💫 Bagian 8 💫

58 17 0
                                    

"Dadah, Ma! Lintang berangkat dulu ya!"

Dengan cepat aku melesat keluar rumah sambil menenteng tas biolaku. Hari ini adalah hari terakhir jadwal rutinku pemadatan. Akhirnya setelah satu bulan latihan lusa adalah hari dimana kami akan tampil.

Oke, lupakan saja tentang apa yang terjadi dengan aku dan Bintang malam beberapa hari yang lalu tentang aku jangan terlalu memaksakan diri. Mau tidak mau, suka tidak suka, dengan langkah berat atau ringan , aku sudah sejauh ini. Munafik, karena aku tetap menikmati sensasi puas saat aku bersinar di atas panggung.

Ketika aku selesai tampil dan merasa puas, kemudian lega karena beban sudah terangkat bebas, masih dapat tepuk tangan yang sangat meriah pula dari penonton. Sensasinya itu lebih dari seperti ada kupu-kupu yang terbang diperut, bagaimana aku mendeskripsikannya? intinya, aku sangat senang ingin teriak.

"Pak Haikal, apa tidak ada hari tenang sebelum kita tampil?" aku terbahak ketika Nada dengan pertanyaan polosnya dan wajah cemberut lucu. Benar, sebenarnya kami lelah. lelah karena pemadatan super belum lagi persiapan mental itu perlu tapi kami tidak ada waktu untuk itu.

"Kamu kira ini ujian nasional pakai hari tenang H-1?" jawab Pak Haikal diserati kekehan lucu dengan pertanyaan anak didiknya.
"Maaf ya, kalian selalu gladi bersih di panggung H-1. Bapak tahu kalian ingin bersantai dirumah mempersiapkan mental meskipun sudah sering tampil diatas panggung tapi persiapan mental itu pasti selalu kalian butuhkan," Ucap Pak Haikal setelahnya.

"Nanti kita wujudkan panggung kita sendiri, ya anak-anak?"

Jantungku berdesir mendengar harapan dari Pak Haikal.

Panggung kami sendiri?

Dengan hanya membayangkan saja kenapa bisa semenarik ini untuk bisa segera diwujudkan?

"Apa kita bisa, Pak?"

"Kenapa tidak?"

Perbincangan singkat dan penuh tekad itu berkahir. Semua orang penghuni ruangan itu melanjutkan latihan terakhir mereka agar bisa bergegas pulang istirahat dirumah mempersiapkan gladi bersih keesokan harinya.

Termasuk aku, memang harmonisasiku bersama tim sangat bagus tapi untuk berdiri dipanggung besar aku perlu mempersiapkan semuanya.

**

Diatas ayunan aku duduk sambil kakiku menendang pasir taman malam ini. Sudah sepuluh menit aku sendiri disini, menenangkan pikiranku, meringankan bebanku. Bersama Langit tentu saja.

Semua hal jika dilakukan karena terbiasa akan terasa baik-baik saja, 'kan? Tapi kenapa setiap aku ingin tampil diatas panggung terasa seperti beban?

"Beban yang seharusnya Tantangan untukku, Langit." Aku bergumam menunduk tidak berani menatap langit. Karena aku sedang tidak percaya diri.

Tidak peduli seberapa banyak kali aku berkata bahwa aku sudah sejauh ini tidak apa-apa untuk dilanjutkan. Karena berkali-kali pula aku merasa bahwa semuanya itu beban.

"Langit pasti sedih."

Aku menatap langit, mataku sudah berembun. Cengeng banget, Langit pasti tidak suka. Sudah banyak kali aku membuat Langit kecewa, "Nanti akan ada pelangi setelah hujan 'kan, Langit?"

Aku kembali tertunduk. Enggak, malam ini aku enggak boleh nangis. Menangis boleh kalau memang sedang ingin karena itu seperti manifestasi kepengapan di dada.

Tapi kalau setiap hari aku menangis ya tidak baik juga, Langit bisa beneran nyentil aku.

Aku melihat sekeliling taman, sepuluh menit cukup lama untuk sendirian semenjak Bintang sering menggangguku. Tumben?

Saat aku menoleh ke sisi kanan, ternyata Bintang sudah berada disampingku duduk manis diayunan kosong.

"Sudah puas belum sendirinya?"

Aku mengerutkan dahi penuh tanda tanya.

"Kamu selalu ngusir aku pakai tatapanmu. Tapi aku tidak bisa pergi, jadi aku nunggu kamu dari belakang semak-semak itu sampai kamu puas sama kesendirian kamu. Hehe."

Aku terkekeh, tidak habis fikir dengan jalan pikiran Bintang. Tapi dia berusaha mengerti aku, salut.

"Lintang," Panggilnya.

Aku menatap Bintang, wajahnya yang terlihat dari samping ini pahatannya sungguh terlihat sangat sempurna. Bentuk hidung, bibir, rahang tegasnya.

"Hmm?" Jawabku yang masih enggan mengalihkan dari menatp wajahnya.

"Pelangi itu datang karena ketulusan, hanya saja dia bersifat sementara enggan menetap lebih lama karena tidak hanya satu mata yang dia manjakan."

Bintang menoleh kearahku, tentu saja membuat sengatan listrik pada tubuhku. Ketahuan aku menatap intens wajahnya.

"Lintang,"

"H-hm?" aku gugup!

"Jangan berharap pada pelangi, indahnya semu. Berharaplah pada Langit, meski kadang menurunkan hujan tapi tak jarang ia datang dengan kecerahan dan ribuan Bintang."

Pungkasnya dengan senyum manis. Tuhan, ini lebih daripada manis!

Lintang kamu sudah beneran sinting!



💫💫💫

Nyctophilia, Bagian 08
Selesai
To be continue.

[#1] 𝑵𝒚𝒄𝒕𝒐𝒑𝒉𝒊𝒍𝒊𝒂 | Haechan AU ✔Where stories live. Discover now