Wayang Kulit

22 0 0
                                    

Tak pernah jemu Romo mengikuti pertunjukan keliling keroncong yang ada di desanya. Satu bulan sekali, grup keroncong milik Marto Suwiryo, menghampiri Desa Sidoharjo untuk mempertontonkan kebolehan grup ini menyanyikan syair-syair merdu.

Malam itu tidak seperti biasanya. Angin bertiup cukup kencang. Tenda sederhana dari anyaman goni tidak cukup kuat untuk menahan tiupan angin. Halaman rumah Wati menjadi tempat orkes keroncong memainkan musiknya di pertengahan tahun 1965.

"Wat, iki ora mbok gawekne wedang dayohe?"
("Wat, ini kamu tidak buatkan minuman untuk tamunya?")

"Iya sebentar, baru ambil kursi buat Romo," 

"Kamu itu ya ngambil kursi di dapur aja lamanya setengah mati." teriak Tutik dari halaman.

"Iyo sek lah sabar, Yu!"

Lagu-lagu syahdu mengalir dari alat musik yang tak seberapa banyak jumlahnya. Romo mencatat siapa saja yang hadir menggunakan sebuah buku tua miliknya. Secara rutin Romo menulis siapa saja yang hadir sebagai catatan untuk melihat siapa saja yang gemar dengan musik keroncong. Menggunakan catatan itu, daripada harus membayar Marto Suwiryo, ia berencana membuat grup keroncong sendiri. Saking tebalnya buku itu, seperti tak habis-habisnya dipakai

"Mo, iki kapan lagi ada acara seperti ini?" salah satu warga bertanya.

"Nanti ya sekalian acara khitanan anaknya Pak Marwoto, bulan depan."

"Wah gayeng iki sesok." 
("Wah seru ini nanti.")

Pagi harinya, sebelum matahari benar-benar teriak, Romo mengayuh sepeda menuju Samigaluh. Kota terdekat dari desanya. Selain untuk membeli kapur karena di rumahnya juga dipakai untuk mengajar ngaji, ia juga akan mampir ke pertemuan seniman-seniman keroncong. Sejak menikah, Wati memang mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak kampung dalam hal agama, dan tulis menulis.

"Tindak pundi, Romo?"
("Mau kemana, Romo?") 

"Mau ke Samigaluh sebentar, tuku kapur, sama ada rapat seniman keroncong. Jaga rumah ya,"

"Iya Romo, tapi Romo belum sembuh benar kan? Baru kemarin lho batuk?" Tuti Khawatir.

"Yang sakit kan badan, semangat tetep sehat bugar hahaha!"

Sambil menuntun sepeda turun dari halaman rumah, Romo menyapa Wati yang sedang menjemur pakaian di luar. Wati mengangguk sambil tersenyum. Mengikhlaskan tubuh bapaknya yang baru sembuh dari sakit mengayuh sepeda puluhan kilometer.

Iringan-iringan truk berisi manusia menyalip sepeda Romo yang dikayuh perlahan. Napasnya terengah-engah kare ajalan di desanya tidak lurus landai. Rombongan truk itu berisi massa petani dan buruh kasar yang hendak melakukan demo di Alun alun Selatan, Yogyakarta. Mereka menolak diberlakukannya undang-undang baru yang menyengsarakan 'wong cilik'. Tidak lupa cangkul, alat bertani sehari-hari dibawanya ke dalam truk.

"Kulonuwun,"
("Permisi,")

"Iya, dengan siapa ya Pak? Keperluannya?" jawab seorang perempuan muda dari balik pintu kecil.

"Mau ikut pertemuan bapak-bapak keroncong. Benar di sini ya Dek tempatnya?"

"Oiya betul, Pak. Monggo Pak mbelet. Dipakai mawon sandalnya."
("Oiya betul, Pak. Silakan Pak masuk. Dipakai saja sandalnya"

"Nuwun sewu, nyerat di buku tamu dulu ya , Pak. Untuk tanda kehadiran peserta."
("Permisi mohon maaf, nulis di buku tamu dulu ya, Pak. Untuk tanda kehadiran peserta.")

Ruang tamu itu tidak luas. Hanya ada beberapa kursi rotan, meja bulat kecil dan meja penerima tamu. Di sisi dinding ruangannya terpampang foto-foto Soekarno, Aidit, dan beberapa seniman yang aktif pada organisasi perkumpulan seniman ini. Dari dalam terdengar jelas percakapan tentang ide untuk membuat album keroncong. 








Balada Rumah TuaWhere stories live. Discover now