Prolog

54 24 2
                                    

Jawa Barat, Indonesia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jawa Barat, Indonesia

Dengan hati-hati aku membuka pintu pagar agar tidak menghasilkan bunyi yang mengundang perhatian di tengah malam. Perlahan melepas sepatu hak tinggiku, setelah mengunci pintu pagar. Berjalan jinjit melewati rumput halaman yang dingin dan basah, karena hujan baru saja reda.

Aku seperti maling yang berulang kali menoleh ke belakang, ke kanan dan ke kiri memeriksa keadaan sekitar. Dengan langkah hati-hati menuju bagian samping rumah.

Pintu dapur adalah tujuanku. Aku sudah menyimpan kunci di bawah pot bunga sore tadi. Mataku menyipit seraya memasukan kunci ke lubangnya dan menggigit bibir sendiri, karena takut akan menimbulkan suara.

Aku menghela napas lega setelah pintu berhasil dibuka. Seluruh lampu di dalam rumah sudah padam. Ini sudah pukul dua belas malam, orangtuaku pasti sudah tertidur pulas.

Setelah melangkah masuk dan menutup pintu dibelakangku, tiba-tiba lampu dapur menyala. Dari balik cahaya remang sosok Ayahku terlihat dengan jelas. Ia bersandar di dinding dengan tangan yang dilipat di dada. Bahkan dalam minimnya cahaya seperti ini, aku masih bisa melihat raut wajahnya yang menyiratkan kemarahan. Ibu yang berdiri disampingnya juga terlihat sama marahnya seperti Ayah.

"Kamu habis dari mana?" Ayah bertanya dengan nada datar, walaupun begitu, aku masih bisa merasakan kemarahan dari suaranya yang berat karena ayah seorang perokok.

"Habis makan malam ... sama ... Anton," jawabku terbata, padahal aku sedang berusaha senatural mungkin agar kebohonganku tidak diketahui.

Mata kedua orangtuaku itu menyipit, seakan sedang melihat menembus ke dalam kepala. Merasa tegang, aku mengusap tengkuk, aku berusaha menghindari kontak mata dari tatapan keduanya. Aku merasa terintimidasi saat ini.

"Bohong!" tukas Ayah. Ia berjalan menghampiriku, membuat debar jantung menjadi lebih cepat.

"Anton tadi menelepon," kali ini, ibu yang berbicara. "Katanya, kamu izin pergi ke toilet restoran, tapi nggak kembali lagi sampai satu jam lebih. Apa benar?"

Mendapat tatapan yang begitu intens dari keduanya membuatku merasa sangat kecil.

"Itu bisa-bisanya Anton saja, Bu." Aku menambah kebohongan baru.

"Ayah sangat mengenal Anton! Ia tidak pernah berbohong, begitu juga denganmu," tegas Ayah sarkasme. "Sudah Ayah bilang, kamu harus bersikap baik pada Anton! Kalau seperti ini terus, kapan kamu akan menikah?!" Ayah mulai menaikkan dua oktaf suaranya.

"Ibu tidak ingin memiliki seorang anak gadis yang menjadi perawan tua. Apa kata orang nanti? Memangnya kamu tidak malu menjadi bahan gosip tetangga?" Ibu berjalan mendekat ke arahku, "kamu sudah dewasa, Kalyna. Berpikirlah seperti orang dewasa!"

Mataku mulai memanas, dengan berani aku mendongak menatap nyalang mereka, "aku tidak peduli dengan omongan tetangga, mereka tidak memberiku keuntungan apapun dalam hidup! Aku memang sudah dewasa dan justru itu, aku berhak untuk memilih jalan hidupku."

"Tapi kamu sudah dijodohkan dengan Anton, Kalyna!" geram Ayah yamg sudah mulai mengepalkan tangannya.

"Jodohku ada di tangan Tuhan, bukan di tangan Ayah ataupun Ibu." Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan, "aku lebih baik menjadi perawan tua, daripada harus menikahi laki-laki yang tidak aku cintai. Aku bahkan belum pernah pacaran! Demi Tuhan, kenapa kalian menyebalkan!"

Setelah berkata begitu, aku langsung berlari melewati mereka. Masa bodoh dengan teriakkan-teriakkan yang memanggil namaku.

Aku membanting pintu kamar dan segera menguncinya, memastikan mereka tidak bisa menghampiriku saat ini. Kujatuhkan tubuhku di depan pintu, punggung menyandar di sana. Rahangku mengeras. Aku benci sekali kepada kedua orangtuaku. Padahal mereka bukan orangtua kandungku, tapi mereka berlagak seperti mereka berhak melakukan segala hal atas diriku, seolah-olah kebahagiaanku berada di tangan mereka.

Ingin sekali aku merobek kepala mereka hanya untuk melihat apa yang ada dalam otak bodoh dan kolot itu.

Bersamaan dengan itu ponselku berdering nyaring dan menampakan nama Fayola. Menatapnya cukup lama, tiba-tiba sebuah pemikiran muncul begitu saja dalam benakku. Dengan cepat aku menekan panggilan kembali padanya.

“Hai! Aku pikir kamu sudah tidur tadi. Bagaimana—,”

“Fay … aku mau pergi," ujarku memotong ucapannya. Suaraku terdengar begitu lirih, demi Tuhan aku ingin menjerit sekarang. Aku lelah, "aku mau pergi dari rumah sialan ini!"

“Eh, apa? Pergi kemana?"

“Aku akan menyusulmu ke Oakland, secepatnya meninggalkan neraka ini," ujarku diiringi dengan air mata yang mengalir deras dari kedua mataku. Aku muak diperlakukan seperti ini. Aku muak ketika semua orang di sekelilingku berpikir bahwa mereka memiliki kendali atas hidupku.

Aku tidak membenci negaraku, aku hanya benci orang-orang yang berada di dalamnya. Jujur, mereka benar-benar membuatku tertekan.

Aku hanya ingin bebas. Aku ingin pergi. Tidak, bukan ingin, tetapi aku harus pergi.

 Tidak, bukan ingin, tetapi aku harus pergi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
OBSESSEDWhere stories live. Discover now