rindu yang tak merindu

20 1 0
                                    

-------------- ( dua puluh lima ) -------------

Sontak satu sekolah menjadi ramai akibat perselisihan ini,

Fadil melarikan diri dari sekolah. Tapi, aku memegang telfon selular milik Fadil dan memberikannya pada Digta.

Orang tua Digta dan Fadil dipanggil untuk memenuhi panggilan dari pihak sekolah.

Aku dan Wangga di ruang BP untuk menjadi saksi dalam kejadian. Icha sedang dalam ruang kesehatan. Karna ia sempat terpukul bagian belakang kepala nya hingga terjatuh, bersyukur Icha tidak sampai Kenapa-kenapa.

Keputusan akhir yang aku dengar adalah, terpaksa pihak sekolah mengeluarkan Fadil karna kelakuannya. Dan Foto-foto Digta bisa di hapus tanpa tersebar kemana-mana. Digta sangat bersyukur kala itu.

Karna Fadil juga mendapat surat keputusan dari pihak kepolisian untuk mendapat surat panggilan untuk pasal hukuman yang sudah di buatkan laporan tindakan kriminalitas dan pengancaman, oleh Orang Tua Digta.

“Kamu gak papah Rin?” aku melihat Troy mendekatiku. Dan terlihat dia sedikit panik mendengar aku ada di ruang BP.

“aku enggak apa-apa kok Troy. “Jawabku.

“Gue enggak di tanyai Bro?” sapa Wangga ke arah Troy, terlihat lesung yang keluar dari senyum Wangga.

“Kalo Naurin kenapa-kenapa, gue panik. Tapi, kalo Elo. Paling gue cari pemain bass baru” jawab Troy sambil layangkan candaan yang biasa mereka mainkan.

Lagi-lagi aku bersyukur karna tidak ada yang terluka parah.

**** 

Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan Bagi kita bertiga.

Kami masih bisa tersenyum kembali setelah badai datang dari arah Digta. Selama kita bertiga bersatu, aku yakin kita pasti baik-baik saja.

Tapi, Entahlah, keadaan ini membuatku senang sekaligus bimbang, aku selalu terbangun di malam hari. Walau setiap pagiku tiada yang aneh.

Semenjak Digta memakai hijab. Semakin hari, kulihat kharisma yanh semakin kuat, semakin terlihat mirip dengan Icha, bahkan aku selalu merasa paling berbeda di antara mereka berdua.

Digta yang kukenal memang selalu begitu, mengikuti gaya seseorang yang menurutnya ia sukai. Tapi, kali ini, seakan aku enggak rela dengan gayanya seperti Icha, teman terbaikku yang kukenal duluan sebelum Digta.

Iya, benar, aku mengakui bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dalam hal menerima sebuah arti persahabatan.

Entahlah, atau ini hanya memang sifat kerasku. Yang masih terlalu jauh dari kata melunak. Aku terbiasa dengan pujian fisik sedari dulu. Dan berteman dengan Icha yang paling tidak suka jika di goda dan mendapat pujian berlebihan tentang fisiknya.

“Kalo ada cowok yang udah berani ngegodain kita di jalan itu tandanya ada dua sebab.” Teringat aku dengan perkataan Icha yang pernah memarahiku karna malah memilih senyum tersipu malu.

“pertama penampilan kita yang mengundang mereka untuk merendahkan,. Kedua, mereka memang sudah terbiasa dengan pelecehan.” Pesan Icha yang kuingat saat itu. Jadi, stop kasih senyam- senyum untuk pelaku pelecehan.

Kita itu cewek, enggak boleh selemah itu, di hadapan cowok. Apalagi Cuma sekedar jadi bahan godaan yang membuat mereka semakin berani. Kita harus bertindak sebelum mereka malah makin menjadi-jadi.

Dan kini, aku harus bagaimana?

Apa bisa di benarkan dengan pilihan prinsip seorang Digta?

Tapi, menurutku itu bukan prinsip!

Ya, apapun itu aku bingung. Disisi lain aku ingin seperti mereka. Seperti Icha dan Digta, tapi ... Nanti pasti Digta merasa aku mengikuti gayanya duluan.

“Ya Allah, ada yang kurindu tapi bukan cinta seseorang, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang kurindu.”

Ucapku lirih yang berbicara sendiri dengan di depan cermin.

(Sudah Terbit)Love Song "Syair Cinta Dalam Secangkir Hazelnut" Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin