2

8.9K 343 5
                                    

Tiga hari sejak kejadian itu, Burhan tiba-tiba menghilang. Aku mencarinya ke beberapa tempat pemancingan juga pinggiran kali, tapi hasilnya nihil.

Sosoknya tidak terlihat dan setiap aku bertanya pada kenalannya, mereka malas untuk menjawab. Aku yakin adikku itu sering menyusahkan orang lain. Dari hutang uang hingga sering menggoda istri orang. Perangai busuknya tidak perlu dipertanyakan lagi. Entah karena salah didikan atau memang sifat bawaan. Di titik penghabisan, aku mulai muak mengurus hidupnya. Burhan sudah terlalu tua untuk diberi perhatian.
Sekarang gara-gara dia, tugasku di kantor desa terbengkalai. Padahal masih banyak tumpukan dokumen yang harus kulaporkan ke kecamatan.

Keberadaanku bukan salah tempat, tapi seminggu lalu, kepala desa meninggal karena diabetes. Sedang wakilnya sama sekali tidak bisa diandalkan. Inilah alasan kenapa aku sering bolak-balik sampai malam. Setidaknya aku harus menunggu sampai keputusan dari pemerintah pusat diterbitkan.
....

“Ini berkas terakhir, bu.” Pak Rudi, si sekretaris desa meletakkan beberapa map ke atas meja kerjaku. Hari ini tidak begitu sibuk.

Beberapa kali Mas Kasman, suamiku menelepon untuk tidak khawatir tentang Burhan. Toh, memang ini bukan pertama kalinya. Tapi, aneh saja. Burhan tidak pernah sekalipun pergi tanpa uang. ATMnya sudah lama kosong dan tak ada perhiasanku yang hilang.

“Pak Rudi, boleh minta waktunya sebentar?” tanyaku menahan kepergian pria yang rambutnya penuh uban itu. Ia menoleh, memicingkan matanya agar melihatku lebih jelas. Kudengar ia menderita katarak tahap awal. Belum parah, tapi diagnosis itu sering berujung operasi.

“Begini, pak. Ini tentang Mbah Juminten.”
Wajah datar Pak Rudi sedikit berubah. Ia mengangkat wajahnya lalu menatapku heran.

“Ada apa memangnya dengan Mbah Juminten? Bukannya beliau tetangga ibu?”

Aku meringis malu, merasa aneh sendiri dengan hal itu,“ Memang, tapi lepas SMP, saya sempat ikut saudara ke Jakarta untuk sekolah. Lima tahun setelah kepergian ibu, barulah saya pulang dan menikah.”

Pak Rudi mengangguk-angguk kemudian, ia tanpa disuruh duduk. Menatap jendela penuh debu di belakang bayanganku. Belakangan ini mendung. Kadang tengah hari sudah segelap magrib. Perbukitan sunyi yang mengurung desa, sering menyerupai benteng hitam. Menambah suram suasana pinggiran.

“Usia kami terpaut jauh. Dulu saat dia jadi bunga desa, saya masih anak-anak yang belum tahu apa-apa.” Pak Rudi melebarkan pupil matanya, hingga aku yakin, ia benar-benar bermasalah dengan penglihatan. Caranya menatap seakan bicara bahwa ia tidak suka dengan pertanyaan itu. Lama-lama aku tidak nyaman juga.

“Ta-tapi bukannya kalian hampir sebaya? Saya lihat tahun kelahiran...,”
“Mbah Juminten jauh lebih sepuh. Ingatan ibu mungkin samar, tapi saya yakin dia hampir menginjak usia 70,” tekan Pak Rudi tersinggung.

“Apa? Tapi bagaimana mungkin...,” lidahku seakan tergigit. Bingung bagaimana cara membantah. Belakangan, aku mencoba mendoktrin setiap keanehan Mbah Juminten dengan logika. Tapi, sekarang mustahil. Kalau usia mbah Juminten 70 tahun, bagaimana dengan ibu? Keduanya terlihat tidak terpaut jauh dulu. Tunggu, apa aku salah ingat?

“Kebetulan, ini berkas tentang keluarga Mbah Juminten. Beberapa kali dia melakukan pembaharuan. Mengangkat anak lalu memasukkan cucunya juga.” Pak Rudi menarik sebuah map dari sekian tumpukan. Sesaat kemudian, pupilnya kembali membesar. Menunjuk daftar keluarga di kolom C1.

“Jadi selama ini anak angkat Mbah Juminten tidak pernah punya suami? Ba-bagaimana bisa?” gumamku kebingungan. Di desa kecil, aib orang seperti daging paling lezat. Jadi, aneh kalau hal seperti itu mampu disembunyikan. Terlebih untuk tetangga seorang lurah. Desas-desus yang kudengar sungguh berbeda.

Nenek PerawanWhere stories live. Discover now