1. Satu ... Dua ... Lari!

Start from the beginning
                                    

Sebuah derap langkah terdengar, Mas Arif memasang wajah was-wasnya. Dalam hitungan tiga detik, tanganku kembali ditarik olehnya. Kami berlari memutari gereja ini, dan dapat aku dengar derap langkah seseorang tengah mengikuti kami.

"Mas! Itu siapa yang mengejar kita?" ucapku sambil berlari.

"Nanti aku jelaskan, sekarang kita lari dulu!"

Masih dengan posisi tangan yang ditarik olehnya, aku memaksakan kakiku untuk berlari lebih cepat. Nafasku mulai terengah-engah akibat berlari.

Kami berhenti berlari ketika telah sampai di halaman sebuah rumah kecil. Mas Arif mengajakku masuk ke dalam rumah yang menurutku lebih terlihat seperti gubuk tua.

"Lana, ini rumahku," kata Mas Arif sembari menaruh berkas-berkas yang ia pegang tadi di atas sebuah meja.

Oke, aku menarik kata-kataku kembali. Rumah ini tidak terlihat seperti sebuah gubuk tua. Rumah ini hanya terlihat sederhana, ya sangat sederhana.

"Kamu mau minum apa?" tanya Mas Arif.

"Air mineral saja," jawabku sambil melihat-lihat isi rumah ini.

Jujur, aku masih tidak mengerti dengan situasi ini. Apa aku baru saja mengalami time travel? Jika iya, itu berarti sekarang aku benar-benar terlempar ke tahun 1928?

Lamunanku buyar saat Mas Arif menaruh segelas air mineral di hadapanku. Ia tersenyum manis dengan tatapan teduhnya. "Ini, diminum ya," katanya.

Aku meraih gelas yang ada di hadapanku itu, kemudian meneguknya. Air ini terasa sedikit berbeda dengan air mineral yang biasa aku minum.

"Kenapa?" Mas Arif bertanya sambil menatapku. Mungkin ia sadar kalau aku baru saja membuat raut wajah yang sedikit aneh.

"Air ini berbeda dengan air di rumahku."

"Berbeda apanya? Bukankah semua rumah di sini menggunakan air sumur yang dimasak untuk minum?"

Hampir saja aku menyemburkan air ini setelah mendengar ucapan Mas Arif. Pantas saja rasanya berbeda, ini air dari sumur! Ya walaupun seharusnya air ini sudah bersih dan steril karena telah dimasak, tapi tetap saja rasanya aneh bagiku.

"Air di rumahku tidak perlu dimasak," kataku sembari meletakkan gelas itu di atas meja.

"Kamu minum air mentah?!" tanya Mas Arif setengah berteriak.

Aku menyilangkan kedua tanganku. "ENGGAK! Aku minum air dari galon."

"Galon? Apa itu?"

"Hmm ... kamu gak tau galon?"

"Gak, aku gak tau. Galon itu apa?" tanya Mas Arif lagi.

"Galon itu ya galon. Aku gak tau harus menjelaskannya bagaimana."

Mas Arif menatapku bingung, ia lalu menggelengkan kepalanya. "Kamu aneh, dari tadi pembahasaanmu sungguh membuatku bingung. Jangan-jangan kamu ini manusia dari masa depan, ya?!"

Aku membuka mulutku lebar-lebar, gotcha! Tebakannya tepat sasaran! Baru saja aku hendak mengiyakan ucapannya, tetapi Mas Arif kembali melanjutkan ucapannya, "HAHAHA aku bercanda, mana mungkin kamu dari masa depan, kan? Aku hanya asal bicara saja, kok,"

Sialan, padahal aku hampir saja mengiyakan ucapannya tadi. Benar-benar membuatku jantungan saja!

"Rif? Ada tamu?" tanya seorang wanita yang aku perkirakan berusia 50 tahun itu.

"Iya, Bu. Tadi Arif nemu di jalan."

Aku melotot saat Mas Arif berkata demikian. Nemu di jalan? Memangnya aku anak kucing?

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now