1. Faolan Yurray

22 4 2
                                    

Kepada Dewa Pemegang Neraca Maha Adil, kami bersipuh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kepada Dewa Pemegang Neraca Maha Adil, kami bersipuh. Ya ..., kami. Aku dan kembaranku Engkau beri kepercayaan bahwa perbedaan itu adil, untung itu adil, malang itu adil. Kepada Matahari dan Bulan, elang bermata indah itu datang. Dia terbang ketika malam hari dan mengobarkan semangatku di pagi hari. Warnanya pun berubah menjadi biru. Tidak, itu bukan mata elang lagi, itu mata serigala.

***

Aku rasa tidaklah buruk asalkan dengannya, kami bisa bekerja dengan baik. "Fano, kau yakin dia yang baik? Sudah jelas dia yang mencuri, mengapa kau membelanya?" Walau cukup memalukan di tengah pasar seperti ini kami seperti punya pandangan sendiri-sendiri.

"Jangan tergesa-gesa dulu Faol. Di sisi Tenggara dari sini terdapat dataran tandus yang ternyata didiami oleh beberapa orang. Kakek tua ini mencuri karena tidak punya modal yang cukup untuk menghidupi anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka pihak yang tertindas, bukan bapak yang uangnya dicuri ini."

Baiklah, sepertinya tidak dengan baik.

"Kau tahu kan bahwa aku yang bisa melihat kejahatan. Aura kakek ini dan anak-anaknya yang telah memiliki buah hati yang terdeteksi olehku yang beraroma busuk. Aku tidak merasakan kejahatan apapun pada pria paruh baya ini."

"Tunggu dulu, pria itu tidak terlibat kejahatan apa-apa?"

"Kalau begitu berarti hawa ganda. Bapak yang dicuri uangnya ini berarti tidak terlibat kebaikan atau keburukan. Apa pikiran kita sama?" Aku harap kembaranku tidak salah paham menganggap bahwa lelaki usia empat puluhan itu malah tersangkanya, berhubung yang dapat mendeteksi bagian buruk itu aku, bukan bagiannya.

Fano berdiam sebentar sembari memegangi dagunya. Pemuda bersurai hitam gelap ini pun mendekati kakek tua itu. "Permisi Kek, apa kita boleh tahu siapa yang menyuruh kakek berbuat seperti ini?"

Sayangnya kakek itu hanya terdiam. Kembaranku itu pun mengalihkan pandangannya kearahku.

Demi ikan teri dan sayuran setengah segar yang dijual di pasar, aku merasa takut untuk bicara. Orang-orang sedang melihat kearah kami, dua pemuda yang memiliki lambang timbangan di belakang punggung mereka. Pemuda satu memakai pakaian usang kehijauan dengan lukisan timbangan berwarna putih tulang, yang satunya lagi memakai baju warna coklat khaki dengan lukisan timbangan warna biru berlumut yang kotor. Dan bisa diduga, dua pemuda itu adalah kami. Akulah yang bergambar timbangan warna putih.

"Aku tidak bermaksud mempermalukan Anda, maaf." Aku mendekatkan diriku pada saudaraku yang tengah setengah tertunduk, ikut menghampiri si kakek yang tengah terduduk lemas. Kudekatkan bibirku pada telinga Fano dan membisikkan sesuatu, berharap tidak terdengar oleh kerumunan orang-orang di pasar yang kurang kerjaan menonton kami. Kakek ini disuruh mengemis oleh anak perempuannya dan menantunya. Namun, beliau malah memutuskan mencuri. Si Kakek, anak perempuannya, dan menantu lelakinya ... bersalah. Penetapan tersangka telah dibuat.

***

"Hari yang cukup lancar." Meskipun orang-orang masih memperhatikan kami yang tengah membawa roti pokok dan buah-buahan--yang sebagaian adalah uang kami, sebagian lagi adalah hadiah dari tindakan kami tadi. Aku rasa hal yang sia-sia bila orang-orang ini berusaha memastikan bahwa si kembar yang memiliki ketidaksempurnaan jari itu adalah kami. Namaku Faolan Yurray, saudara kembar laki-laki dari sosok pemuda di sampingku yang bernama Fano Yurray. Kami dari dulu memang terkenal, walau bukan sebagai pengabdi masyarakat terbaik, melainkan rumor yang sampai saat ini masih ada sejak kami dilahirkan. Atau bahkan bisa dibilang melekat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 25, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Paid the Price: The Beginning of A Fallen ScaleWhere stories live. Discover now