Part 1

23 1 0
                                    

Angin musim gugur yang dingin menyelimutiku saat aku berjalan perlahan menuju satu-satunya pohon besar yang berdiri gagah di tanah lapang yang luas ini. Saat pertama kali aku menemukannya beberapa minggu yang lalu dalam perjalanan untuk menemukan penghiburan dari penatnya kehidupan sehari-hari, aku langsung terpesona. Pohon itu memberi ketenangan dan kedamaian yang sepertinya menyambut saat-saat sunyi. Potongan puisi yang tak terhitung jumlahnya dibuat di bawah pohon ini. Semua pikiran dan emosi terangkum dalam kata-kata yang telah menjadi pelepasan dari semburan kehidupan.

Sebuah ritual yang seolah menjadi rutinitas harian, aku akan datang ke sini tepat setelah hari yang panjang bekerja untuk menenangkan pikiran dan meredakan hati yang kesepian. Aku memang memiliki teman dan keluarga di sekitarku, tetapi aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang.

Terdengar klise, tapi terasa seperti ada satu potongan puzzle yang hilang untuk menyelesaikan sebuah mahakarya yang disebut Ha Yoonbin.

Aku membuka tas, mengeluarkan pena, buku catatanku penuh dengan perasaan yang tidak terucapkan dan sebotol anggur. Itu adalah hadiah untuk diriku sendiri karena berhasil menjaga kewarasan dari hari kerja yang penuh tekanan. Aku membuka tutup botolnya dan menyesap isinya, menghirup udara musim gugur yang menggigit.

Aku meluangkan waktu sejenak untuk menikmati lingkungan yang damai saat menyandarkan punggung di pohon ini. Angin musim gugur yang lembut bertiup, membuat dedaunan berdesir dan menari-nari di atasku, batang pohon dan ranting berderit begitu ringan. Deru lembut angin menambah simfoni alam.

Aku mulai menulis.

Air mata jatuh, jatuh, jatuh

Air mata yang selalu ku tahan tiba-tiba meledak seperti amarah

Seperti jiwaku, betapa tertahannya air mataku

Tanpa henti, kamu sedang bergegas keluar dari mataku

Mereka kabur

Setelah merendam diri dengan seteguk alkohol

Aku meletakkan cangkir dengan satu desahan, melepaskan semuanya bersamaan dengan itu

Akankah aku bisa menghentikan hujan lebat dengan kemauanku sendiri?

Ataukah harus menunggunya berhenti secara alami

Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu pelangi yang cerah.

Senandung rendah menghentikan pikiran dan tanganku dari menulis. Aku tetap diam. Senandung itu berlanjut, terdengar seperti suara yang riang. Meskipun mengganggu ketenanganku, entah kenapa ujung bibirku perlahan-lahan tertarik ke atas, menjadi sebuah senyuman.

Diam-diam aku berdiri, berjingkat di sekitar pohon untuk mengintip ke arah orang asing yang sepertinya tidak sadar sedang aku perhatikan. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana menatapnya. Dia berbaring, tangan di belakang kepala, bersandar di pohon. Matanya terpejam dan bahkan dari kejauhan aku bisa melihat bulu matanya yang panjang melengkung dan menempel di atas pipinya. Bibirnya melengkung menjadi senyuman saat dia terus bersenandung, pergelangan kakinya disilangkan, bergerak mengikuti suara yang dia buat .

Aku sangat terpesona oleh ketenangannya hingga hampir tidak mendengar apa yang dia katakan ketika bibirnya bergerak.

"Hah?" Tanyaku tercengang.

Dia terkekeh, Aku berkata, "'Hai!'"

Aku dengan canggung menggaruk bagian belakang kepalaku saat aku melangkah maju, memperlihatkan diriku sepenuhnya.

Dia akhirnya membuka matanya untuk menatapku dan sama sekali tidak melebih-lebihkan tapi aku merasakan seolah jantungku berhenti. Dalam hati aku terkesiap.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 20, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku, Kamu, dan IlusiWhere stories live. Discover now