"Gimana matahari mau ada, ini masih setengah lima, dasar anak setan. Aku ngantuk banget gara-gara kamu. Gak ada faedahnya kita berangkat sepagi ini," oceh Nayyara. Nara memang bisa segalak itu kalau sama Wira, dia sama sekali enggan menjaga image.

Wira mengunyah Chitatonya sembari melejitkan bahu ringan. "Lo bisa tidur kayak orang-orang," katanya sembari menunjuk beberapa penumpang yang sudah telelap, mungkin karena ini kereta ke Surabaya paling pagi jadi banyak yang kurang tidur.

"Sebenarnya, aku biasa tidur kalau dekat jendela. Kan bisa sandaran ke dinding. Tapi kalau di sebelah sini, takut nyungsep―"

"―Ya sudah sandaran ke gue aja," potong Wira. Dia menampilkan senyum jahil ke Nara. "Apa pun alasannya gue mau duduk dekat jendela biar bisa lihat sawah sama sungai."

"Ngapain kamu lihat sungai? Hm, mau ngintipin orang mandi ya," Nara bercelatuk, dia mulai memejamkan mata. Masa bodoh kalau dia nanti nyungsep pas tidur, Nara super mengantuk.

Wira meraih Nara membuat kepala perempuan itu bersandar di bahunya. "Uda tidur aja, daripada ngoceh terus," katanya sambil menepuk kepala Nara yang lantas membuat surai si gadis kejatuhan remah keripik yang Wira makan.

Nara cemberut tapi dia menurut, membiarkan Wira melamun tanpa interupsi darinya. Wira menikmati perjalanan ini, salah satu alasannya adalah keberadaan Nayyara di sampingnya. Selalu menyenangkan jika ada Nara. Wira mulai memahami alasan Javas tidak dapat melepaskan gadis ini. Seolah Nara ada kekuatan magis yang bisa dengan mudah memikat pria mana pun.

Alasan yang lainnya, Wira belum pernah naik kereta. Mungkin karena jadwalnya dulu terlalu padat, dia sibuk berlatih dan melakukan pertunjukkan. Wira tidak mempunyai waktu yang cukup untuk duduk diam, bersabar kereta berhenti dari satu stasiun ke stasiun selanjutnya, berdesakan, dan berbagi ruang. Apalagi risiko tangan Wira yang berharga bisa terkilir atau semacamnya membuat manajemennya sangat menjaga Wira. Pria itu selalu mendapatkan akses khusus agar tidak harus berada di tengah kerumunan, semuanya memang lebih mudah. Namun, segalanya terasa membosankan. Wira jenuh dengan kehidupan yang monoton di mana segalanya berjalan lancar, dia butuh sesuatu yang membuatnya ingin mencapai sesuatu.

Mungkin, meminjam Nayyara dari Javas tanpa berniat mengembalikan―bisa menjadi sebuah tantangan tersendiri. Pikiran Wira memberikan ide licik serta kekanakan.

Jangan memikirkan hal berat, lo hanya ingin bersenang-senang, Wira. Pria itu memperingatkan dirinya sendiri.

Bukan hanya bersenang-senang, sebenarnya ada satu alasan lagi yang enggan Wira mengakuinya. Perjalanan Wira kini tercetus karena satu nama dari masa lalu yang merekomendasikannya. Joana Violetta, perempuan dari masa lalunya yang terus hadir menjadi kenangan serta mimpi buruk bagi Wira. Violet pernah meminta sesuatu kepada Wira sebelum kecelakaan tragis tersebut terjadi. Violet ingin Wira istirahat sebentar dari kesibukannya di London kemudian menemaninya makan tahu campur di pinggir jalan Kota Surabaya. Salah satu kota yang berkesan bagi Violet sebab eyangnya tinggal di sana. Dulu Wira menolak mentah-mentah karena menurutnya sangat konyol. Bagaimana mungkin Wira yang sibuk setengah mati menyiapkan konsernya rela kembali ke Indonesia―terbang selam puluhan jam demi menyantap tahu campur? Nyatanya, kini Wira bersedia, meskipun sudah sangat terlambat memenuhinya.

Wira sempat menyaksikan matahari terbit selepas kereta melewati stasiun Lawang. Dia kagum dengan area persawahan yang mendapatkan cahaya matahari. Wira jarang menikmati pemandangan luar biasa di pagi hari karena dia bukan jenis manusia yang gemar bangun lebih awal. Ternyata, tidak buruk juga bangun pagi.

[Selesai] Perfectly Imperfect Where stories live. Discover now