Melihat reaksi mereka membuatku ingin terbahak. Lucu sekali!

"Alah! Palingan Arisa lagi ngarang!" Bimo si Ketua kelas tiba-tiba ikut nimbrung di dekat mejaku.

"Aku nggak ngarang, kok! Emang beneran ada!" bantahku sambil berusaha meyakinkan. "Yang berdiri di belakang pintu rambutnya panjaaaaang banget! Matanya cuma kelihatan sebelah, dia selalu ngintip luar kelas dari celah pintu. Terus pakaiannya putih tapi bernoda, bagian bawahnya agak sobek-sobek dan kayak kena lumpur. Pokoknya ngeri, deh!"

Melihatku menjelaskan dengan lancar dan percaya diri, orang-orang mulai melihat ke arah pintu, bergidik ngeri.

"A-Arisa, kamu beneran lihat?" tanya teman-temanku lagi, untuk memastikan.

Aku mengangguk yakin, "Iya. Atau perlu aku deskripsiin hantu yang duduk di jendela juga?" tawarku.

"Coba, coba. Gimana?"

Tiba-tiba teman-teman sekelasku yang lain ikutan nimbrung. Mereka duduk di tempat duduk di sekitarku dan tentu saja aku sebagai pusat perhatiannya. Baru kali ini rasanya perkataanku didengar oleh semua orang, itu membuatku sangat bersemangat.

"Kalau yang duduk di jendela, sebenarnya dia muncul kalau sudah mau jam pulang sekolah. Kalau pagi-pagi, jarang banget kelihatan. Kalau yang di jendela, kulitnya pucat dan dia pakai seragam SMA," jelasku.

"Oh iya, katanya dulu kelas ini dipakai anak SMA dulu kan, ya. Hayoloh, Fira."

Mereka mulai meledek Safira yang duduk di dekat jendela itu. Dia juga sering sekali membuka jendela dan menyiram tanaman praktik biologi kami. Safira yang terus menerus dibicarakan pun pada akhirnya menangis, membuat teman-teman sekelas akhirnya sepakat untuk mengosongkan tempat duduk Safira. Dia dipindahkan ke tempat duduk lain.

Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Polos sekali teman-temanku ini.

Sebenarnya aku tidak berbakat mendeskripsikan bentuk-bentuk hantu. Namun aku mendapatkan wangsit dari mimpi di dua malam sebelumnya. Aku bermimpi tentang dua sosok hantu yang kulihat dalam mimpi dan juga letak dimana hantu itu berada. Karena ketakutan, aku bisa mengingat persis wujud dan bentuknya.

Sekarang, keadaan menjadi sangat adil. Bukan hanya aku yang akan ngeri melihat pintu dan jendela kelas, tetapi semua orang yang ada di kelas.

Kupikir keisenganku akan berakhir saat teman-teman sekelasku sengaja memanggil kakak kelasku untuk datang ke kelas. Kak Reza ... yang memang sejak awal dikenal sebagai anak indigo. Namun rupanya jawaban Kak Reza sama sekali di luar ekspektasiku.

"Iya nih, ada hantu di pintu dan jendela. Tapi nggak perlu takut, mereka tidak akan ganggu kalau tidak diusik, kok."

Dan mimpi yang memberiku visi itu ... membuatku ikut berpikir bahwa sebenarnya aku mungkin juga adalah anak indigo.

Sejak saat itu, kehidupanku di sekolah berubah. Teman sekelas memperlakukanku dengan berbeda. Sesekali mereka juga bisa memintaku bercerita tentang hantu di sekitar mereka—tentu saja ujung-ujungnya aku hanya mengarang indah.

Makin lama, kebohonganku membuatku tertekan sendiri. Malam sebelum tidur, aku sengaja membaca cerita horor, berharap memimpikan hantu. Menurutku tidak apa-apa jika hanya perlu menghadapi mereka dalam dunia mimpi, toh tidak ada pengaruhnya dengan kehidupan nyataku.

Lama kelamaan, aku kehabisan ide untuk variasi hantu-hantu. Sudah kucoba mencari inspirasi dari dunia perfilman, tetapi semuanya terlalu klasik untuk dijelaskan lagi dan lagi. Kulit pucat, rambut panjang, bersimbah darah—aku malah ikut muak dengan penjelasanku sendiri.

Nyatanya, aku tidak pernah punya kesempatan untuk bermimpi buruk tentang hantu, itu membuatku putus asa. Egoku terlalu tinggi untuk mengakui bahwa semua yang kukatakan hanyalah kebohongan. Aku tidak ingin dicap penipu dan pengkhayal.

GenreFest 2019: ParanormalUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum