Part 1

230K 2.7K 109
                                    

Gadis itu terdiam dan hanya menunduk, ketika keluarganya sedang membicarakan masa depannya tanpa bertanya apa pendapatnya. Memang rasanya tak perlu. Hatinya sudah membumbung bahagia kala tau apa yang akan menjadi topik musyawarah kali ini. Pernikahannya dengan suami dari almarhumah kakaknya.

Memang, tak sepantasnya dia berbahagia, seolah dia begitu ingin kakaknya meregang nyawa atas proses kelahiran anak mereka dua bulan lalu. Anak lelaki yang kini seperti anaknya sendiri.

"Gimana menurutmu, Gas? Bapak sama Ibu menyarankan ini, karena Bapak sama Ibu sayang sama kamu. Bapak sama Ibu masih tetap ingin kamu jadi bagian keluarga kami. Biar Setya juga ada yang ngurus, tanpa dijauhin dari Bapaknya."

Bagas terdiam cukup lama, sebelum dia menghela nafas dan menatap langsung ke mata Pak Dahlan. "Bagas ngerti, Pak. Tapi Bagas akan tetap jadi anak Bapak, walau Nissa udah gak ada. Karena Bagas juga sayang sama Bapak dan Ibu."

"Nah, karena itu, menikahkah dengan Nila. Bapak tau kamu pasti masih sedih atas kepergian Nissa. Tapi Bapak pengen kamu ada yang ngurusin. Setya ada yang ngurusin. Dan rasanya Nila yang paling cocok. Kamu tau kan, Setya udah kaya anak Nila sendiri."

"Tapi Bagas bisa ngurus diri Bagas sendiri, Pak,"

"Tapi kamu gak bisa ngurus diri kamu sekalian kamu ngurus Setya 'kan? Nila gak keberatan, Gas. Nila tau ini yang paling baik buat Setya."

Nila mengangkat pandangannya, yang tepat saat itu Bagas juga tengah menatapnya. Mata segelap malam itu yang telah membuatnya tersesat pada pandangan pertama. Rambut hitam bergelombangnya selalu tertata apik. Hidung mancungnya berpadu pas dengan bibir tipis yang selalu berwarna merah nyaris tak pernah tersentuh nikotin. Dan dagunya, selalu di bayangi bakal janggut kehijauan. Lelaki itu sempurna baginya.

Nila memberikan senyuman canggung sebelum kembali menunduk.

"Bagas gak tau, Pak," Bagas kembali menoleh kepada Pak Dahlan. "Tapi...,"

"Terimalah, gas," kali ini Ibu Rahmi yang membuka mulut. Dia meraih tangan Bagas dan menggenggamnya erat. "Ibu kepengen tetap bisa jadi seorang Ibu buat kamu. Tapi tanpa Nissa, rasanya itu akan sulit. Apa lagi kalau sampai kamu ketemu dan nikah sama wanita lain. Ibu rasanya gak rela."

Cukup lama Bagas menatap mata Ibu mertuanya. Baginya yang sudah tak punya Ibu, Ibu mertunya sudah benar-benar menjadi Ibu baginya. Dan rasanya seperti durhaka, jika dia menolak permintaan wanita tua yang di binar matanya menunjukan permohonan yang amat sangat. Dia mengalihkan pandangannya pada Nila.

"Nila yakin mau menikah sama Abang? Nila bisa nerima kekurangan Abang?"

"Insyaallah, Bang, Nila bisa nerima."

Bagas mengambil nafas dalam. "Kalau begitu, baiklah, Pak, Bagas akan nikahin Nila."

Nila mengangkat kepalanya terkejut. Hatinya berdebar keras. Dia fikir, cintanya selama ini hanya akan tersimpan dalam relung hatinya terdalam. Cinta yang akan menenggelamkannya dalam lumpur kenistaan karena lelaki yang dia cintai adalah suami kakaknya. Walau Demi Tuhan, tak sekalipun setelah kakanya menikah, Nila membenci mereka karena setiap kali berkunjung ke rumah orang tuanya selalu memamerkan kemesraan yang membuatnya iri. Tak sekali pun. Dan nampaknya, Tuhan memberinya kesempatan. Tak urung, hatinya bahagia.

***

Semua berjalan dengan cepat, tak lebih dari sebulan, pernikahan itu sudah terlaksana. Tak ada pesta mewah memang, hanya Ijab Qobul yang dilakukan di Kantor Urusan Agama. Tapi bagi Nila itu cukup. Cukup untuk memiliki lelaki yang ia cintai. Dan mereka langsung menempati rumah Bagas, setelah semuanya beres.

Dia memanut dirinya di cermin, setelah mandi dan membereskan segala make up yang menempel tadi. Kamarnya yang baru. Tak ada hiasan apapun yang menandakan jika itu kamar pengantin baru. Bahkan, setiap perabot yang ada, adalah perabot yang dulu di beli Bagas untuk Nissa, termasuk ranjangnya. Tapi lagi-lagi, bagi Nila itu tak masalah. Dia sudah cukup bahagia untuk memikirkan hal remeh temeh seperti itu. Bahagia.... sampai pada akhirnya, Nila menyadari jika malam itu, malam pertama mereka, Bagas tak pernah masuk kedalam kamar mereka. Tak pernah, bahakan hanya untuk mengecek Nila sudah terlelap atau belum, karena nyatanya Nila terjaga sampai pagi.

Malam Pertama Untuk Nila (E-book Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang