Biar gue skip bagian dia jadi lupa punya temen setelah jadian, tapi terus terang, lihat Mara kayak dulu tuh bahagia banget.

"Sampai sekarang pun, terakhir kali gue lihat lo dateng ke Duckdown buat jemput Ravel, gue masih merasa rasa lo ke Ravel gak berkurang sedikit pun, jadi gue.... Gak percaya sama apapun yang gue denger dari orang lain sekarang," gue menatapnya dalam. "Gue percaya sama lo, Mar."

Karena seacuh apapun seorang Aquarius, sebesar dan semenyebalkan apapun keputusan yang dia ambil, Aquarius selalu punya alasannya sendiri dan cuma orang-orang terdekat mereka yang bisa mempercayai itu.

"Tapi lo udah gak punya alasan buat percaya sama gue lagi, Rum..," gak tau kenapa ucapannya bikin dada gue sedikit sakit. "Gue gak tau sejak kapan, tapi.... Wawan bikin gue nyaman sama keadaan yang gak nyaman ini."

James Darmawan.

Dia orangnya.

"Tiap gue berantem sama Ravel, capek sama sikapnya, atau bahkan capek sama sikap gue sendiri di hubungan kita, gue selalu bisa cerita itu ke Wawan dan gue ngerasa lega."

"Tapi orang yang bikin lo nyaman belum tentu orang yang lo sayang, Mar," tanpa sadar gue jadi sedikit maksa. Dan gue tau gue salah.

Perasaan bukan sesuatu yang bisa dipaksain, terlebih ketika itu menyangkut perasaan orang.

Tapi gue gak bisa menghentikan diri gue.

"Dia gak cuma bikin gue nyaman... Dia juga bikin gue merasa gak bersalah sama diri gue sendiri, Rum," Mara berucap balik, membungkam gue. "Gue selalu ngerasa salah.. Kayak gak ada yang bener di diri gue selama gue jadian sama Ravel. Awalnya gue pikir, ya udah ini perasaan insecure biasa untuk punya cowok kayak dia. Tapi belakangan... Rasa bersalah gue jadi makin besar, dan nyata banget."

Gue sedih.

Sedih karena gue gak mau denger Mara ngomong begitu, dan sedih karena semua yang dia omongin bener.

"Selama ini gue selalu tanya sama diri sendiri.... Apa yang bikin gue gak pernah pengen putus dari Ravel? Apa yang selama ini bikin gue mati-matian pengen bertahan sama dia, padahal gue udah capek banget dan ngerasa jalan kita beda. Gue pikir jawabannya... Karena gue sayang sama dia. Tapi ternyata."

Ada jeda untuk Mara menarik napas.

"Karena gue belum siap, Rum.. Kehilangan sosok Ravel yang selama ini orang lain lihat selalu ada di samping gue." senyum Mara pahit. "Ravel.... Cewek mana sih yang gak mau punya cowok kayak dia? Ganteng, kaya... Punya semuanya. Dulu gue selalu mikir mustahil bisa jadi ceweknya. Gue berusaha keras untuk jadi apa yang dia mau, gue selalu berusaha untuk gak kecewain dia, dan meskipun rasanya udah berlebihan.. Gue masih ngerasa kurang, Rum.. Gue selalu takut kehilangan dia, dan sesungguhnya, perasaan kayak gitu capek banget."

Dan entah kenapa, gue jadi semakin sedih.

Sedih mikirin Ravel.

"Is it my feelings? Is it my pride? Gue gak tau. Tapi gue cuma gak mau lanjutin ini lagi. Gue capek, Rum.. Buat gak jadi diri gue sendiri."

Alasan itu, selalu jadi alasan yang dipakai banyak orang ketika mereka memilih pilihan putus.

Karena gue gak bisa jadi diri gue sendiri waktu sama mereka.

Karena gue capek.

Karena gue gak mau hidup kayak gini lagi.

Dan sebagian dari diri gue bertanya,

When it comes to love, why do people still think out loud about themselves?

Why do they think about saving themselves when love is supposed to be a long fight to hold the hands of us and our lovers, all together to get through this?

Layak DiingatWhere stories live. Discover now