Rindu

2.8K 558 6
                                    

Jaemin duduk termenung diruang tamunya, menatap keluar jendela dengan perasaan gelisah. Ia menumpu kepalanya dengan kedua tangannya. Mengamati beberapa orang yang berlalu lalang didepan rumahnya.

Sebenarnya alasan Jaemin mendadak murung dihari yang cerah seperti ini, dikarenakan satu alasan.

Lee Jeno.

Lelaki itu sudah 3 hari ini tidak mengiriminya pesan seperti biasanya. Ia menjadi khawatir. Apa Jeno baik-baik saja?

Minhyung juga sedang berada diluar kota karena urusan, membuat Donghyuck uring-uringan karena ditinggal sang kekasih selama seminggu.

Jika biasanya Jaemin dan Renjun akan mengolok Donghyuck berlebihan, maka sekarang ia mengerti kenapa Donghyuck bisa bersikap seperti itu.

Itu semua karena rindu.

Dan kini Jaemin merasakannya.

Jika kalian bertanya mengapa Jaemin tidak menghampiri rumah Jeno, maka jawabannya adalah, malu.

Yah, Jaemin mendadak menjadi seorang yang pemalu padahal biasanya ia akan bertingkah sangat memalukan.

"Jaemin, ibu membuatkanmu pie apel. Kau tidak mau?" Suara ibunya terdengar, Jaemin hanya menggeleng pelan, "Tidak, bu. Aku sedang tidak berselera."

Bahkan aroma harum pie apel kesukaannya pun sama sekali tidak menggugah seleranya.

Apakah sebesar ini efek dari menahan rindu?

Jaemin mengerang, ia menegakkan tubuhnya. Memantapkan niatnya untuk menuju rumah Jeno. Ya, dia tidak bisa menahan lagi perasaan rindu ini.

"Ibu! Aku pergi dulu!" Jaemin segera berlari keluar tanpa menjawab sahutan ibunya yang menanyakan dirinya akan pergi kemana.

Menyambar sepeda milik ayahnya, Jaemin segera melajukan sepedanya menuju rumah Jeno. Bermodalkan ingatannya ketika Minhyung menunjukan letak rumah Jeno tempo hari.

Jaemin kini berada didepan rumah yang cukup megah. Yah, untuk ukuran seorang lelaki muda terkenal seantero kota karena kepiawaiannya bermain biola, Jeno pasti cukup bahkan sangat kaya.

Jaemin melihat seorang bibi tua tengah membersihkan halaman, Jaemin mendekat, "Permisi bi, benar ini rumah Lee Jeno?" Tanya Jaemin ramah.

Bibi itu menelisik penampilan Jaemin kemudian tersenyum, "Ya, benar. Ini rumah Lee Jeno. Anda siapa?"

Jaemin mencengkeram stir sepedanya kuat, "S-saya temannya Lee Jeno."

"Oh, sayangnya tuan muda sedang pergi ke luar kota bersama keluarganya. Mungkin besok tuan muda sekeluarga sudah kembali. Apa tuan..."

"Jaemin, Na Jaemin."

Bibi itu tersenyum, "Apa tuan Jaemin ada keperluan dengan tuan muda?"

Jaemin menggeleng canggung, "Ah tidak bi, saya hanya khawatir karena Jeno tidak ada kabar sama sekali beberapa hari ini."

"Kalau begitu saya titip salam pada Jeno ya bi." Bibi itu mengangguk kecil, "Baik tuan, akan saya sampaikan."

Jaemin membungkuk ramah, "Terima kasih bi. Saya pamit."

•••

Jaemin membuka matanya malas setelah terdengar suara pintu kamarnya yang diketuk dari luar.

"Jaemin-ah, ada surat untukmu." Begitu kalimat itu terlontar dari bibir ibunya, Jaemin segera melompat dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya dengan brutal.

"MANA?!" Ibunya terlontak ketika tiba-tiba Jaemin membuka pintunya kasar, "Astaga kau membuat ibu terkejut! Setidaknya bersihkan dulu air liur dipipimu itu." Jaemin dengan cepat mengusap pipi dan sudut bibirnya.

"Mana suratnya, bu?"

"Kau tidak sabaran sekali. Memangnya surat dari siapa sih?" Belum sempat ibu Jaemin melihat nama si pengirim, Jaemin dengan cepat merebut amplop coklat itu.

"Rahasia! Ibu tidak boleh tahu." Jaemin mendekap amplop coklat itu dengan erat didadanya. Ibu Jaemin memicing tajam, "Apa itu dari kekasihmu? Kau punya kekasih dibelakang ibu?"

Jaemin mendengus, "Bukan. Sudahlah ibu tidak perlu tau."

"Oh itu untukku juga?" Baru sekali ibu Jaemin mengangguk, Jaemin langsung mengambil sebuah kotak berukuran sedang dari tangan ibunya.

"Terima kasih, ibu. Jaemin sayang ibu hehe." Dan setelahnya Jaemin segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Mengabaikan teriakan ibunya yang mengatai dirinya tidak sopan.

Dengan tidak sabaran Jaemin membuka amplop itu. Ada sebuah surat dan sebuah tiket.

Jaemin membuka surat itu.

'Hai, Jaem. Bagaiamana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja dan tetap bahagia. Maaf aku baru mengirimimu surat hari ini. Karena beberapa hari yang lalu aku dan keluargaku pergi ke kota sebelah. Seorang kerabatku gugur diperbatasan, jadi kami datang untuk memberi penghormatan terakhir.

Oh iya, aku juga sempat membelikanmu oleh-oleh. Tidak seberapa sih, tapi semoga kau suka. Aku ingat kau dulu pernah mengatakan kepada bibi di toko roti jika kau suka yang manis-manis. Jadi aku membelikanmu sekotak coklat. Kuharap kau suka.

Dan aku juga memberimu tiket untuk resitalku besok lusa. Kuharap kau datang. Dan dengan tiket khusus dariku itu, kau bisa menemuiku dibelakang panggung.

Sampai jumpa besok lusa, Na Jaemin!

Lee Jeno.'

Oh, Jaemin tidak bisa menghentikan sudut bibirnya yang terangkat membentuk sebuah senyuman.

Rabu, 11 Mei 1955.
Setelah tersiksa oleh kerinduan, sebuah surat datang membawa kebahagiaan.

Tbc

Na Jaemin, 1957 | NOMINDove le storie prendono vita. Scoprilo ora