Bab 2: Awal Mula

22 2 0
                                    

Ini aku udah bikin kepanitiaan. Kita bakal ngadain reunian kecil-kecilan. Buat teman satu tingkat aja, gimana?

Yo ayook.

Ih lama nih elu nggak keliatan, Nad. Gimana kabar si Rani? Udah stay di mana dia sekarang?

Gue nggak kemana-mana kok. Eh kamu tuh ya, Jen, udah bertahun-tahun pindah ke Surabaya ngapain sih pakai gue elu aja? Oya soal Rani, dia sih lagi hidup hepi di kyoto.

Eh ada yang tahu nomor barunya Angin, nggak? Ini barusan liat postingan si Merry. Anaknya lucu bangeeet.

Darani membaca screenshot grup WhatsApp dari Nadin. Grup yang selama ini hanya dipantau Darani melalui laporan Nadin karena Darani malas untuk memberitahukan nomor baru tiap kali berpindah negara. Ia baru saja pulang dari meliput restoran baru dekat kuil Todaiji. Badannya bau matahari. Darani bersiap mandi sore lalu akan berangkat ke sesi kelas malam Bahasa Indonesia yang ia ajar, lalu masuklah pesan Line dari Nadin.

"Tiga bulan lagi, kamu balik ke Indonesia nggak ya? Penginnya bisa datang ke acara reuni bareng kamu aja," tulis Nadin di pesannya.

"Nggak tahu juga. Tapi kalau emang aku udah balik ke Surabaya, ya kita dateng aja."

"Kamu, nggak apa-apa, Ni? Kalau Angin sama Merry datang gimana?"

Darani tersenyum. Pahit. "Ya nggak gimana-gimana. Udah tiga tahun dan jelas aku udah biasa aja. Masa aku nggak bolehin mereka datang? We have different life now."

Bohong banget sih. Pas aku lihat foto mereka, jelas banget hatiku masih nggak terima. Percuma juga melarikan diri ribuan mil dari Indonesia, pikiranku nggak pernah ke mana-mana. Aku hanya bisa santai kalau lagi sibuk kerja. Kalau diem di kamar begini, ya keinget lagi. Shit.

"Ya elah, kamu nggak perlu boong deh sama aku, Ni. Kita udah berteman tujuh tahunan, masa kamu nggak tahu kalau aku paling bisa ngendus kamu ini booong apa nggak? Ya udah liat entar aja ya. Kalau sreg, ya kita datang berdua. Atau pas acara reuni, kamu beli tiket aja ke mana gitu, aku entar tinggal bikin alasan aja mendadak diare, hahaha."

Membaca pesan Nadin serta-merta membuat Darani terkikik. Nadin benar. Sahabatnya ini juga selalu punya ide ajaib untuk mengelak ke undangan acara yang tidak ia suka, termasuk ide ajaib untuk keluar dari pekerjaan mapan sebagai soerang bankir lalu kursus barista. Berkat Nadin jugalah Darani menyadari potensinya untuk tak harus bekerja di belakang meja dan mengejar passionnya. Sekarang ia menjadi travel writer majalah bergengsi di Indonesia, rutin keliling mancanegara, membuka kelas menulis daring, dan punya gaji yang lumayan. Tuhan mendukungnya untuk melarikan diri.

Percakapan via chat pun terhenti. Nadin harus melayani tamu-tamu yang datang di kafenya. Kafe itu makin berkembang. Mereka berjanji untuk melakukan video call di akhir pekan ketika Darani tak ada tugas meliput. Darani berganti pakaian. Jendela apartemennya terbuka lebar. Terdengar suara-suara ceria dari luar halaman komplek apartemennya. Beberapa anak muda sedang berjalan kaki. Kelihatannya mereka terlihat awal dua puluhan, usia di mana mereka baru saja menginjak dunia kampus.

"Ee, Ryota-kun, chotto matte!"[1]

"Osoi! Hahahah, hashiruzo!"[2]

Percakapan anak-anak muda Jepang itu memecah heningnya jalanan desa Aozaki. Meskipun disebut sebagai desa, tempat ini juga cukup dekat dengan kota. Banyak anak-anak muda yang kuliah atau sekolah di kota bisa pulang-pergi setiap hari. Hidup di Aozaki menawarkan ketenangan sekaligus kenyamanan. Desa ini memiliki fasilitas yang lumayan lengkap.

Darani mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia tertawa lepas bersama kumpulan teman-temannya. Makin usianya bertambah, lingkaran pertemanannya mengecil. Hanya Nadin saja yang rutin berkomunikasi dengannya. Nadin dan Darani memang sekampus tetapi mereka berbeda jurusan. Nadin masuk di fakultas Komunikasi sedangkan Darani masuk ke jurusan Sastra Jepang. Mereka dekat karena tergabung di satu klub Jurnalistik.

"Cowok itu pacarmu?" Itulah pertanyaan pertama yang ditanyakan Nadin kepada Darani di minggu kedua mereka mengikuti acara klub.

Tanpa ditanyai pun, Darani sudah membaca pikiran Nadin. Teman-temannya belum ada yang tahu jika Darani punya kemampuan istimewa. Ia bisa membaca pikiran orang lain. Ah, lebih tepatnya pikiran-pikiran orang yang berada sekitar satu meter di dekatnya akan berebut masuk ke kepala Darani. Ini yang membuat Darani menjadi pendiam. Ia berusaha tetap tenang.

Darani menggeleng malu. "Bukan. Dia temen sekelas aja, satu angkatan. Karena rumah kami satu arah, jadi aku sering bareng mobilnya. Eh anaknya asyik diajak berteman."

"Emang bisa ya, cowok sama cewek murni berteman aja? Kalau ngelihat dia nungguin kamu selesai acara klub, kamu yakin dia nggak ada perasaan khusus? Atau kamu mungkin? Sorry, kok aku lancang ya? Wkwkkw sorry ya, Ni. Eh aku bisa manggil,Ni, aja kan? Enak lebih praktis." Nadin memang ceplas-ceplos dan Darani sama sekali tidak tersinggung. Sudah dua minggu bergabung di klub, ia hanya bicara jika ditanya. Darani tidak bisa cepat berbaur di lingkungan baru.

Saat itu Darani tidak berpikir soal cinta. Darani tidak terlalu percaya pada kekuatan cinta. Sejak kecil yang ia tahu adalah kebaikan hati. Kalau tidak ada Om dan Tantenya yang mau menampung Darani sejak ditinggal ibunya, pasti Darani tidak akan bisa tumbuh normal. Untung biaya kuliah ini sangat diringankan dengan beasiswa penuh yang diraih Darani. Lewat prestasi-prestasi menulisnya, Darani masuk ke ujian masuk kampus. Ia juga ingin belajar Bahasa Jepang untuk melengkapi kemampuan bahasa Inggrisnya.

Jelas aku yakin. Tiap hari bareng sama Angin, nggak pernah satu kalipun kulihat dia ngelihat aku sebagai cewek manis, hahaha. Dia punya gebetan sendiri. Dia beneran tulus.

"Kenapa harus mikir soal begitu? Cowok sama cewek bisa berteman menurutku. Angin juga baik sama semua orang, nggak cuman ke aku doang." Di mata Darani, Angin adalah pemuda kurus yang wajahnya seringkali pucat. Sebenarnya Angin lumayan tampan, hanya saja ia tak seatletis cowok-cowok lainnya. Terkena panas sebentar saja, kepala Angin pusing. Darani mengulum bibir menahan senyum ketika teringat awal kedekatan mereka.

Di hari pertama Ospek, Angin berdiri di samping Darani. Hampir sejam mereka dijemur. Walaupun menggunakan topi caping ala petani, Darani mereasakan efek terik matahari membuat pandangannya mulai berkunang-kunang. Dia berusaha menyugesti diri agar bisa kuat sampai acara pembukaan Ospek selesai.

"Aduh, yo opo iki.[3] Maaf ya, mendadak mataku gelap." Angin menggamit lengan Darani. Mereka baru saja berkenalan sejam. Pemuda itu asli Surabaya, makanya ia berbahasa Indonesia campur Jawa. Darani memang besar dan lahir di kota ini tetapi keluarganya selalu berbahasa Indonesia.

"Kamu kenapa? Sakit? Kubilang ke kakak tingkat ya?" Tanpa menunggu jawaban Angin, Darani keluar dari barisan untuk melapor. Ketika ia kembali, Angin sudah duduk jongkok menahan nyeri di kepalanya. Ia punya penyakit vertigo. Pantas saja Darani merasa jika Angin terus mengeluh dalam benaknya. Jadi tanpa perlu ditanya lebih lanjut pun, Darani tahu jika pemuda kurus itu tidak sedang berpura-pura sakit. Darani pun membantu Angin ke klinik kampus. Sejak saat itulah mereka berteman baik.

Semua berjalan lancar sampai hati Daranilah yang mengharap lebih.

"Aku duluan yang salah. Sampai aku rela ngelepas kemampuan membaca pikiran demi membersihkan isi kepala dan berusaha jadi cewek biasa." Ucapan lirih Darani mengapung di udara kamarnya.

Jalan depan apartemennya kembali sepi. Seperti hati Darani.


Catatan Kaki:

Eh, Ryota, tunggu aku! (Jepang)

Kamu lambat! Hahahah, ayo lari! (Jepang)

Bagaimana ini? (Jawa)

Angin Tanah Bumi (terbit di Penerbit Benito)Where stories live. Discover now