Dua

78.2K 10.9K 1K
                                    

"Pake apa lagi, Mbak Nana?" tanya Bu Jamilah, pemilik warteg di dekat kontrakan, saat membungkuskan nasi untukku.

"Umm ... " Aku menatap deretan lauk pauk di etalase. Aku sempat tergiur dengan lele kremes yang terlihat gurih dan ayam sambal hijau yang terlihat pedas menggoda, sebelum aku mengingat isi dompetku. "Orek tempe aja, Bu. Rada banyak ya, 5000. Tempe gorengnya tiga."

Bu Jamilah tertawa. "Sayurnya tempe, lauknya juga tempe? Mbok pake ayam?"

Aku menggeleng dan meringis kecut. "Kolesterol," jawabku berdusta.

Bu Jamilah tertawa lagi. "Ealaah ... Wong masih muda gitu."

Setelah mendapatkan makananku untuk satu hari ini, aku berjalan pulang dari warteg ke kontrakan. Mampir sebentar di warung untuk membeli sabun cuci sachet-an.

Ini hari ketigaku menjadi pengangguran. Sisi positifnya, aku tidak harus bangun pagi-pagi dan berdesak-desakan di KRL untuk sampai di kantor tepat waktu. Aku bisa nonton film sampai malam tanpa takut kesiangan. Sisi buruknya ... ya banyak. Semua ini buruk, karena aku semakin khawatir bagaimana caranya bertahan hidup dengan isi rekening yang tak sampai satu juta itu.

Setiap kali bangun tidur--di siang hari, karena menjadi pengangguran membuatku bisa bangun siang--aku bingung memikirkan apa yang harus kulakukan selain membuka Jobstreet, JobsDB, Glints, dan berbagai website penyedia informasi lowongan kerja lainnya. Aku juga memikirkan bagaimana cara tetap tinggal di kontrakan ini meski belum bisa membayar tagihan tiga bulan belakangan. Jika aku memakai sisa uang di rekening untuk mencicil membayar kontrakan, aku tidak akan bisa makan. Tapi kalau aku tidak segera membayar, aku pasti akan diusir. Macbook Air yang rencananya akan kujual, kuurungkan niat. Kalau Macbook itu kujual, bagaimana aku bisa mencari pekerjaan??

Kalau sudah begini, aku jadi menyesali waktu bertahun-tahun aku bekerja. Kenapa aku tidak bisa menabung lebih banyak lagi? Seharusnya aku tidak nekat mencicil mobil untuk Ibu tahun lalu. Tabunganku yang kukumpulkan dari sisa-sisa pengeluaran dan cicilan, sudah ludes untuk menutup cicilan selama empat bulan ini. Bahkan tabungan yang kusisihkan untuk uang kuliah Levana sudah ikut terpakai. Rasanya aku tak sanggup membebankan semuanya kepada Ibu. Padahal selain Levana, Ibu masih harus membiayai Alana, adik bungsuku yang masih di bangku SMA. Astaga, aku baru menyadari betapa rawannya hidup seseorang jika hanya bergantung pada satu pintu penghasilan. Ketika pintu itu tertutup, dia akan kelaparan.

Aku akan kelaparan, kuulang kalimat itu sekali lagi. Jantungku berdebar-debar menghitung berapa uang yang kubutuhkan dan bagaimana caranya aku keluar dari persoalan finansial ini.

Aku tahu kabar buruk kedua datang ketika melihat Bu Hannah, pemilik kontrakan, sudah nongkrong di teras kontrakanku ketika aku tiba. Wajah yang putih dan tembam itu tidak ada ramah-ramahnya. Aku jadi semakin yakin ini bukan silaturahmi biasa.

"Pagi, Bu," sapaku, berusaha ramah.

"Uang kontrakan sudah ada, Nana?" tanyanya.

Astaga! Dia bahkan tidak merasa perlu untuk berbasa-basi.

"Belum. Maaf, ya, Bu. Tapi saya janji ... "

"Dua hari," potong Bu Hannah sadis.

"Hah?" tanyaku tak mengerti.

"Ibu kasih waktu kamu dua hari buat lunasin uang kontrakan tiga bulan. Kalau sampai lusa uangnya belum Ibu terima, kamu angkat kaki dari sini."

Setelah mengeluarkan ultimatum sembari berkacak pinggang, Bu Hannah melenggang pergi. Meninggalkanku yang tertegun di teras. Harus cari uang ke mana untuk mendapatkan empat setengah juta dalam dua hari? Masa aku harus pinjam Lukas?

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang