Aku mengangguk kemudian membenamkan wajahku diantara kedua lututku, terdengar suara sesenggukan kecil setelah itu.

"Apa Dong Sicheng dihukum mati?" gumamku tanpa menengadah kan kepalaku yang masih berada diposisi awal.

"Tidak tahu," ucap Dejun.

Sekali lagi Dejun menjawab dia tidak tahu, kali ini dengan suara putus asa yang lebih dalam. Aku mengenal nafas dalam-dalam, lalu menengadahkan kepalaku. Dejun merangkak kearahku, sosoknya yang lebih tinggi condong kearahku. Kali ini, Dejun yang menyenderkan kepalanya ke pundakku, "aku tahu kau sedang butuh sandaran. Kenapa tidak bilang dari awal?" bisikku.

"Hey bocah tengil, ikut kami sekarang!"

Kami bertiga menoleh kearah sumber suara kasar itu. Berdiri diambang pintu, seorang pria kekar bersandar dengan santai ke bingkai dengan cahaya yang dibayanginya dari belakang.

Keberanian muncul dibenakku lalu aku beranjak berdiri, mataku dipenuhi oleh api kebencian. Mulutku terbuka untuk mengatakan sesuatu, tetapi pria itu melambaikan tangannya tak acuh.

"Jangan repot-repot karna saya tak peduli. Datanglah kemari, jika kalian ingin melihat nasib teman kalian."

Mataku terbelalak,

"Dong Sicheng?!"

Aku meraih lengan Yukhei dan Dejun. Kami memutuskan untuk mengikuti pria kekar itu dengan hati-hati.

Pria itu membawa kami kelorong seperti bangunan dan kemudian keruangan lain, meskipun yang satu ini terlihat agak terang dan teman-teman kami yang lainnya ada didalam. Yukhei beranjak menjauh dariku dan Dejun, ia memegang lengan Dong Sicheng yang terbaring lemah dihadapan kami. Aku menutup mulutku,

"Apakah dia mati?"

Aliran bening tumpah dari ujung mataku, aku tak mengusapnya. Membiarkan mereka keluar perlahan.

"Winwin.. Winwin.. Bangunlah!" seru Yukhei.

Pria kekar yang membawa kami tadi berdehem, lalu aku menoleh dan melihatnya.

"Kalian harus menyebutkan nama dan kelas kalian masing-masing. Nanti akan kujelaskan kenapa. Dan jangan banyak bertanya, dan membuat aku kesulitan!" ancamnya.

Kami, sebagai kelompok, ragu-ragu sebelum sesosok lelaki muda bername-tag "Ketua kelas" melangkah maju, ia menyapu rambut coklatnya yang telah basah oleh keringat. "Qian Kun, kelas 2."

Seorang lelaki bersurai pirang mengikuti jejak Kun dan berdiri disampingnya. Tubuhnya menegang dan suaranya bergetar. "A-alex.. kelas 2," dia tergagap.

Setelah semua selesai, pria kekar itu mengangguk. "Kalian semua silahkan pindah ruangan. Pergi dengan menjadi pengikut lelaki ini, dan ikuti semua perintahnya. Seluruh anggota sekolah akan dibuat kelompok. Kalian harus mengerjakan apa yang kami perintahkan! Jika tidak, kami tak akan segan-segan untuk menyiksa ataupun membunuh kalian!"

Semua raut wajah terlihat ketakutan. Kami saling memegang satu sama lain, seakan-akan tak boleh dipisahkan. Satu dari tiga pria kekar yang lain angkat suara, "baiklah bocah-bocah, kalian harus pergi dengan kelompok masing-masing. Satu kelompok dihuni oleh empat orang. Silahkan keluar dari sini sekarang," sahutnya.

Teman-temanku terlihat kocar-kacir saling mencari kelompok masing-masing. Sementara itu aku, Yukhei dan Dejun mendekat kearah Dong Sicheng. Membantu lelaki lemah itu berdiri dengan sedikit kesulitan. Ia tampak sangat tragis. Banyak lebam yang memenuhi wajah dan tubuhnya. Aku sampai tak tega melihat lelaki itu terus-menerus mendapat siksa dari para pria kekar yang entah datangnya darimana itu.

Kami berempat berhasil beranjak berdiri dan mengikuti pria berbadan kekar yang dipenuhi tato dan memakai topeng. Pria itu membawa kami kesebuah ruangan yang terlihat sangat kotor. Aku tidak tahu ruangan apa itu, tapi hal yang terpenting yang aku pikirkan tuk saat ini adalah bagaimana caranya agar kami bisa kabur dari sini dan menuju pusat kota.

Aku sangat menyesal. Sungguh sangat sangat menyesal karna menuruti permintaan Mama untuk bersekolah dipinggiran kota, sementara rumahku jauh ditengah kota sana. Bukankah hal itu sangat menakutkan jika terjadi apa-apa seperti sekarang ini?

Jam yang melingkar di lengan kananku menunjukkan pukul 3 sore. Sampai saat ini kami masih disekap tanpa makan ataupun minum selama kurang lebih dua hari. Aku bingung dengan apa yang terjadi untuk kedepannya. Entah mereka kesulitan karna mengurusi satu sekolah, atau karna mereka menunggu kami satu persatu mati karna kelaparan.

Tiba-tiba Yukhei mengagetkan ku,

"Aletta!"

"Winwin..."

Aku mengalihkan perhatianku kearah lelaki yang terbaring tak berdaya itu,





























"Winwin tak sadarkan diri!"

"Winwin tak sadarkan diri!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Perfect Innocent || WinwinWhere stories live. Discover now