" Tolong, bisakah kau kesampingkan dulu wajah aneh mu itu, kau membuat ku benar-benar ingin memukulmu sekarang." Geram sang ayah atas wajah putranya.

" Apa mau ayah dan ibu datang kemari?" Tanya denri datar namun to do point.

Alih-alih menjawab pertanyaan denri sang ayah malah menatap senang pada lucky yg kini tersenyum semeringah kepadanya.

" Siapa namamu nak?" Suara sang ibu yg sejak tadi diam dan bertanya pada anan yg diam tertunduk takut.

" Mahaf, ha-hama haya Hanan Bu.( Maaf, na-nama saya Anan Bu)" jawab Anan sopan dan membuat kedua orang tua itu kaku. Masih dengan keterkejutannya Anan kemudian berdiri berniat ingin membuat minuman.

Kedua orang tua itu terdiam lagi melihat pergerakan Anan mulai dari berdiri, menyeret langkah terpincang hingga membawa nampan dengan satu tangan yg dikepitkan pada dadanya agar tidak tumpah.

" Hi-hilah han di inum, uan, Oya...( Si-silahkan diminum, tuan, nyonya)" ucap Anan dan sang ibu menutup mulutnya sendiri dengan tatapan tak percaya dan menatap putranya dengan mata yg berembun. Sedang yg ditatap hanya menundukan kepalanya.

" Apa...apa ini karena ulah mu itu den?" Tanya sang ibu berharap putra berkata tidak. Tapi sang anak hanya diam dan mengangguk pelan.

" Kau...kenapa kau bisa berbuat begitu hah? Siapa yg mengajarkan mu berbuat keji seperti itu? Apa kau masih manusia? Apa kau anak kami?" Tanya ibunya emosi dan Anan menjadi takut lalu beringsut memeluk lengan denri.

" Owong, hangan ma ahhi en...(tolong, jangan marahi den)" bela Anan tersedu. Kedua orang tua yg menyaksikan hanya menatap penuh haru atas pembelaannya untuk putra kejinya.

" Lihat, bahkan dia membelamu dan kau..." Ucap sang ibu dan menghampiri Anan, meraihnya dan memeluknya iba.

" Aku...sudah minta maaf padanya..." Ucap denri lirih, airmatanya menetes tak terasa dipipinya.

" Seharusnya kau dihukum atas perbuatanmu itu." Ucap sang ayah dan Anan menggeleng ribut, menolak peringatan sang ayah denri.

Ditengah keharuan itu, bayi laki-laki itu diam-diam merangkak kearah pria tua itu dan berusaha menggapai kakinya.

" Papapapapa" gumam bayi itu menatap serius si pria tua itu. Ayah denri kagum dan langsung mengangkat bayi itu kepangkuanya dan menimang gemas bayi itu.

" Kau mau marah pada kakek? Heh? Harusnya kau marah pada ayahmu sayang...aduh lucunya..eum..eum..." Ujar ayah denri sambil menguyel pipi tembem bayi itu.

" Jadi, kapan kalian akan menikah?" Tanya ibu Denri tiba-tiba dan denri membelalakkan matanya tak percaya akan pertanyaan ibunya, merestuikah? Pikirnya.

" Aku tidak salah dengarkan Bu? Jika ia... secepatnya aku akan menikahi Anan, kalau perlu detik ini juga" jwb denri menggebu. Dia tidak melihat Anan yg memerah disampingnya.

" Dua hari lagi saja, kau kira menikah itu gampang? Bukan hanya seperti tinggal memberi makan tamu yg utama, tapi bagaimana cara kita mengadakannya." Ucap sang ayah tanpa melihat mereka karena asik bermain dengan cucunya.

" Kan ada ayah." Jwb denri tanpa beban.

" Kau yg menikah aku yg repot, itu berat sebelah namanya. Kau menikah dan aku dapat apa?" Gerutu sang ayah dan istrinya berdehem tajam.

" Ekhem!!! Ada yg merindukan sofa." Tukas sang istri membuat wajah sisuami menjadi masam. Pasalnya ia tau arti rindu sofa itu, dan itu terjadi setiap kali mereka bertengkar.

Ditengah perdebatan mereka, bibi Anan yg baru datang merasa heran pada dua orang tua yg duduk diruang tamunya.

" Eh, sedang ada tamu?" Tanya bibi Anan dan ikut duduk dikursi tunggal.

No Limit " End "Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang