OUR SERENDIPITY 01

Start from the beginning
                                    

Tirai disibak semakin lebar, sinar matahari merambat masuk membentuk garis-garis cahaya pada karpet persia di bawah kaki. "Virgin, i see..." Jeno berkomentar tidak tertarik. "Mereka membosankan."

"Lihat dulu, baru kau menilai!" Nada suara meninggi, Yunho terpaksa melanggar janji yang baru saja ia buat dalam hati. Bisa dipastikan daftar temu pasien milik Kim Doyoung bakal terisi oleh namanya sendiri esok hari. "Keluarga besar mereka sudah mau meluangkan waktu untuk bertemu denganmu di sela kunjungan mereka ke Seoul. Tidak bisakah kau memenuhi keinginanku sekali ini?"

Jeno mendengus. "Apakah sekali saja aku pernah tidak memenuhi keinginan ayah?" Biar saja jika Yunho berniat mencoret nama Jeno dari daftar ahli waris utama. Membuat murka Yunho adalah keahlian nomor satu miliknya.

Hela napas diembus putus asa. "Terserah." Itu adalah kata final Yunho jika otaknya sudah buntu menghadapi tingkah Jeno. "Kau datang atau tidak, terserah."

Sambungan telepon langsung diputus sepihak dan Jeno hanya tersenyum lagi. Dia menggenggam ponsel dan kembali menatap pemandangan di luar jendela.

Benar 'kan? Tsundere...

"Siapa?"

Pertanyaan dengan suara setengah mengantuk itu membuyarkan fokus Jeno.

"Kau tahu siapa."

"Oh, tentu." Pemuda manis di atas ranjang menguap malas. Dia bangun dengan susah payah, meregangkan kedua tangan ke udara, dan sibuk berkeluh kesah tentang bokongnya yang seperti mati rasa. "Kau tahu, kurasa ini adalah saatnya bagimu untuk menyerah. Turuti saja keinginan ayahmu agar segala terornya berhenti." Pemuda berwajah molek itu bicara sambil meraih ponsel dari saku celana yang berserak di dekat kaki ranjang. "Lagipula, aku tidak bisa mengimbangimu..." Yang Jeongin bergumam ngeri saat membayangkan kembali 'keganasan' Jeno tadi malam. "Aku akan minta rujuk pada Hyunjin-hyung, dan menjelaskan kalau semua hanyalah salah paham..." dengan cekatan, ia menggeser layar ponsel untuk menemukan nomor kontak sang 'mantan' pacar. Teriakan girang bergaung ketika chat penuh emotikon dibalas sebaris kalimat dingin yang menyuruhnya untuk lekas pulang.

Jeno hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Jeongin. "Kau berpikir kalau aku mesti menuruti keinginan ayahku, begitu?"

"Tuan muda Lee," katanya sambil bergurau. "Orangtua hanya ingin yang terbaik bagi anak mereka. Walau terlihat binal, tapi aku tetap menghormati ayah ibuku..." Jeongin mendongak dengan senyum tulus di wajah. "Kalaupun terus ikut campur, setidaknya itu tanda jika mereka masih peduli pada kita. Uhm, anggap saja itu sebagai sebuah karunia."

"Sebuah karunia?" Jeno berjalan mendekati ranjang, ponsel diletakkan asal di atas meja. Tubuh bak adonis itu hanya terbalut boxer brief hitam yang mencetak jelas aset besar di baliknya. "Pandai sekali kau bicara..." Setelah mengacak gemas rambut kusut Jeongin (yang dibalas rajuk manja dan bibir mengerucut), langkah-langkah santai ia tempuh menuju toilet. "Ah ya. Nanti jangan lupa sampaikan salamku untuk Hyunjin."

Wajah Jeongin keruh, awan-awan hitam seakan membayangi di atas kepala. "Tidak mau! Hyunjin-hyung malah akan membunuhku jika namamu sampai kusebut!"

Kekeh pelan mengudara, Jeno berhenti hanya untuk menawarkan sebuah ide sebelum 'teman satu ranjangnya' itu angkat kaki dari sini. Karena ia tahu, tidak akan pernah ada kata lain kali bagi mereka. Jeongin akan kembali pada kehidupannya semula, begitupun Jeno; ia bakal menjalani rutinitas di bawah langit Seoul seperti biasa. "Bagaimana kalau sepiring pancake madu dengan tumpukan es krim vanilla, kau tentu mau 'kan?"

Melihat sosok Jeno yang terlalu sempurna, nyaris membuat Jeongin kembali gelap mata. Tidak seorangpun dapat menolak pesona sang Lee muda—dan baru saja dia mengiyakan tawaran itu dengan wajah bersemu, juga seruan kelewat gembira. Tapi tentu saja Jeongin mengerti batasan di antara mereka.

Our SerendipityWhere stories live. Discover now