13. Merdeka, Kata Terlarang

Start from the beginning
                                    

Aku tidak tau harus bertindak bagaimana sekarang, sejujurnya aku belum pernah menangani seseorang dengan luka bakar seperti ini. Tak mau salah langkah, aku pun berteriak meminta tolong kepada beberapa warga yang ada di sini. Seorang wanita paruh baya akhirnya menghampiriku dan membantuku membawa Ujang menuju tempat yang lebih kondusif. Bagian tubuh Ujang yang terkena luka bakar itu dibasuh dengan air sejuk yang bersih.

"Kita tunggu para medis tiba ya. Saya gak bisa bantu banyak," kata ibu paruh baya tersebut.

Aku mengangguk, menyetujui ucapannya. Pikiranku tertuju pada Mas Arif dan Kongres sekarang. Aku takut sekali jika kami telat menghadiri Kongres tersebut.

Sekitar setengah jam kemudian, kami mendapat kabar kalau api sudah berhasil dipadamkan. Aku mengucap syukur dalam hati, Ujang juga sudah dibawa oleh para medis untuk diobati. Dengan segera aku melangkah menuju lokasi kebakaran tadi untuk mencari Mas Arif, tetapi hasilnya nihil. Aku tak dapat menemukan Mas Arif.

"Hoi! Lana kan?" Dadang menepuk pundakku dari belakang, hal itu membuatku sedikit terkejut.

"Iya, Mas Arif di mana?" Aku bertanya tanpa basa-basi.

"Arif sudah pergi ke Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lan. Ia sudah ke tempat Kongres sejak tadi. Arif sempat mencari kamu sebelum pergi, tapi kamu gak ada di sini. Ia sudah diminta untuk segera menghadiri Kongres oleh para pemuda lainnya, ia memintaku untuk mencarimu dan mengantarmu ke tempat Kongres," terang Dadang yang membuatku terdiam.

Jadi, aku ditinggal oleh Mas Arif?

Aku menelan ludahku, Mas Arif sudah pergi lebih dulu rupanya. Ia meninggalkanku di sini. Aku paham mengapa Mas Arif pergi lebih dulu, tapi entahlah ... ada sedikit rasa kecewa di dalam hatiku. Tentu aku tau kalau tanggungjawab dan peran Mas Arif dalam Kongres ini cukup besar, aku tak boleh egois. Tak etis rasanya jika Mas Arif telat datang hanya karena mencari keberadaanku. Wajar jika ia pergi lebih dulu, tanggungjawabnya jauh lebih penting daripada egoku. Lagi pula, Mas Arif tidak benar-benar meninggalkanku di sini, ia masih meminta Dadang untuk mencariku.

"Lan? Ayo kita ke tempat Kongres sekarang sebelum terlambat!" kata Dadang.

Aku menggeleng pelan. "Gak deh, aku gak jadi ikut."

"Hah ...? Kenapa?" Ia bertanya dengan raut wajah kebingungan.

"Gak apa-apa, Dang."

Entahlah, aku merasa kehilangan semangat untuk pergi menghadiri Kongres hari ini. Bukan karena perihal Mas Arif yang meninggalkanku, tetapi karena kejadian kebakaran tadi yang membuatku kembali teringat dengan peristiwa kebakaran di dekat rumah Andin. Aku masih merasa trauma dan takut jika kembali mengingatnya.

Dadang menatap serius ke arahku. Tubuhnya terlalu tinggi, membuat ia terpaksa menekukkan kakinya untuk dapat berdiri sejajar denganku. "Lana, kamu yakin gak mau datang ke Kongres ini?"

Dengan yakin dan mantap aku pun menggeleng. "Aku yakin."

Teman Mas Arif itu menghela nafasnya, ia lalu mengangguk dan mengantarkan aku ke rumah Bu Surnani. Sesampainya kami di sana, Bu Surnani menyambut kedatanganku dengan raut bingungnya. Beliau bertanya-tanya alasan mengapa aku tidak ikut Mas Arif pergi ke Kongres. Aku pun menjelaskan pada beliau tentang perasaan tak nyamanku akibat teringat dengan peristiwa tadi. Bu Surnani paham akan hal itu, beliau pun memelukku dan menenangkan aku dalam peluknya.

📃📃📃

Mungkin bagi sebagian orang, alasan aku tidak menghadiri Kongres kemarin terdengar tidak logis. Tapi, ketahuilah bahwa perasaanku kemarin benar-benar kacau setelah melihat peristiwa kebakaran itu. Aku kembali dihantui oleh bayang-bayang peristiwa lampau yang ku alami secara langsung.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now