BAB 1

30 2 0
                                    

Kenyataannya sistole dan diastole tidak mengalir, tapi bergemuruh seperti air bah. Dada naik turun demi menunggu pengumuman hasil Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Netra hilir mudik melirik Casio dipergelangan tangan. Pengumuman jam 6 sore ini.

Sewaktu memilih jurusan untuk kuliah, aku pasrah saja.

"Ambil kuliah guru saja." tegas ibuku.

"Ya, Bu."

"Jadi guru itu enak, kalau siswa libur kita juga libur." begitu simplenya pemikiran bidadariku itu.

Aku paling tidak bisa melawan kata beliau. Aku tidak mau membuat hatinya kecewa. Aku lahir saat usia ibuku sudah lanjut, 45 tahun. Resiko menghadang maut dan tidak bisa melahirkan di rumah sakit daerah, membuat persalinan melahirkanku penuh drama berbau kematian.

"Untuk melahirkan, kita pakai cara di vacum ya, Pak. Mengingat usia ibu tidak kuat lagi untuk mengejan." Dokter melaporkan kondisi ibu malam itu pada Ayah.

Ayah tidak tega melihat ibuku yang merintih kesakitan. Peluh membanjiri tubuhnya. Rasa sakit menyobek setiap inci tubuh. Belahan jiwanya yang meregang nyawa melahirkan anak ke delapan mereka.

"Lakukan yang terbaik, Dok. Saya mau ibu dan bayi selamat." Pinta Ayahku menghiba.

"Akan kami usahakan yang terbaik, Pak." Dokter berlalu ke ruang verlos untuk menghadirkan ku ke dunia ini.

Kak Rasna, kakak no 4 yang menemani ibu di dalam diminta keluar.

"Ayah!" Kak Rasna menangis keluar dari ruangan tempat ibu berbaring kesakitan.

"Kita percayakan saja pada Dokter, Nak. Semoga ibu selamat dan kita pulang bawa adik baru." hibur ayah yang tidak hanya untuk kakak no 4 tapi juga untuk hati beliau yang sedang gundah.

Cerita itu selalu Kak Rasna putarkan padaku. Membuatku hafal seluruh ceritanya. Dimana aku lahir dengan selamat tetapi menguning karena kelamaan lahir. Kondisi ibu yang lemah dan besok kami pulang dengan kendaraan umum yang menyisakan rintih sakit bagi ibuku yang masih lemah. Jarak tempuh 3 jam kembali ke daerahku ditahankan beliau demi memboyongku pulang.

Aku tidak mau menyakiti ibuku, Kak Rasna dan ayah. Apapun kemauan mereka aku turuti. Ku anggap sebagai bakti pada orang-orang yang mencintaiku.

"Baik, Bu. Aluna ambil keguruan saja, jurusan Biologi." ujarku patuh.

"Wah tidak sabar rasanya membayangkan gadis kecil ibu akan jadi guru Biologi mengikuti Kak Rasna yang sudah jadi guru Fisika." Ibu berbinar membayangkan masa depan yang nanti akan kujalani.

Jarum jam pendek casio audah menunjuk ke arah angka 6. Gegas ku buka internet dan sesaat terbukalah laman pengumuman SPMB. Mata ku tertuju pada kotak tempat memasukkan nomor ujian. Segera ku ketik serian nomor ujianku.

Aluna Salsabila tertera disana... Dengan hasil pengumuman...

SELAMAT ANDA LULUS
PENDIDIKAN BIOLOGI

Kaca mataku berembun, bah air mata membuncah dan menghantam keluar membuat garis lurus di kedua pipiku. Bening, kunikmati saja gemuruh di dada. Slide wajah Ibu dan ayah langsung tayang di benakmu. Ku raih gawai dan ku telpon orang terpenting dalam hidupku.

"Bu, Aluna lulus Pendidikan Biologi." bisik syukur pada Allah segera terdengar sebagai jawaban Ibu.

Oh senangnya hatiku secuil kebahagiaan telah melengkungkan garis kebahagiaan di bibir Ibu dan ayahku.

Tersemat doa semoga perkuliahan nanti berjalan dengan sempurna tanpa rintangan yang berarti. Ku pesan khusus paket doa dari ayah dan ibu juga pada ketujuh kakakku. Doa yang menurutku sebuah jimat keberuntungan tercipta khusus buatku.

Kebahagiaan lainnya adalah saat mendapati kehidupanku memiliki kakak tujuh orang. Begitu amazing bagiku. Jarak usia mereka sangat jauh dariku. Jadi aku seperti anak kecil di tengah kerumunan orang dewasa. Parahnya disana aku tidak bisa menolak untuk disuruh melakukan apapun meski harus mengorbankan waktu bermain.

Contohnya saja waktu aku berumur 10 tahun.

"Aluna, belikan Indomie ke warung Tek Men dong, Abang lapar nih."

"Sambal kan ada, Bang." elakku cepat. Permainan monopoli bersama kakak no 7 enggan ku tinggalkan. Aku sedang jadi orang kayanya.

"Sini biar Abang gantikan dulu." Kakakku no 5 ini selalu punya cara agar aku tidak punya alasan lagi untuk menolak perintahnya. Dengan kata lain perintahnya adalah titah yang wajib dilakukan.

"Baiklah." Aku kayuh sepeda warna pink menuju kedai Tek Men.

Sesampaiku di rumah, permainan monopoli sudah gulung tikar. Kakak no 5 telah membuat 'harta kekayaanku' habis. Kakak no 7 langsung sumringah karena dia 'kaya mendadak' dan telah mengalahkanku.

Aku menangis dan menghentakkan kakiku ke lantai. Kakak no 5 langsung cabut ke dapur untuk menguarkan aroma mie rebus pedasnya. Aku bergeming tangisku pecah hingga datanglah penyelamatku, jagoanku, pahlawanku. Siapa lagi kalau bukan Ayah.

Ayah akan segera membujukku untuk mencari belalang dekat kolam dan menghitung katak. Kemudian ayah akan 'murka' pada kakak no 5 dan kakak no 7.

Hal yang kecil dan sederhana itu saja sudah bisa melengkungkan kembali senyum di bibirku. Terhapus sudah tangis akibat 'kebangkrutanku' dalam permainan monopoli ulah kakak no 5.

Tidak sampai di situ saja 'drama' dengan tokoh utama para kakakku akan terus berjalan jika tanpa sengaja anak laki-aki menertawakanku atau menjahiliku.

Pasti komplotan kakakku akan segera 'menebas' mulut yang terlanjur menyakitiku. Memaksa mereka meminta maaf padaku. Kadang para kawanan teroris jahat masa kecilku setelah melihat bayangan kakakku akan lari terbirit-birit.

Membuat mereka kapok berurusan denganku. Semenjak itu kelompok teroris itu akan bersikap lebih ramah padaku. Keren kan masa kecilku?

Sekarang kakak tetaplah kakak. Yang perintah untuk beli ini dan itu akan tetap jadi tugasku.

"Aluna, nanti pas pulang ke rumah jangan lupa belikan martabak manis yang di ujung pasar itu, ya." Seperti biasa kakak no 5 paling bawel masalah makanan.

"Baik, Bang. Nanti Aku belikan. Rasanya mau yang mana?" tanyaku.

"Rasa yang pernah ada saja." tuh kan jahilnya kumat.

"Ya udah nggak jadi, ya?" gimana tidak sewot aku serius kakak no 5 selalu jahil bin iseng.

Kehangatan kasih sayang dari seluruh anggota keluargaku inilah jimat kehidupanku yang sesungguhnya.

Disetiap ujian yang akan aku lalui. Wajah keluargaku akan terbayang. Seketika ambisiku untuk jadi yang terbaik akan meronta. Beerjuang sekuat tenaga adalah passion ku.

Deburan sistole dan diastole tadi sudah reda. Pelan ku susun rencana perkuliahan. Ku lihat pengumuman tambahan untuk melihat jadwal untuk daftar ulang.

Kudapati diriku begitu bersemangat. Lincah jemariku mencari info lainnya. Tidak mau secuil pun terlewati.

Tidak sabar ingin segera menginjakkan kaki di kampus FMIPA itu.

Terngiang di telingaku ibu pernah berkata

"Orang MIPA itu adalah orang pintar." lurus tatap mata tajam ibuku menembus manik mataku.

Kuyakini itu sebagai sebuah motivasi. Makanya kelulusanku di kampus biru ini sebagai sebuah pembuktian juga pada ibu bahwa aku berhasil masuk ke dalam kampus orang-orang hebat.

"Urus dulu kuliahnya, nanti segala sesuatu yang kurang tinggal bilang, ya." pesan pamungkas dari ayah saat telpon tadi beralih ke ayah.

"Baik, ayah."

The Puzzle of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang