"Lan, kenapa menghadap tembok? Apa yang kamu lihat di tembok itu? Cicak?" ledeknya.

Huh, dasar Mas Arif! Pura-pura gak peka!

Aku menoleh dan menatap Mas Arif. Kami saling bertatapan, hingga akhirnya sang penjual kue cubit berdeham. "Ehem, ehem, dua muda-mudi menjalin kasih, oh sungguh indah duniaa." Sang penjual tadi bersenandung ria dengan nada ciptaannya sendiri. Mas Arif tertawa mendengarnya.

"Sudah kenyang?" tanya Mas Arif.

Aku memasukkan kue cubit terakhir ke dalam mulutku sebelum akhirnya mengangguk. Mas Arif pun membayar kue cubit tadi, lalu mengajakku untuk kembali melanjutkan perjalanan kami. Hanya dalam waktu sepuluh menit, kami sudah sampai di sebuah rumah bercat putih dan kuning. Kedatangan kami disambut oleh beberapa orang pemuda dan dua orang pemudi. Mereka juga memakai pakaian yang sama denganku dan Mas Arif.

"Eh Rif, dungaren telat? (Tumben telat?)," ucap salah satu pemuda itu.

"Mari nggolek sarapan dhisik mau. Awakmu kabeh uwis ngomongno opo wae? (Habis cari sarapan dulu tadi. Kalian sudah bicara tentang apa saja?)," jawab Mas Arif sambil mendudukkan dirinya di sebuah kursi panjang. Aku hendak duduk di sebelahnya, tetapi tanganku ditahan oleh salah satu pemudi yang ada di sini.

"Kita duduk di sana," ucap pemudi itu sembari menunjuk kursi yang ada di sebelahnya. Aku mengangguk pelan, jujur saja aku malu! Sesuai dengan ucapan pemudi itu, aku pun duduk di kursi yang ditunjuknya, lalu menyimak obrolan dari para pemuda.

"Awakdewe durung mulai ngobrol, Rif. Ngenteni awakmu teka dhisik, lah. Ora mungkin awakdewe mulai ngobrol pas awakmu durung teka (Kami belum mulai bicara, Rif. Nungguin kamu datang dulu, lah. Gak mungkin kami memulai obrolan tanpa kamu)." Pemuda itu membalas ucapan Mas Arif. Mereka pun melanjutkan percakapan mereka dengan topik yang tak ku pahami.

Aku hanya duduk manis sembari mendengarkan obrolan mereka yang sama sekali tak ku mengerti .... Pemudi yang tadi menegurku sepertinya sadar kalau aku tidak paham dengan obrolan ini. Ia pun mengajakku berbincang. "Nama kamu Lana, ya? Perkenalkan, namaku Surti. Adiknya Mas Estu, yang tadi ngobrol sama Mas Arif waktu kalian baru datang."

Pemudi bernama Surti itu tersenyum anggun kepada ku, dan aku membalas senyumannya. "Iya, aku Lana. Kok kamu bisa tau namaku?"

"Semua yang ada di sini tau kamu, Lan. Arif sering cerita tentangmu kalau lagi kumpul," sahut pemudi lainnya, "nama aku Wati, salam kenal, Lana,"

Kami berkenalan dan berbincang-bincang mengenai hal yang kami sukai. Hingga tak sadar kalau Mas Arif dan para pemuda lainnya sudah selesai membicarakan urusan mereka. Mas Arif menoleh ke arahku. "Wah, Lana sudah punya teman selain Dodot, nih."

"Rif, Lana iki arek sing asik pisan, ya. Nyambung ngomonge karo aku (Lana ini orangnya asik juga, ya. Nyambung loh ngomongnya sama aku)," kata Wati kepada Mas Arif.

Aku terkekeh mendengarnya. Obrolan kami pun dilanjutkan dengan membahas tentang sejarah Jong Java. Aku bertanya kepada mereka mengenai sejarah organisasi ini, dan mereka dengan senang hati menjelaskannya.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now