"Aku koma, Lan. Saat aku koma, jiwaku berkelana ke masa lalu dan mengisi raga dari seseorang yang kulihat terkapar dengan sebuah balok kayu di sampingnya."

"Jadi ... ragamu sewaktu di tahun 1928 itu bukan milikmu, Ahmad?" Aku bertanya untuk memastikan maksud dari ucapannya. Ahmad menjentikkan jarinya dan membenarkan ucapanku. Otakku masih berusaha untuk memahami penjelasan Ahmad tadi. "Ahmad, kalau kamu mengisi raga dari orang tersebut, lalu di mana jiwa orang itu?"

"Dia sudah meninggal, Lan." Kata-kata Ahmad tersebut berhasil membuatku membulatkan mulut. "Lana, yang kamu temui di tahun 1928 adalah raga dari Dodot, anak kandung Nyak Siti, tetapi yang mengisi raga dari Dodot adalah aku."

Pantas saja! Sekarang aku mengerti kenapa dulu hampir semua orang memanggil Ahmad dengan panggilan Dodot. Aku juga mengerti mengapa waktu itu Nyak Siti bilang kalau putra bungsunya itu banyak berubah setelah kepergian sang kakak, itu karena yang mengendalikan fisik Dodot bukanlah Dodot yang asli, melainkan Ahmad. 

"Ahmad, aku penasaran. Di awal perkenalan kita, kamu pernah bercerita tentang kematian kakakmu–maksudku kakaknya Dodot. Bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Ahmad? Bukankah kamu baru menemukan raga Dodot ketika ia sudah meninggal?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutku. 

"Astaga, pertanyaan kamu bikin aku merinding, Lan."

"Merinding? Kenapa?" kataku yang kebingungan karena balasannya.

Laki-laki bertubuh gagah itu bergidik ngeri, kemudian menjawab, "Sewaktu aku belum mengisi raga Dodot, aku ini hanyalah jiwa yang tersesat. Aku bersama dengan jiwa-jiwa lainnya dan para makhluk dimensi lain berkelana ke sana-sini, mencari raga yang dapat kami tempati. Saat aku menemukan raga Dodot, ada makhluk bertubuh hitam besar yang bercerita kepadaku tentang kematian Dodot dan kakaknya. Ia pula yang menyuruhku untuk mengisi raga Dodot karena katanya kalau aku tidak berhasil menemukan raga untuk diisi dalam waktu 40 hari, maka jiwaku akan selamanya tersesat dan tak akan bisa kembali ke tubuh asliku, Lan."

Aku speechless mendengarnya. Ini jauh lebih rumit dari pikiranku dan berhasil membuatku terdiam karena kehabisan kata-kata. "Aku mengerti kenapa kamu percaya saat aku jujur tentang kedatanganku dari masa depan, Ahmad. Ternyata kamu juga mengalaminya, ya."

"Iya, Lan. Aku juga mengalaminya. Dulu aku pura-pura terkejut dan penasaran saja sih saat kamu mengaku kalau kamu berasal dari masa depan, padahal sebenarnya aku sudah tahu dari awal. Bu Surnani juga pasti hanya berpura-pura gak tahu. Beliau kan bisa membaca pikiran," ucap Ahmad yang aku setujui. Ucapannya benar, Bu Surnani memang dapat membaca isi pikiran orang lain. "Eh, Lan. Apa kamu gak penasaran bagaimana aku bisa kembali ke masa depan?"

Perhatianku kembali teralihkan padanya. "Oh iya, aku lupa menanyakannya. Jadi, gimana caramu kembali ke masa depan, Ahmad?"

Dengan cengiran yang terukir di wajahnya, ia pun kembali bercerita. "Beberapa hari setelah kematian Mas Arif, para pemuda kembali melakukan pemberontakan. Aku ikut serta dalam pemberontakan itu, Lan. Kami menyerang ketika pergantian hari. Aku ingat waktu itu aku menusuk beberapa centeng menggunakan pisau dapur milik Nyak Siti. Namun, aku lengah dan seseorang membacokku dari belakang. Setelah terkena bacokan itu jiwaku terlepas dari raga Dodot dan tiba-tiba jiwaku berada di sebelah raga asliku yang tengah terbaring di atas kasur rumah sakit." 

Lagi-lagi cerita Ahmad berhasil membuatku kehabisan kata-kata. Semakin dipikirkan, semakin gila rasanya! "Aku bingung harus bereaksi seperti apa, Ahmad. Ini benar-benar menakjubkan sekaligus menyeramkan."

"I know that, Lan. Sounds crazy, right?" sahutnya yang kubalas dengan sebuah ledekan.

"Katanya gak bisa bahasa Inggris?" Aku meledeknya karena dahulu ia pernah bilang kalau dirinya tidak bisa berbahasa Inggris.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now