29. Engagement

Começar do início
                                    

"Aku gak masalah kapan aja, balik lagi ke kamu, kan kamu yang kaya nya bakal crowded sama tawaran kerja? Kita harus nyiapin waktu tiga bulan buat lamaran sampai ke nikah." Ucapnya panjang lebar.

"Aku gak usah taken kontrak dulu deh sebelum kita nikah." Ujar ku memutuskan. Baskara lantas tersenyum, kini giliran kedua alis ku yang bertaut. "Kenapa?" Tanya ku penasaran.

"Kamu bikin statement kaya gitu bikin aku tau jawaban dari pertanyaan sebelumnya." Senyum nya semakin lebar seperti kuda. Tapi aku adalah aku, keledai bodoh yang sangat lambat dalam berpikir.

"Pertanyaan mana?" Tanya ku masih belum menyadari arah obrolan yang diucapkan oleh Baskara.

"Bakal diterima apa engga..." bibir ku membulat sambil mengangguk mengerti. Kini mata ku tertuju ke sekitar, orang-orang sudah bubar, hanya tersisa beberapa selebriti dan designer yang sedang bersua di pinggiran catwalk.

"Aku harus nyapa mereka." Izin ku kepada Baskara, pria itu mengangguk seraya aku melenggangkan langkah kaki ku.

-

Aku tidak perlu menjelaskan seberapa detail nya kegiatan ku di hari pameran busana itu, tapi cerita ini adalah kelanjutan dari arah obrolan kami saat itu. Kami telah tiba di Jakarta. Aku pernah dengar kalau hijau adalah warna surga, entah ayat berapa di kitab suci agama ku, tapi aku pernah mendengarnya. Baskara tidak terlalu mengerti tentang fashion, ia menyerahkan tanggung jawab tentang pakaian lamaran kami kepada ku. Seluruh keluarga perempuan aku buatkan baju tunik seragam berwarna hijau segar dengan bawahan batik hitam bermotif daun yang membuatnya senada. Para ibu, aku buatkan kebaya cantik berwarna persis dengan seragam keluarga. Sementara aku menggunakan kebaya rancangan designer ternama Indonesia dengan warna hijau yang agak lebih gelap dari seragam. Aku terlalu menjelaskan dengan detail baju perempuan-perempuan di acara lamaran kami, tapi jangan khawatir... para pria aku belikan kemeja sage green agar senada dengan pasangan nya. Baskara? Tentu ia mengenakan batik yang senada dengan rok yang aku pakai.

Lamaran kami berlangsung di restoran Mie Aceh milik ayah ku. Dengan perencanaan yang matang, ayah berhasil merenovasi ruang terbuka di restoran menjadi taman indah seperti di dunia peri. Aku menggunakan taman sebagai venue lamaran, anggap saja tema lamaran ku adalah garden party. Teman-teman ku datang, tapi ada satu orang yang masih ku cari sampai saat ini. Dio. Rasanya aku tidak lupa mengirimkan undangan kepada dirinya, aku berusaha mengingat kembali hingga akhirnya sosok itu datang. Dio datang membawa anak nya, aku dengar dari Nelin, istrinya meninggal satu bulan yang lalu. Wajahnya kusut namun ia tetap usaha tersenyum meski tak selebar biasanya.

"Hai Yo!" Sapa Baskara seraya merangkul pinggang ku. Dio tersenyum sambil menggendong anaknya, Asha. "Kita turut berduka cita yaa, atas kepergian istri lo. Makasih udah nyempetin dateng ke sini." Lanjut calon suami ku dengan ramah.

"Thanks. Congrats juga yaa untuk kalian, semoga dilancarkan segala acaranya hingga akad." Ucapnya sambil menatap aku dan Baskara bergantian.

"Amin." Ucap Baskara membalas doa yang diucapkan oleh Dio.

"Sarahhh..." Raelee. Penulis favorit ku yang secara tiba-tiba menjadi sahabat ku. Wanita itu sangat cantik, gaun kuning muda yang melekat ditubuhnya tidak membanting warna kulitnya yang putih. Rambutnya ia sanggul asal, tas putih mutiara, serta kacamata yang selalu melekat di mata nya tak menghalangi kecantikannya. "Selamat yaa... semoga lancar sampai hari-H." ucapnya memeluk ku hangat. "Tadi aku nyasar gara-gara sok tahu bawa mobil sendirian ke sini, emang cewe yaa... gak bisa baca google maps." Cerocosnya seraya bergantian kini salaman dengan Baskara.

"Ya tuhan, ke Bekasi aja pake nyasar." Ucapku diakhiri tawa renyah. Dio perlahan mundur mencari tempat duduk untuk menikmati hidangan yang kami sediakan.

Dear My Last, Onde histórias criam vida. Descubra agora