Setelah makan malam, Aku masuk kedalam kamar dan duduk dikursi dekat meja belajar. Kembali air mata ini menetes mengingat kejadian sebelumnya.

"Nduk yang sabar ya," ucap bude yang mengagetkan ku.

"Loh sejak kapan Bude ada disini,?" tanyaku bingung kemudian mengusap air mata yang sudah terserap dikain niqobku.

"Sudah dari tadi, Nduk. Waktu kamu masuk terus Bude berjalan dibelakang kamu. Bude udah tau Nduk tentang semua yang kamu alami. Dulu Bude juga mau dijodohkan oleh orang tua Bude, tetapi Pakde mu terus berjuang sampai akhirnya orang tua Bude merestui dan kami menikah," ucap Bude.

Aku berdiri dan memeluk tubuh Bude. Tangisku pecah, tak perduli tetangga mau dengar atau tidak.

"Udah sabar, Nduk. Nanti pasti dapet gantinya," ucap Bude menenangkan ku.

Tangisku mulai reda. Kini hatiku mulai tenang karna tangis yang Aku tahan sudah ku luapkan. Kemudian Aku membuka mata kemudian melihat kearah pintu. Betapa terkejutnya Aku, ternyata Pakde, Ibu dan Bapak menonton ku menangis. Sungguh sangat malu tapi biarlah yang terpenting perasaanku mulai tenang.

"Kamu istirahat dulu ya, Nduk. Bude mau keluar dulu," ucap Bude kemudian mencium keningku.

Aku hanya terdiam dan melihat Bude melangkah keluar kamar dan kemudian menutup pintu. Ku tidurkan tubuhku yang mulai lelah ini diatas kasur. Perlahan dan perlahan mata ini mulai tertutup. Akhirnya Aku tertidur dan masuk kedalam dunia mimpi yang lebih indah dari dunia nyataku.

*****
(AllahuAkbar, AllahuAkbar...)
Tak terasa adzan Subuh berkumandang. Ketika baru membuka mata, pintu sudah diketok.

^tok, tok, tok.

"Iya, udah bangun kok," jawabku.

Kemudian Aku bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kebetulan kamar mandiku berada didalam kamar, jadi nggak harus antri. Sampai dikamar mandi, Aku membuka niqob dan hijab yang masih Aku pakai. Setelah selesai wudhu, Aku melaksanakan sholat Subuh.

*AllahuAkbar...*

*Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,*

*Allahumma Fighfirlii Wa Liwaa Lidhayya Warham Humaa Kamaa Rabbayaa Nii Shaghiraa* aamiin.

Ku bereskan mukenah dan sajadah yang tadi Aku gunakan untuk sholat. Setelah itu Aku menggunakan khimar dan niqobku. Sambil duduk, Aku membuka ponsel ku dan mengaktifkan datanya. Setelah data di aktifkan, banyak notifikasi masuk termasuk pesan. Aku membuka pesan yang masuk. Sampai pada pesan dari Gus Maulana. Tak ku buka pesan tersebut karena Aku ingin belajar untuk mengikhlaskan.

Ntah kenapa Aku penasaran dengan Ning Dina Al-Hafidzah yang belum lama Aku konfir pertemanannya. Aku buka profilnya dan ku baca statusnya. Tepat pada jam 20.00, Ning Fidzah mengirim sebuah foto.

[Bismillah, semoga esok Allah lancarkan urusanku dan acara khitbahku]
[💍]

Deg,
Tak terasa air mata menetes kembali, hari ini hari khitahnya Gus Maulana dan Ning Fidzah.

'Dina harus ikhlas,' batinku kemudian menghapus air mata yang telah jatuh.

Ponselku letakan, Aku mencoba untuk tegar. Tersenyum didepan semua orang. Biarlah ini menjadi cinta dalam diam. Bagaimanapun Aku harus mengikhlaskan karna itulah jalan satu-satunya. Jika Aku tidak ikhlas dari sekarang lalu kapan lagi? Atau menunggu Gus itu menikah? Itu pasti akan lebih sulit.

Aku melangkahkan kaki keluar kamar dan menuju dapur. Kedatanganku disambut hangat oleh Ibu dan Bude ku yang sedang memasak. Ku lukis senyum yang indah di bibir seolah-olah Aku sudah lupa dengan kejadian kemarin. Cukup tangisku didalam kamar, jangan diluar kamar.

'Semoga bahagia, Gus,' batinku.

"Sini Dina bantu. Mau masak apa, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Kita masak sayur asem, lele goreng dan sambal terasi ya Nduk," ucap Ibu.

'Masakan yang Aku masak di Ndalem dan Aku nggak mau mengingat hal itu. Memasak untuk hidangan calon istrinya si Gus,'

"Kita masak yang lain aja ya, Bu. Sini Dina aja yang masak. Bude sama Ibu duduk aja ya," ucapku lalu mengambil alih.

Tak butuh waktu lama, Aku sudah selesai masak. Kini ikan lele yang tadinya cuman digoreng saja kali ini Aku masak santan dan sayur-sayur Aku campur bersama ikan lele. Ntah soal rasa Aku tidak tau, yang terpenting tidak berwujud sayur asem dan lele goreng.

"Wah Nduk Dina pinter masak ya ternyata," puji Bude.

"Hehe, kalo kepepet aja Bude," jawabku.

"Yaudah Ibu panggil Bapak dan Pakde dulu ya, Ndo. Terus kita sarapan bareng," ucap Ibu kemudian memanggil Bapak dan Pakde.

Setelah selesai sarapan, Aku bersiap-siap untuk menuju sekolah. Hari ini Aku berbeda karen Aku sudah memutuskan untuk istiqomah berniqob.

"Nduk Dina sekolah pakek niqob juga?" tanya Bude.

"Sebenernya nggak sih Bude, cuman tekad Dina udah bulet pengen istiqomah dan nggak mau ngelepas lagi," ucapku mantap.

Mereka semua tersenyum. Kemudian Aku mencium punggung tangan Pakde, Bude dan Ibu. Sedangkan Bapak mengantarku sampai di sekolahan.

Sesuatu perubahan membuatku lebih mencolok dari yang lain. Pertama datang kesekolahan ini, khimarku lah yang paling besar dan sekarang Aku sendirilah yang menggunakan niqob. Banyak pasang mata melihatku mulai dari masuk gerbang sekolah sampai di parkir motor. Aku turun dari motor dan mencium punggung tangan Bapak ku.

"Bapak hati-hati ya," ucapku. Padahal mah biasanya nggak kaya gini, tapi kali ini Aku ingin hijrah bener-bener hijrah sesungguhnya. Hijrah karena-Nya bukan karena hamba-Nya.

Ku langkahkan kaki menuju kelas. Tak hanya murid saja yang memperhatikanku, bahkan para gurupun memperhatikanku. Aku tetap melangkah dan sampailah didalam kelas.

Tak berani keluar kelas. Bukan karna takut, melainkan Aku nggak mau jadi pusat perhatian. Satu persatu teman-temanku datang. Mereka semua terkejut akan perubahanku. Sudah bisa Aku tebak, mereka pasti Akan bertanya "ini Dina bukan sih?"
dan itu benar.

"Dina ya? Kok berubah?" tanya Atun bingung.

"Dina bukan sih?" tanya Nia.

"Weh Dina ya? Kok jadi ninja?" Tanya Febri.

Aku hanya menganggukan kepala yang berarti menjawab iya. Mereka semua memeluku bahagia atas perubahanku. Mereka memang teman terbaik ku.

"Stop!" tiba-tiba Febri memberhentikan pelukan.

"Kenapa?" tanya Atun bingung.

"Dina habis nangis ya? Kok bengep matanya," tanya Febri.

"Ng-nggak kok. Ini karna kurang tidur," jawabku gugup.

"Nanti pulang sekolah tidur sampai puas ya, Dina," ucap Atun.

Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah laku teman-temanku. Setidaknya ini dapat mengurangi rasa sedih di hati. Teman yang baik itupun rezeki.

Bersambung...

Cinta Dalam DiamWhere stories live. Discover now