Suatu Hari, Kita by perawatandprachaya

197 22 1
                                    

Ketukan di pintu terdengar. Satu, dua... Krist membukanya sebelum ketukan yang ketiga terdengar.

Singto berdiri di luar pintu, mengenakan jaket hitam kesayangannya. Kacamata heksagonal bening berbingkai emas bertengger manis di hidungnya. Satu tangannya melesak ke dalam kantong jaketnya, satu lainnya memegang ponsel. Ia memiringkan kepalanya, isyarat bagi Krist untuk mengikutinya.

Krist menatap Singto dengan alis yang pangkalnya hampir bertemu. Pintu di belakangnya dibiarkan terbuka manakala ia mulai mengekor Singto, menyejajarkan langkahnya mengikuti sang pengetuk pintu.

Singto memimpin jalan, keluar dari villa menuju pantai yang berjarak sekitar lima menit berjalan kaki. Di sisinya Krist masih diam, memasang wajah yang sulit ditebak. Iseng Krist mengamati kaki Singto yang dibalut celana pendek selutut, sebelum senyum akhirnya mengembang di wajahnya.

"P'Sing, itu sandal yang aku hadiahkan untuk P'Sing kan?" Krist menunjuk.

Singto menunduk sesaat, lalu mengangguk, "Iya, Kit. Enak dipakai."

Sandal yang dia pilihkan ketika mereka menggelar temu penggemar di Korea Selatan. Melihat Singto memakainya sudah cukup membuat Krist kehilangan amarahnya. Sandal itu sudah cukup tua dan warnanya sedikit pudar, namun Singto masih tetap memakainya.

"Kau sudah tidak marah?"

Tiba-tiba Singto menghentikan langkahnya, membuat Krist ikut terhenti dua langkah lebih dulu di depannya. Tumit Krist dengan ringan memutar tubuhnya menghadap ke yang lebih tua.

"Sudah tidak lagi," sahut Krist sembari memamerkan deretan gigi indahnya.

Singto menghela napas panjang. Sejak tadi ia cemas, gara-gara Nong kesayangannya menolak membalas pesan dan mengangkat telepon darinya.

Singto melirik sesaat, mengeluarkan tangan kanan dari jaketnya dan merengkuh sebelah tangan Krist, menggandengnya. Ia mendekatkan wajahnya dan mata mereka dapat saling bertemu.

"Kit."

Suara berat Singto membuyarkan moda bercanda Krist. Ia menelan ludah, mulai salah tingkah. Diperhatikannya sepanjang hamparan pasir pantai, memastikan tak satupun orang di sekitar mereka untuk menyaksikan mereka berdua begini.

Singto tersenyum, mendengus bahagia melihat mata Krist berlarian kesana kemari. Mantan kakak tingkatnya di universitas itu paham betul bahwa Krist tidak sesantai seperti ketika mereka di atas panggung – bebas bermesraan, bebas berpelukan, bebas bicara gombal. Maka demi mengembalikan kenyamanannya, Singto mengurungkan niatnya berbicara. Ia melepaskan tangan Krist yang digenggamnya sejak tadi. Hatinya tenang, setenang samudra.

Hatinya berkata ia harus mengalah.

Sudah dimaafkan saja ia seharusnya bersyukur. Hari ini Krist hanya marah padanya selama tidak lebih dari satu jam, dan itu sudah menyiksanya. Singto tidak suka didiamkan – dia lebih memilih Krist memarahinya langsung. Tapi Singto mengerti mengapa Krist mendiamkannya, menghiraukan lusinan panggilan teleponnya sebelum akhirnya membiarkannya bicara walau hanya lewat telepon dan dibatasi daun pintu.

"Maaf, ya? Tapi aku sungguh-sungguh, Kit."

Krist melihat ketulusan tergurat kuat di mata Singto. Ia menatap kembali tangan Singto yang tadi menggenggam tangannya, merasakan gelora kesedihan dan kebahagiaan berebut bergumul di dalam hatinya.

"P'Sing, duduk di sana yuk?" Krist berbisik. Dari nada suaranya, Singto bisa menebak Krist hendak menangis. Singto mengangguk, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

*

Krist duduk di samping Singto, membiarkan angin laut yang terasa lengket dan basah menyapa rambut dan wajahnya. Kemeja longgarnya berkibar mengikuti irama angin. Ombak yang memecah kesunyian mulai ia abaikan gemuruhnya.

PERAYA FANFICTION FESTIVALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang