Basketball Game - 2

Start from the beginning
                                    

Laisa berdeham. "Memang rumah lo di mana?"

"Perumahan Billy Moon," jawabnya langsung. "Lo?"

"Kompleks Angkatan Darat sebelum Billy Moon."

Semudah itu, mereka tertawa. Kecanggungan yang sebelumnya melingkupi sedikit berkurang karena tawa itu.

"Benar, kan? Rumah kita searah," kata Rama kemudian. "Jadi, mau bareng gue?"

Laisa menggigit bibir, sungguh ingin berkata 'ya'. Namun, dia tidak ingin terlihat terlalu agresif. Meskipun menyukai Rama, Laisa belum siap memberitahukan hal itu kepada Rama.

"Gue juga naik angkot, sih. Belum punya SIM. Kayaknya enak kalau di jalan ada teman ngobrol." Rama melanjutkan. Wajahnya mulai diselimuti ragu, Laisa pun tidak tega dan langsung mengangguk.

"Lo mau?" tanya Rama dengan mata terbelalak.

Lagi, Laisa hanya mengangguk.

Malam itu, mereka menghabiskan sepanjang perjalanan menuju rumah dengan mengobrol. Laisa tahu Rama memiliki seorang kakak perempuan, keluarganya cukup berada hingga bisa membawanya liburan ke luar kota bahkan ke luar negeri setiap tahun, termasuk hobinya mengoleksi action figure.

"Kakak gue yang suka ngomel, sih, kalau gue beli figure baru," katanya dengan senyum kecil di sudut bibir. "Dia nggak paham kenapa gue rela ngeluarin banyak duit buat benda plastik. Sama kayak gue yang nggak paham kenapa dia kalap pas ada diskon baju."

Laisa tertawa. Sebagai kakak perempuan yang memiliki adik dengan beda usia satu dekade, Laisa jelas tidak memiliki pengalaman semacam itu. Adiknya masih terlalu kecil untuk peduli pada urusannya. Rasanya menyenangkan mendengar cerita kakak beradik semacam itu dari Rama. Atau memang Laisa hanya senang mendengar suara Rama.

"Lo yakin mau nganterin gue sampai rumah?" tanya Laisa begitu Rama ikut turun dari angkutan umum berwarna biru yang mereka tumpangi. "Jaraknya lumayan jauh kalau jalan kaki, sekitar sepuluh menit."

Dengan senyum tipis, Rama menjawab, "Gue masih mau ngobrol sama lo."

Pipi Laisa bersemu kemerahan. Akhirnya mereka berjalan menuju rumah Laisa yang berada di blok K. Gadis itu tidak bercanda ketika berkata jaraknya cukup jauh, tetapi tidak terdengar keluhan dari pemuda jangkung di sisinya. Padahal Laisa yakin setelah pertandingan tadi Rama lelah. Mereka lanjutkan obrolan dan kali ini giliran Rama menanyai Laisa.

"Lo punya adik?" ulang Rama. "Nggak kelihatan. Gue pikir lo anak tunggal."

Laisa tertawa. "Nyaris, sih, tapi ternyata dikasih hadiah adik cewek yang beda sepuluh tahun dari gue."

Rama mengangguk-angguk. "Terus, bokap lo tentara?"

Laisa pun menceritakan keluarganya. Tentang Papa yang selalu sibuk dan Mama yang tidak kalah sibuk. Tidak ada yang istimewa dari cerita Laisa, tetapi Rama sangat tertarik.

"Nah, ini rumah gue," kata Laisa begitu mereka sampai di depan rumah bercat putih dengan pagar hitam.

"K 72," gumam Rama ketika melihat nomor rumah. "Oke, kalau gitu gue balik, ya."

Laisa mengangguk. Meski ingin menawari Rama masuk, dia tahu Papa tidak akan setuju jika ada teman laki-laki yang bertamu pada malam hari.

"Hati-hati. Makasih sudah nganterin gue pulang," sahut Laisa pelan.

Rama tersenyum dan membalikkan tubuh. Baru beberapa langkah berjalan, dia kembali menghadap Laisa.

"Besok ... boleh gue nganterin lo lagi?" tanyanya ragu.

Kali ini, tanpa perlu berpikir panjang Laisa mengangguk.

Rutinitas pulang bersama itu pun membuat Laisa dan Rama semakin dekat. Bohong jika Laisa berkata dia tidak senang. Nyatanya, pulang sekolah menjadi satu-satunya hal yang paling gadis itu tunggu setiap hari. Bahkan ketika hari libur datang, Laisa akan menghabiskannya dengan menunggu hingga waktunya sekolah tiba. Sehebat itu pengaruh Rama di hidup Laisa.

"Lo sekarang ngetop, lho." Tio berkata setelah guru matematika ke luar dari kelas. "Kemarin pas gue nongkrong di kantin, nggak sekali dua kali gue dengar nama lo disebut."

"Serius?" tanya Laisa kaget. "Kenapa?"

"Ya, gara-gara lo pedekate sama si Rama," jawab Tio. "Dia kan lagi naik daun di sekolah ini. Apalagi kalau sampai menang di final nanti, beneran dikejar fans tuh anak. Tapi berita bagusnya, lo nggak kebanting banget kalau ada di samping Rama. Seenggaknya lo anak cheers gitu, biarpun nggak terkenal. Not bad-lah. Daripada bukan anak cheers, lo bisa habis dijambak fans-nya Rama."

"Eh, sialan," maki Laisa langsung.

Tio tergelak. "Gue ngomong serius ini, La. Pokoknya hati-hati sama fans-nya Rama. Nanti kalau sudah jadian jangan sombong juga sama gue."

"Apa sih, Yo?" tukas Laisa dengan wajah merona. "Nggak ada apa-apa, kok, antara gue dan Rama. Kebetulan aja rumahnya searah."

Menggeleng, Tio masih menyunggingkan senyum menggoda. "Sangkal aja terus. Nanti kalau bener jadian, gue mau minta pajak jadian yang mahal."

"Mimpi aja terus lo," sahut Laisa dengan tawa ringan.

Namun, sore itu, di akhir pertandingan final basket se-Jakarta, Laisa harus menarik kata-katanya. Sebab apa yang dikatakan Tio menjadi nyata. Setelah peluit panjang berbunyi, dengan kemenangan mutlak di sekolah Laisa, Rama berlari menghampiri Laisa. Dia langsung memeluk Laisa dan mengangkat tubuh gadis itu. Tawanya terdengar bebas dan lepas, sementara Laisa harus menahan jerit, terlebih ketika Rama memutar tubuh mereka.

"Cieee!"

"Rama! Woi! Main nyosor aja lo!"

Masih dengan tawa berderai, Rama menurunkan tubuh Laisa, meski kedua tangannya tetap terkunci di belakang punggung gadis itu.

"Jadi cewek gue, ya, La?"

Pertanyaannya itu tidak diteriakkan, tetapi entah bagaimana semua orang di sekitar mereka bisa mendengar. Segera saja kor menggoda memenuhi lapangan, menyeruak di antara perayaan kemenangan.

"Terima! Terima! Terima!"

Laisa tidak tahu seperti apa ekspresinya saat itu, karena seluruh perhatiannya tertuju pada Rama. Bahkan dengan peluh membasahi wajah, Laisa tetap merasa Rama pemuda paling tampan yang pernah dia lihat. Jantungnya berdetak cepat. Gadis itu juga mulai merasa kesulitan bernapas.

"La?" panggil Rama.

Wajah ragu Rama membuat senyum Laisa mengembang. Sekali lagi, Laisa berikan anggukan untuk tanya dari Rama. Rama menyambut jawaban itu dengan senyumnya. Hari itu Laisa sama sekali tidak tahu, satu anggukan darinya membawa banyak hari-hari penuh warna yang tidak akan sanggup dilupakan seumur hidup.

Karena Laisa menemukan cinta pertamanya, yang bahkan terus mengisi hatinya hingga bertahun-tahun kemudian. [ ]

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now