Matahari yang semula bersinar di atas kami kini mulai membenamkan dirinya di ufuk barat. Entah mengapa aku merasa bosan saat ini. Aku memutuskan untuk melihat-lihat beberapa foto yang dipajang di atas meja pribadi milik Mas Arif. Foto-foto yang menampilkan gambaran masa kecil Mas Arif itu sepertinya diambil sewaktu Mas Arif tinggal di Malang karena latarnya terlihat berbeda dengan rumah ini. Aku menyunggingkan senyum, Mas Arif rupanya sangat manis sekali waktu kecil.

Sekarang juga masih manis, sih ....

Puas melihat foto-fotonya, atensiku beralih pada sebuah buku berwarna cokelat yang tersimpan rapih di atas mejanya. Aku penasaran dengan isinya, tetapi aku tidak berani membukanya. Ku intip sebuah kertas yang terselip di dalam buku itu. Ternyata, kertas ini berisi sebuah untaian kata-kata indah yang dibuat oleh Mas Arif. Aku membaca isi kertas itu, rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku, sesak.

Boemi Bersama

Djika air mata, darah, dan pengorbanan masih tak tjoekoep oentoek membawa negeri ini pada kebebasan.

Djika tangisan, djeritan, dan perlawanan jang diberikan masih tak tjoekoep oentoek membawa negeri ini pada kemerdekaan.

Biarkan kami berdjoeang demi kemerdekaan bangsa ini. Bangsa jang masjhoer di tanah boemi bersama.

Merdeka!

Sebelum air mataku turun lebih dulu, aku buru-buru menaruh kembali kertas itu dan menyelipkannya pada buku cokelat tadi. Ya Tuhan, sebegitu besarnya keinginan Mas Arif untuk bangsa ini. Aku menelan ludahku, kemudian memilih untuk duduk di halaman rumah sembari menikmati langit senja hari ini.

Mas Arif pulang lebih cepat daripada biasanya. Wajahnya menunjukkan sebuah senyuman yang membahagiakan.

Duh, manisnya!

"Lan? Kamu gak masuk? Sebentar lagi magrib, langit udah mau gelap. Ayo masuk!" katanya.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Mas Arif menarik bangku yang ada di bawah meja pribadinya dan mendudukinya. Ia membuka buku cokelat yang aku lihat tadi.

Mataku meliriknya sekilas, buku itu rupanya berisi sajak-sajak ciptaan Mas Arif. Sepertinya Mas Arif sadar kalau aku tengah memperhatikannya, ia pun menyuruhku untuk mendekat dan berkata, "Sini aja Lan kalau mau lihat,"

Dengan malu-malu aku mendekat, Mas Arif menunjukkan kumpulan sajak yang ia buat padaku. Rata-rata sajak ini bertemakan perjuangan dan keinginan Mas Arif agar bangsa ini bisa merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Tapi, ada satu sajak yang ia buat khusus untuk sang ayah.

"Mas Arif suka bikin sajak, ya?" ucapku sembari membuka lembar demi lembar buku cokelatnya.

"Iya, aku memang suka menulis sajak, Lan. Aku tertarik dengan dunia sastra."

Oh, pantas saja, ternyata Mas Arif tertarik dengan dunia sastra, toh. Aku sih tidak begitu tertarik dengan dunia sastra, aku lebih suka menghitung daripada membuat untaian kata-kata. Harus ku akui kalau sajak ciptaan Mas Arif sungguh bagus. Jika ia bersekolah di sekolahku, aku yakin Pak Yadi, guru Bahasa Indonesia-ku akan menjadikan Mas Arif sebagai siswa favoritnya!

"Sejak pulang tadi, Mas Arif gak berhenti tersenyum. Ada apa memangnya?" Aku bertanya pada Mas Arif karena ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sumringahnya.

"Sebentar lagi perjuanganku dan teman-teman lainnya akan terbayar, Lana." Mas Arif terlihat begitu antusias dengan pembicaraan ini.

"Aku dan teman-temanku akan melakukan pemberontakan. Doakan saja semoga berhasil," sambungnya.

Pemberontakan? Pemberontakan apa?

Aku menatapnya bingung, sedangkan Mas Arif masih setia menatapku dengan senyumannya. Aku menghela nafasku. "Pemberontakan apa, Mas?"

"Nanti akan aku beri tau, tapi gak sekarang."

Raut kecewa terlihat dari wajahku. Jawaban Mas Arif membuatku harus bersabar menunggu agar rasa penasaranku dapat dijawab olehnya. Tiba-tiba aku teringat dengan tas hitam yang ia bawa kemarin! Aku pun memutuskan untuk bertanya padanya, "Kalau tas hitam yang kemarin Mas bawa itu isinya apa?"

Mas Arif terdiam beberapa saat. "Tas kulit yang kemarin maksudmu?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, itu isinya apa, Mas?"

"Oh, rancangan strategi pemberontakan. Memang kenapa?" jawabnya santai.

"Di ujung tasnya ada tulisan M1928, kalau itu artinya apa, Mas?" tanyaku lagi.

Ia tak langsung menjawab, Mas Arif justru terlihat berpikir sejenak sebelum memberikanku jawabannya. "Aku gak ingat, Lan. Tulisan di bagian mana itu?"

"Ih, ada di ujung tasnya."

"Yang mana sih? Aku gak ingat."

"Ya udah, lupakan aja deh," balasku kesal. Aku mengalihkan tatapanku yang semula menatap Mas Arif menuju sebuah lemari kayu yang tak jauh dari kami. Mas Arif tertawa terbahak-bahak melihatku yang kesal atas jawabannya tadi.

"Astaga, Lana ..... Aku hanya bercanda. Tas itu milik salah satu kawanku, M1928 artinya Merdeka1928. Sudah ya, jangan merajuk seperti itu." Mas Arif mengelus-elus kepalaku, masih dengan tawa kecilnya.

"Oh ... aku gak merajuk, tuh," ucapku.

"Hmm ... serius?"

"Iya, Mas. Duarius deh," jawabku sambil terkekeh.

Aku kemudian duduk di kursi yang tak jauh dari meja pribadi Mas Arif. Melihat Mas Arif yang tengah disibukkan oleh berkas-berkas di mejanya membuatku teringat dengan rutinitas malamku. Aku biasa membaca ulang materi pelajaran yang aku dapat dari sekolah sebelum tidur. Keadaan meja belajarku saat melakukan rutinitas malam itu benar-benar sama seperti keadaan meja pribadi Mas Arif saat ini.

Berantakan!

Sepertinya aku sudah mulai diserang oleh rasa kantuk. Aku menguap, hal itu membuat Mas Arif menengok ke arahku. "Kamu ngantuk, Lan? Kalau ngantuk ke kamar aja. Ada Ibu kan di kamar?"

"Gak ngantuk kok, Mas." Aku berbohong padanya. Sebenarnya aku masih ingin melihat Mas Arif lebih lama lagi, entah mengapa melihat wajahnya yang manis itu bagaikan candu untukku. Mas Arif hanya mengangguk setelah mendengar jawabanku, ia lalu kembali fokus dengan berkas-berkas yang ada di mejanya.

Keinginanku untuk melihat Mas Arif lebih lama lagi rupanya kalah bertarung dengan rasa kantuk yang menyerangku. Aku tertidur di kursi. Sebuah tangan menahan tubuhku dan mengangkatnya ke kamar. Aku tau pasti, ini adalah tangan Mas Arif. Entahlah, aku sebenarnya merasa tidak enak pada Mas Arif karena ia harus mengangkat tubuhku yang tak ringan ini. Namun, di sisi lain aku juga terlalu malas untuk membuka mataku yang hanya tersisa beberapa watt ini. Tubuhku dibaringkan di atas kasur. Sebelum Mas Arif pergi kembali ke meja pribadinya, aku dapat mendengar ia berbisik lirih.

"Sudah tau mengantuk, tapi malah memilih untuk tetap duduk di kursi. Aduh, Lana ... ada-ada saja kelakuanmu. Selamat malam ya, sudah aku pindahkan kamu ke kasur agar dapat tidur dengan nyenyak. Mimpi indah."

📃📃📃

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now