About Naura

By Plutozhcy

17.8K 2.2K 479

Ini tentang Naura, si gadis bulan yang hidupnya dipenuhi oleh sayat dan goresan. Tentang gadis yang menelusur... More

Prolog
01• Dear Ayah ☪︎
02• Bulan ☪︎
03• Hati Yang Memilih ☪︎
04• Jadian!? ☪︎
CAST
05• Im (not) Fine ☪︎
06• Hukuman ☪︎
07• Marah ☪︎
08• Kecewa ☪︎
09• Iya Gak Papa ☪︎
10• Tak Dianggap ☪︎
11• Telah Hancur ☪︎
12• Percekcokan ☪︎
14• Senja Dan Harapan ☪︎
15• Detak Jantung ☪︎
16• Pemandangan Menyakitkan ☪︎
17• Hanya Mimpi ☪︎
18• LO!? ☪︎
19• Masa Lalu ☪︎
20• Gausah Alay! ☪︎
21• Kembali ☪︎
22• Ibarat Kaca ☪︎
23• Dua Hati ☪︎
24• Sesak ☪︎
25• Di dekatmu ☪︎

13• Makam Bunda ☪︎

425 64 7
By Plutozhcy

Seperti pagi-pagi sebelumnya. Naura kembali beraktifitas berjalan dan menunggu angkot.

Perutnya sedari tadi keroncongan, semalam ia belum makan dan tadi pun ia tak diperbolehkan untuk sarapan. Naura hanya tersenyum tipis, ia sadar bahwa dirinya tak diinginkan bahkan tak diharapkan untuk hadir ke bumi. Aah, dirinya rindu masa kecilnya melihat bulan bersama orang tuanya. Sangat menyenangkan.

Dipaksa dewasa sebelum waktunya. Itu lah Naura. Berusaha kuat walau tak lagi sanggup menahannya sendiri, dan berupaya tetap tersenyum walau rasanya ingin menangis sepuasnya.

Naura pun tak menginginkan hal ini. Dirinya pun juga ingin bahagia seperti teman-temannya yang lain, Naura juga ingin merasakan peluk hangat seorang Ayah. Namun keadaan kini berbanding balik dengan masa kecil nya.

Naura adalah ... gadis kecil yang dipaksa dewasa sebelum waktunya.

Dirasa linangan air mata ingin lolos dari matanya, dengan cepat Naura menghapusnya agar tidak terlihat lemah dimata orang lain.

Ia masih berdiri depan toko boneka yang masih tutup. Kepalanya tak henti-hentinya menengok kekanan dan kiri untuk mengantisipasi datangnya kendaraan beroda empat yang ia tunggu.

Indra penglihatannya tak sengaja melihat anak kecil berusia lima tahun yang berlari di trotoar dengan dua orang paruh baya yang mengejarnya dan meneriaki nama gadis cilik itu.

Ia yakin bahwa dua orang itu adalah orang tua gadis itu. Gadis itu tampak tak perduli dengan raut wajah khawatir orang tua nya. Ia terus berlari dengan senang nya dan mengacuhkan teriakan kedua orang tuanya.

Mata gadis itu menyipit seiring mengembangkan senyuman, bibirnya tertarik keatas membentuk lengkungan indah, rambutnya berwarna coklat alami yang sedikit bergelombang dengan bando kelinci yang bertengger disana.

Naura terpaku sejenak. Gadis itu seperti masa kecil nya. Naura merasa dejavu ketika melihat gadis kecil itu berlari semakin dekat ke arahnya. Masa kecil yang bahagia dan selalu diwarnai oleh kasih sayang seorang Bunda dan Ayah.

Dalam sekali kedipan mata Naura tersentak saat gadis itu tersungkur didepannya. Naura membulatkan mata dan berjongkok untuk membantu gadis itu berdiri. Bukannya menangis, gadis itu malah tertawa senang.

Naura yang bingung pun mengeriyit kan dahinya bingung. Mengapa gadis itu tergelak?

Dua orang yang mengejarnya pun berhenti didepan keduanya sembari menopang tubuhnya di lutut dan mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal akibat mengejar anaknya.

"Syifa! Udah mama bilangin jangan lari-lari. Bahaya lari di trotoar itu. Nanti kalau kamu ketabrak lagi gimana?" Ucap sang mama sambil berkacak pinggang. Persis seperti bunda Naura dulu yang memarahi dirinya karena berlari-lari di taman.

Gadis yang dipanggil Syifa itu malah menunjukkan gigi kelincinya, "Hihi, maafin Syifa ya Ma? Jangan marah-marah ih. Mukanya serem tau" protes Syifa mengejek mamanya.

Naura yang melihatnya hanya tersenyum tipis melihat keluarga gadis itu. Sangat harmonis.

"Oh ya. Terimakasih ya nak sudah membantu Syifa" kali ini pria paruh baya yang berkata.

Naura mengangguk dan menampilkan ulasan senyum tipis, "Terimakasih kembali Pak. Saya harap Bapak dan Ibu senantiasa menjaga Putrinya. Jangan sampai terluka, apalagi batin nya" ucapnya.

"Saya permisi dulu ya" pamit Naura saat melihat angkot yang ia tunggu datang.

───── ◦'𖥸'◦ ─────

Gìbran berjalan di koridor dengan tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya. Di sampingnya terdapat Galeen yang senantiasa menebar senyumnya, sesekali menyisir Rambut nya kebelakang agar siswi yang berpas-pasan dengannya menjerit heboh.

Sebut saja Galeen itu PlayBoy. Ah bukan, lebih tepatnya tengil. Selalu membuat orang sebal adalah hobinya, suka bercanda dan membuat heboh dengan Elang juga Ghani adalah kesehariannya. Namun dirinya juga bisa menjadi sahabat paling dewasa diantara lainnya. Disaat sahabatnya galau dalam hal serius, Galeen selalu ada dan bersedia mendengarkannya bahkan menasihatinya.

Disaat Galeen asik menggoda para cewek, lain halnya dengan Gibran yang mendengus kesal melihat perlakuan sahabatnya. Ia risih mendengar pekikan disepanjang koridor. Ia tahu ia tampan, tapi bisa gak sih diam dan menutup mulutnya rapat-rapat? Pagi-pagi sudah membuat mood Gibran rusak saja.

"Diem!" Sentak Gibran melempar tatapan tajam kepada Galeen.

Sedetik kemudian Galeen diam dan membuat gerakan mengunci mulutnya lalu membuang asal kunci Fana nya.

Siswi yang memekik pun seketika terdiam saat melihat tatapan tajam yang Gibran lontarkan padanya.

"Galak banget sih!" Gerutu salah satu dari mereka.

"Ppftt" Galeen berusaha mati-matian untuk tidak meledakkan tawanya didepan Gibran. Bisa-bisa dirinya mati konyol ditangan Gibran.

Baru saja mereka menginjakkan kaki dikelas nya, mereka sudah dihadiahi sepatu yang melayang dan mendarat tepat di kening Gibran.

Mereka sontak berhenti, kelas yang tadinya ramai menjadi hening tak berani bersuara.

Duud!

Itu bukan suara kucing maupun sapi, itu suara kentut Ghani yang mendadak keluar! Mati lo Ghan!

Sontak semua mati-matian menahan tawanya dan menjauhi Ghani yang mendadak kentut tepat didepan Elang yang tengah duduk sambil menghitung rambutnya dengan bantuan kaca.

Plash!

Kesal bukan main. Elang menampar keras pantat Ghani, melampiaskan seluruh kekesalannya pada laki-laki kurang ajar itu.

Bruk!

Bak sudah jatuh tertimpa beton, Ghani mendapati sepatunya yang terlempar tepat mengenai perutnya. Sakit dibagian pantat dan Perut membuat dirinya meringis kesakitan.

Apalagi tamparan serta lemparan Elang dan Gibran tidak main-main. Elang yang jago bermain voly dan Gibran yang lihai bermain badminton, bagaimana tidak sakit coba?

"Mati lo Ghan! Mati! Mati lo anying!" Geram Elang memaki Ghani.

"So-sorry. G-gue tadi takut sampe kentut. Salah lo juga kenapa dibelakang gue!" Ujar nya.

"Lo tadi main lempar-lemparan sepatu njir. Gue dari tadi ngitung rambutー"

"Elo ngapain ngitungin rambut bambank! Buat ganti bulu tikus!?" Sela Ghani greget.

"Gue mau deketin adek kelas. Katanya kalo mau jadi Pacar nya harus ngitung rambut gue ada berapa" jawab Elang.

"Kurang kerjaan banget lo! Tinggal bilang 'lebih dari satu' kan kelar. Mangkanya punya otak tuh di pake!" Tutur Galeen sembari terkekeh.

Ghani mengangguk tanda menyetujui.

"Pinter juga ya lo" kata Elang berdecak kagum.

Sedangkan Gibran masih mengusap kening nya yang terkena lemparan sepatu Ghani. Dirinya masih kesal dengan tingkah sahabatnya. Bukannya meminta maaf, malah kentut.

Yeah okey dokey yo, is that true? Yes!~
Okey dokey yo, is that true? Yes!~

"Eh nada dering lu gitu amat Ghan" celetuk Elang saat mendengar nada dering milik Ghani.

Ghani menyunggingkan senyumnya, "lo tau Seojun? Beeuhh coba deh liat ig nya. Ganteng banget anjir. Ciwi-ciwi pada oleng ke Seojun. Muka lo pasti kalah sama dia" tutur Ghani dan merogoh ponselnya.

"Seojun saha anjir!"

"Itu lho pemain tru byuti" jawabnya lalu menggeser tombol hijau untuk mengangkat telfon dari mak nya.

"Haー"

"GHAGAN!! KOBRA GHAN! KOBRA!" Teriak mak Queenzie.

Yeah. Namanya begitu kekinian bukan untuk usia nya yang sudah menginjak 48 an. Nama kalian pasti kalah tu :p.

"HA!? KOBRA!? KOBRA KENAPA MAAK!?" Pekik Ghani langsung merubah raut wajahnya menjadi khawatir.

"KOBRA NYANGKUT!"

"KOK BISA MAK!? NYANGKUT DIMANA!?"

"bentar mak kirim"

"CEPETAN MAK!"

"Ebuset. Sejak kapan lo punya Kobra?" Tanya Galeen.

"Dari Dulu" jawabnya cepat.

Mak kuinzi send a pict!
📷CEPET PULANG!!

"ASTAGFIRULLAH! KOBRA!!" Pekik Ghani dan langsung berlari keluar tak memperdulikan ponselnya yang terjatuh di pangkuan Elang.

Elang yang penasaran pun membuka ponsel Ghani dan melihat isi foto yang Mak kuinzi itu kirimkan.

Mak kuinzi
CEPET PULANG!!

Galeen pun mendekat kearah Elang untuk melihat Kobra yang mereka maksud. "Ini Kobra?" Gumam Galeen yang masih Elang dengar.

"Keluarga sengklek emang"

───── ◦'𖥸'◦ ─────

Tak terasa jam berjalan lebih cepat dari biasanya. Matahari mulai meredup dan menampilkan Langit Senja di sore hari.

Hari ini Naura diizinkan untuk keluar walau hanya diberi waktu beberapa jam untuknya keluar.

Kaki kecilnya melangkah riang, sesekali menyapa orang yang dirinya kenal dan hanya memberi senyum tipis pada orang yang tidak ia kenal.

Gadis itu menghirup dalam udara sore hari. Terasa menyejukkan. Namun dirinya lebih suka udara dimakan hari, apalagi menikmati semilir angin serta melihat bulan dan ditemani secangkir coklat hangat yang ia beli sachetan di warung.

Iris matanya tak sengaja melihat Gibran yang baru saja keluar dari minimarket dan menenteng kresek putih dengan logo toko itu sendiri.

"Kak!" Seru Naura lalu menghampiri Gibran.

Gibran hanya tersenyum tipis lalu menyodorkan minuman coklat dingin itu kepada Naura.

Dengan senang hati gadis itu menerima. "Makasih kak" Gibran hanya mengangguk dan duduk di teras minimarket yang disediakan empat kursi dan meja bundar di tengahnya.

"Mau kemana?" Tanya Gibran sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Oh, mau ke makam" jawabnya.

"Malam siapa?" Tanya nya sekali lagi.

Naura tersenyum simpul sebelum menjawab. "Malam bunda"

"Gue anter, Mau?" Tawarnya.

Naura tentunya mengangguk semangat, matanya membulat sempurna dan berbinar. Ia menarik tangan besar Gibran dan menuntunnya ke makam almarhumah Bunda Sinta.

Gibran hanya mengikuti langkah Naura. Tangannya sedari tadi saling bertautan, apalagi Naura yang menggenggam erat tangan besar Gibran. Tak memperdulikan sekitar yang menatap mereka dengan tatapan irinya.

Dan Gibran ... entah kenapa dirinya ikut bahagia melihat raut wajah berbinar Naura. Selalu menampilkan senyumnya, mata indah seperti bulan. Sangat indah.

Sadar akan lamunan nya karena Naura memanggil namanya. "Kak Gibran ngelamunin apa?" Tanya Naura saat berada di depan toko bunga.

Gibran menggeleng kikuk.

"Oh gitu. Bentar ya Naura beli bunga dulu" ucapnya lalu masuk ketok bunga.

Selang beberapa menit Naura kembali dengan kresek berisi bunga tabur untuk menghiasi makam ibundanya. Tak lupa mawar biru yang digenggamnya.

"Ayo kak. Dikit lagi sampe"

Gibran mengangguk. Tangannya ia biarkan digenggam oleh Naura dan membawanya ke tempat tujuan mereka.

Naura mendongak ketika sampai ditaman pemakaman umum Bukit Cermai.

Menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan, Naura menginjakkan kakinya ke tanah yang dipenuhi oleh batu nisan.

Sampai akhirnya dirinya menemukan makam sang ibunda. Masih terawat dengan baik dengan batu nisan yang sedikit rapuh itu.

Naura berjongkok diikuti Gibran yang masih memandangnya bingung.

Gadis itu mengusap perlahan batu nisan milik Sinta dan tersenyum getir. Hingga akhirnya air mata lolos dari kelopak matanya.

Gibran hanya bisa mengusap punggung Naura. Kehilangan orang yang ia sayang sungguh menyakitkan bukan?

"Assalamualaikum Bun" salamnya. Tangannya masih setia mengusap nisan Sinta.

Dadanya seperti terhimpit oleh batu saat ketika kenangan buruk itu kembali berputar jelas dibenak nya.

"Naura kangen Bunda. Bunda disana baik-baik aja kan?" Naura memalingkan mukanya untuk menghapus sejenak air matanya yang kembali lolos. Runtuh sudah pertahanannya. Padahal sebelumnya dirinya berjanji agar tidak menangis sampai sana.

Naura meletakkan setangkai bunga mawar biru dan menyandarkannya di nisan Sinta. "Semoga suka ya Bun. Bunda jangan sedih ya, Bunda cukup doain Naura semoga jadi anak gadis yang sukses dan jadi dokter hehe" monolognya.

Ah andai saja bunda nya berada disini. Mungkin saja Naura dapat merasa peluk hangat dari bundanya.

Entah dorongan apa, tangan Gibran menghapus jejak air mata Naura dan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu.

Naura menoleh kearah Gibran lalu tersenyum simpul. "Kenalin Bun, ini kak Gibran. Hati-hati sama dia, orang nya galak banget, dingin pula" tuturnya.

Gibran sedikit terkekeh lalu kembali mengusap punggung Naura membantu gadis itu untuk tetap kuat.

Naura membuka kresek putih transparan dan mengambil segenggam bunga tabur diikuti Gibran.

Naura menaburkannya diiringi senyumnya agar Bunda yang sudah beda alam dengannya merasa lega melihat anaknya masih sanggup tersenyum.

Habis sudah bunganya untuk menabur makam Bunda Naura. Kini giliran membacakan doa pengantar rasa rindu nya pada bundanya.

Gibran dan Naura mengadahkan tangan dan menunduk. Dalam hati mereka sama-sama saking mendoakan yang terbaik untuk Almarhumah Bunda Sinta.

Mereka sama-sama mengisap wajahnya dengan menggunakan telapak tangan saat doa telah selesai ia panjatkan.

Tangan Naura terulur kembali mengusap nisan ibunda. "Naura pamit ya Bun, jangan lupa Nanti datang ke mimpi Naura, Oke?" Tuturnya lalu terkekeh pelan.

•••

Naura Outside ver. 👇🏻

Naura Inside ver. 👇🏻

Gibran Cool ver. 👇🏻

Gibran Smile ver. 👇🏻

g prnh senyum. Sekali nya senyum meresahkan sekali kamO. Itu blm seberapa euy.

Note : 'jangan d ambil! Dia punya Naura!'

ーNaura Zeline

Hayuluuh mamvus kan. Eh iya, aku ganti cover About Naura.

Oke deh. See you all. Typo kasih tavvu🙆‍♀️💗

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.7M 315K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
288K 14.3K 32
Anna kaget saat dia membuka matanya, bukan nya berada disurga atau alam baka dan bertemu dengan ibu dan ayahnya yang telah meninggal, dia malah terba...
1.6M 113K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
2.6M 139K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...