26. Gugur Bunga

Mulai dari awal
                                    

Sebuah tendangan yang kuberikan rupanya berhasil membuat sang centeng melemahkan pertahanannya. Aku pun memanfaatkannya dengan berlari untuk menghampiri Mas Arif. Namun, beberapa centeng masih menghadangku. Jarakku dengan Mas Arif hanya tersisa beberapa langkah saja, mataku dapat melihat dengan jelas adanya darah yang mengalir dari perutnya.

Leherku dikunci oleh seseorang dari belakang, dengan sigap aku pun menggigit lengan yang ia gunakan untuk mengunci leherku. Gigitanku terbukti cukup ampuh untuk membuat orang itu reflek melepaskan kunciannya. Aku pun memukulnya dengan balok kayu yang berada tak jauh dari tempatku berdiri hingga ia jatuh pingsan.

"Mas Arif ... perut Mas kenapa berdarah?" ucapku sembari membuka ikatan yang melilit tubuh Mas Arif.

"Lana ... aku minta maaf." Bukan itu jawaban yang kuinginkan dari Mas Arif. Aku kan bertanya kenapa perutnya bisa berdarah, tetapi ia malah meminta maaf kepadaku.

Tak butuh waktu lama untuk membuka ikatan tersebut. Aku pun meraih tangan Mas Arif dan mengalungkannya di bahuku agar Mas Arif dapat menumpukan tubuhnya padaku. Salim dan yang lainnya terlihat tengah berlari menghampiri kami, disusul oleh beberapa centeng yang ikut mengejar mereka.

"Mas, ada banyak darah yang mengalir dari perutmu," kataku sembari menopang tubuhnya.

Mas Arif tersenyum, tangannya memegangi luka yang ada di perutnya. "Ini kesalahanku, Lana. Seharusnya aku tidak–"

Tubuhku hampir saja jatuh setelah suara tembakan terdengar. Mas Arif terjatuh ke tanah, sebuah peluru berhasil menembus dadanya. Bu Surnani histeris melihat putra sulungnya tertembak. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, ternyata yang menembak Mas Arif adalah centeng yang sempat aku tendang tadi.

"Mas! Mas Arif!" Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya karena panik, tetapi Mas Arif tak meresponnya. Ia hanya menatapku sendu dan tersenyum. Kini melihat senyumnya membuat hatiku terasa sangat sakit.

Salim dan beberapa pejuang lainnya langsung menggotong tubuh Mas Arif menuju sado, sedangkan Bu Surnani tak henti menangis sembari memanggil-manggil putra tunggalnya. Saat kami tengah berada di atas sado dalam perjalanan menuju markas besar Jong Java, Mas Arif sempat bergumam kepadaku, "Lana, tolong katakan bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini."

Di tengah malam yang penuh ketegangan itu, aku menahan semua rasa yang menghampiriku. Rasanya sakit sekali sampai-sampai aku merasa mati rasa. Salim berulang kali mengecek keadaan Mas Arif dan membalut lukanya dengan kain bersih. Namun, yang terjadi setelahnya bukanlah hal yang kami harapkan.

"Beristirahat dengan tenang, Rif," ucap Salim seraya menutup mata Mas Arif. Semua menangis, tak terkecuali aku. Duniaku seolah berhenti berputar, aku memeluk tubuhnya erat.

Kenapa kamu pergi secepat ini, Mas?

📃📃📃

Iring-iringan pemakaman membawa jenazah Mas Arif menuju makam. Dengan mata yang membengkak aku menghadiri prosesi pemakaman. Ahmad berjalan di sebelahku, ia yang menemaniku sejak tadi malam. Beberapa tetangga juga ikut mengantar jenazah Mas Arif. Pagi ini cuaca yang cukup mendung seolah mendukungku untuk larut dalam duka. Setelah melewati malam yang penuh ketegangan, aku tak bisa tidur sama sekali. Hatiku hancur.

Seperti permintaannya dahulu, Mas Arif dimakamkan tepat di sebelah makam bapaknya. Aku masih ingat betul saat kami datang ke sini untuk berziarah, tak dapat aku sangka bahwa aku kembali datang ke sini untuk mengantarkan Mas Arif menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Isak tangis terdengar sepanjang prosesi pemakaman, sementara itu air mataku sudah habis, tak ada setetes pun air mata yang keluar dari mataku.

Aku hanya dapat menatap kosong ke arah makam yang kini sudah dipasangi papan kayu bertuliskan nama Mas Arif. Satu-persatu para pelayat mengundurkan diri, menyisakan aku, Bu Surnani, Ahmad, Nyak Siti, Salim, dan Ujang. Berbeda denganku yang masih merasa sangat terpukul, Bu Surnani sepertinya sudah mulai dapat mengikhlaskan kepergian putra tunggalnya. Beliau mengajakku untuk pulang karena aku butuh istirahat, tetapi aku menolaknya.

"Lana masih mau di sini, Bu. Lana masih mau bersama Mas Arif," jawabku. Bu Surnani mengangguk, beliau dan Nyak Siti pun pulang lebih dulu daripada aku karena Bu Surnani harus beristirahat, disusul oleh Salim dan Ujang.

Ahmad masih setia menemaniku, ia tak henti-hentinya menenangkanku. "Ini takdir Tuhan, Lana. Wajar jika kita bersedih karena kehilangan sosok yang berharga dalam hidup kita, tapi kita juga gak boleh berlarut-larut dalam kesedihan."

"Jangan pernah berhenti untuk mendoakan Mas Arif, sekarang hanya itu yang bisa kita lakukan," sambungnya yang aku balas dengan anggukan.

Melihat matahari yang semakin meninggi dan mataku yang mulai memberat, aku pun memutuskan untuk pulang meskipun berat rasanya menerima kenyataan. Namun, sebelum aku pulang, aku ingin menyampaikan sesuatu untuk Mas Arif. "Mas, terima kasih banyak untuk semuanya."

Lagu "Gugur Bunga" terngiang-ngiang di kepalaku. Mas Arif, perjuanganmu tidak sia-sia ....

Betapa hatiku tak akan pilu
Telah gugur pahlawanku ...
Betapa hatiku tak akan sedih
Hamba ditinggal sendiri ...

Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira ...
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati ...

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti ...
Gugur satu, tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti ...

Gugur bungaku di Taman Bhakti
Di haribaan pertiwi ...
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti ...

"Lan, ayo pulang." Suara Ahmad memecah keheningan dan membuatku tersadar. Kami pun berjalan keluar dari area pemakaman, tetapi sebelum benar-benar keluar dari area pemakaman, aku sempat menumpukkan beberapa batu bata yang ada di sekitar makam. Aku menumpukkan batu-batu tersebut di bawah pohon besar yang menjadi pembatas wilayah pemakaman.

Ahmad benar, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berdoa untuk Mas Arif. Ya ... aku harus dapat mengikhlaskannya meskipun aku tahu bahwa hal tersebut sangatlah sulit dan berat.

Sesampainya di depan rumah, aku langsung membersihkan tubuhku dan mengganti pakaian. Bu Surnani sudah terlelap dalam tidurnya, matanya terlihat sembab, tak jauh berbeda denganku. Setelah membersihkan tubuh, aku mengambil surat-surat yang pernah ditulis oleh Mas Arif dahulu untukku. Aku selalu tersenyum tiap kali membacanya, tetapi kini senyuman itu berubah menjadi rasa pilu yang menyiksa. Ingatan manis tentang masa-masa indah kami pun terputar dengan jelas dalam benakku. Tanganku bergerak menyentuh liontin kalung yang diberikan oleh Mas Arif.

"Mas, aku tahu kamu masih ada di sini walaupun ragamu tak lagi di sini."

Aku teringat dengan foto yang pernah kami ambil dahulu, aku pun mengambil foto tersebut dari meja pribadi milik Mas Arif dan menatapnya. Hanya foto ini yang dapat aku lihat ketika aku merindukannya. Air mata yang sempat mengering kini kembali mengalir membasahi pipiku. Tanpa aku sadari, aku tertidur di meja pribadi miliknya.

📃📃📃

Perlahan aku membuka mataku, mendapati pemandangan yang sudah lama tak aku lihat. Suara alarm yang kini terasa asing bagiku pun terdengar. Dinding berwarna putih dengan lampu yang bersinar terang menjadi pemandangan pertama yang aku lihat.

Ini kamarku di tahun 2020 ....

📃📃📃

author's note:
hiii!!! sudah lama rasanya sejak terakhir kali aku menyapa di author's note. bagaimana menurut kalian chapter kali ini? honestly, aku bukan orang yang pandai dalam membuat sad scene. jadi, i'm so sorry kalau ini gak nge-feel di kalian 🥺

anywaay, masih ada beberapa chapter menuju epilog dan rencananya aku juga akan mempublikasikan special dan extra chapter kok! see you on the next chapter guys! <3

-shanertaja

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang