Ya, sejak kecil aku sudah terbiasa berbicara dengan menggunakan aku-kamu. Sekadar informasi, waktu aku SMP, aku adalah seorang murid pindahan dari Malang. Lingkunganku semasa kecil di Malang selalu menggunakan aku-kamu untuk berbicara, dan mungkin karena telah terbiasa, aku jadi membawa kebiasaan itu saat aku pindah ke Jakarta.

"Ya udah iya, Lan. Kapan sih gue bisa menang melawan ucapan lo?" kata Gerald.

"Kapan-kapan!" balasku sembari menjulurkan lidah ke arahnya.

Jam pelajaran Biologi merupakan jam pelajaran penutup hari ini. Duh, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan beristirahat di kamarku yang tercinta itu. Namun apa daya, Bu Nelly sudah berpesan kepadaku agar aku mengikuti latihan persiapan upacara Sumpah Pemuda sepulang sekolah, mengingat peranku sebagai pasukan pengibar bendera yang tentunya memerlukan banyak latihan agar tidak terjadi kesalahan saat hari upacara nanti.

Latihan hari ini masih di awali dengan hal-hal dasar seperti latihan kekompakkan kami. Sebagai pasukan pengibar bendera, tentu langkah kaki kami harus berjalan beriringan.

"Dek! Langkah kakinya disamakan dengan hitungannya!" teriak salah satu kakak kelas yang menjadi pelatih kami.

Cih, aku malas sekali mendengarnya. Kenapa sih yang menjadi petugas upacara peringatan hari Sumpah Pemuda tidak anak paskibra saja? Kenapa harus dipilih oleh guru PPKN?

Oh ya, sekadar informasi tambahan, khusus untuk upacara hari Sumpah Pemuda, sekolahku membebaskan seluruh murid untuk menjadi petugas upacara jika mereka memang berminat, jadi tidak hanya anak paskibra saja yang bisa menjadi petugas upacara di hari Sumpah Pemuda. Tetapi terkadang, ada juga yang menjadi petugas upacara melalui titah dari para guru, ya contohnya seperti aku.

Setelah hampir dua jam berlatih di tengah lapangan, akhirnya selesai juga latihan ini. Aku langsung berlari menuju tempat dimana aku menaruh tasku, kemudian mengambil botol minum yang ku bawa dari rumah dan meneguk air di dalamnya. Rasanya nikmat sekali saat air itu mengalir di dalam kerongkonganku.

"Eh, Lan! Kok kamu belum pulang?" ucap Andin, salah satu teman dekatku.

"Habis latihan upacara! Males banget nih, padahal aku kan mau cepat-cepat rebahan di kasur!" keluhku pada Andin.

Andin terkejut mendengar ucapanku. "Loh kamu jadi petugas upacara? Ku kira kamu udah pensiun jadi petugas?"

Aku mengangguk. "Iya, disuruh Bu Nelly."

"Oh, Bu Nelly .... By the way, aku balik duluan, ya!" kata Andin sambil melambaikan tangannya ke arahku.

"Eh tunggu! Bareng dong! Aku udah selesai kok latihannya."

Temanku yang satu itu menelan ludahnya. Ia terlihat bimbang menatap ke arahku. "Duh, Lan, bukannya aku gak mau pulang bareng kamu, tapi aku pulang diantar sama temanku."

Aku membulatkan mulutku. "Oh ... bareng si itu, ya?"

"Iya, sama si itu. Aku pulang duluan ya, Lan!" Andin menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan ke arah parkiran.

Dapat aku lihat dari tempatku berdiri, Andin berjalan menghampiri sesosok remaja laki-laki yang merupakan teman sekelasku, yaitu Bagas.

Ah, sejak Bagas putus dengan mantannya yang anak IPS itu, Andin jadi lebih sering pulang bersama Bagas. Padahal dulu, Andin selalu pulang bersamaku karena kebetulan rumah kami satu arah. Tapi biarlah, toh aku masih bisa menggunakan ojek online untuk pulang ke rumah.

Aku berdiri di depan gerbang sekolah sembari mengipas-ngipaskan tanganku. Keringat yang bercucuran di tubuhku sungguh membuatku risih. Seragam sekolahku jadi terasa lengket saat menyentuh kulitku. Untung saja ojek yang kupesan telah sampai, jadi buru-buru aku berjalan ke arah ojek online itu, dan pergi meninggalkan area sekolah menuju rumah.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin