri dan keburu bel masuk berbunyi, dia membuka kotak bekal, terpampanglah satu sandwich lengkap menggugah selera yang bentuknya masih cukup indah sebab ditahan oleh tusuk gigi besar.

"Makan," perintah Ceysa.

Alden menggeleng enggan. "Ogah," sahutnya.

"Dimakan, Al. Kasihan Cia udah buatin ini capek-capek, kasih balesan setimpal. Kalau gak suka orangnya, hargai usahanya."

Membuang napas kasar, Alden meraih sandwich tersebut seraya mengumpat dalam hati. Mengambil satu suapan besar tanpa rasa ikhlas seraya menatap senyuman manis Ceysa.

"Nah, enak, 'kan?"

Alden menggeleng dua kali. Ia tak bohong karena lidahnya memang tidak merasakan secuil pun kelezatan dalam makanan ini.

Entah bahan-bahan yang digunakan basi atau tidak, tetapi dia tetap menelan, berusaha menahan hasrat ingin muntah kemudian berujar, "Ini demi lo, Cey. Demi lo."

♠♠♠

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

1M 19.5K 46
Gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menjalankan misi misi aneh dari layar transparan di hadapannya, karena kalau tak di jalankan, ma...
859K 61K 62
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
1.7M 237K 38
Tidak ada yang bisa menebak sifat Drystan sebenarnya. Cowok itu ... terlalu hebat berkamuflase. Drystan bisa bijaksana, galak, manja dalam satu waktu...
884K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...