Sesampainya di parkiran aku langsung menghampiri mobilku, membuka pintu belakang, kemudian mendorong tubuh teler Dewa masuk ke dalam. Setelah memastikan Dewa duduk dengan nyaman, barulah aku duduk di kursi kemudi dan melajukan mobil ke apartemen Dewa.

Dua puluh menit kemudian akhirnya aku sampai di apartemen Dewa. Sekali lagi aku mengembuskan napas kasar karena sebal pada bosku itu. Asem! Lagi sekarat aja si bos masih bisa ngerjain orang!

“Mas Dewa pin apartemennya berapa?” tanyaku keempat kalinya.

Pitaloka, berhenti manggil bocah tengik itu, Mas! Lo tiga tahun lebih tua dari dia! Ampun ... gue benci kebiasan ini!

Dewa membuka mata sayunya. “Tanggal lahir saya, Pitaloka.”

“Tanggal lahir Mas Dewa berapa?”

Dewa menatapku sinis. “Kamu nggak tau tanggal lahir saya, Pitaloka?”

Aku menggeleng polos sebagai jawaban tidak. Membuat Dewa berdecih dan kembali meracau tidak jelas. Lha, memangnya sejak kapan cungpret harus tahu tanggal lahir atasannya? Aneh-aneh aja, deh, si bos!

“Mas Dewa tanggal lahirnya berapa?” Sekali lagi aku bertanya.

“Tiga belas Agustus sembilan tiga,” jawabnya tak ikhlas sebelum ia kembali meracau.

Aku memasukkan pin sesuai intruksi Dewa, tapi sialnya pin itu salah. Alhasil pintu besi di depanku ini tak mau terbuka. Ya ampun bos demen banget, sih, ngerjain gue! Kalo aku tidak ingat cicilan mobil yang masih dua tahun lagi, sudah kutinggalkan Dewa di depan apartemen. Lalu aku pulang ke rumah dan bobo cantik di kasurku. Oh my god, aku begitu merindukan kasurku yang keras itu.

“Pinnya salah, Mas,” ujarku kesal.

“Pinnya tanggal lahir saya, Pitaloka.”

“Saya udah masukin pin 130893 tapi salah, Mas Dewa.”

“Pusing,” keluh Dewa.

Kepala gue malah mau pecah. Cuma gara-gara pin apartemen yang lebih susah dari teka-teki silang di koran-koran bos!

“Pinnya tanggal lahir saya, Pitaloka,” racau Dewa sembari memejamkan mata. Sepertinya kepala pria itu benar-benar pening. “Urutin angkanya dari yang terkecil, Pitaloka. Baru pintunya bisa kebuka,” jelasnya lirih.


Aku mengangguk mengerti. “Oke, kalo tanggal lahir Dewa 130893. Diurutin dari yang terkecil berarti: 013389.” Akhirnya pintu besi di depanku ini terbuka, membuatku mengembuskan napas lega. Ya ampun si bos nge-fans sama siapa, sih? Detektif Conan atau Sherlock Holmes? Bikin kode apartemen aja ribet banget!

Dengan sisa tenaga yang kupunya aku memapah Dewa ke sofa ruang tamu, kemudian aku membiarkan pria itu tertidur di sofa yang lebarnya selebar kasur di rumahku yang keras itu.

Sebelum beranjak pergi aku membuka jas yang melingkupi tubuh Dewa terlebih dahulu. Aku juga membuka dasi yang sudah tidak terpasang dengan sempurna di lehernya. Tak lupa aku melepaskan sepatu yang melekat di kakinya.

Baru saja aku hendak melangkah, Dewa menahan lenganku. “Stay here, please,” mohonnya masih terpejam.

Dengan perlahan aku melepaskan cekalan Dewa, tapi pria itu malah semakin mengencangkan pegangannya. “Tetap di sini, Pitaloka. Ini perintah!”

Aku menghela napas pelan, kemudian melihat jam dinding di atas TV. Pukul 01:05 dini hari, mungkin sebaiknya aku memang menginap. Lagian aku dan si bos, kan, nggak ngelakuin esek-esek terlarang, jadi seharusnya aku tak perlu khawatir.

***

Ini gila. Benar-benar gila. Aku masih ingat tadi malam aku tidur dengan kepala tertelungkup di sofa. Lalu bagaimana saat ini aku bisa tertidur di dalam pelukan Dewa dengan lengan pria itu melingkupi pinggang rampingku?

Jantungku berdebar kencang. Bahkan, aku dapat mendengarkan detakannya yang tak beraturan. Aku mengigit bibir bawahku, lalu dengan perlahan melepaskan diri dari pelukan Dewa dengan hati-hati. Dewa tidak boleh bangun dulu dan tahu apa yang tejadi! Astaga bagaimana kejadian gila ini bisa terjadi?

Setelah terbebas dari rengkuhan Dewa tanpa membangunkan pria itu, aku segera menjauh dari sofa dan menenangkan jantungku yang seperti ingin loncat dari tempatnya.

Aku menepuk wajahku dua kali, kemudian melirik jam dinding yang jarumnya menunjukkan pukul delapan pagi. Mampus gue sama si bos telat ngantor! Aku mengigit bibir bawahku seraya mondar-mandir, kemudian aku memutuskan untuk menghubungi Gabriel—wakil CEO—untuk meng-handle perusahaan hari ini, sebab aku dan Dewa ada rapat dadakan super penting di luar.

Tentu saja aku bohong, tidak mungkin aku mengatakan alasan yang sebenarnya. Bisa-bisa Gabriel kena serangan jantung dan gosip tak sedap tentangku dan Dewa tersebar seantero kantor. Sungguh, itu sangat mengerikan. Bahkan, lebih mengerikan daripada duduk satu jam di Olivers sembari menghidu* asap penyebab kanker paru-paru.

Setelah selesai menghubungi Gabriel aku segera beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Sebenarnya aku mau langsung pulang, tetapi wajah pucat Dewa menahanku. Ya, mau bagaimana lagi, mau disangkal bagaimana pun si kampret Dewa tetaplah bosku dan aku tidak ingin punya image buruk di matanya. Ya, silahkan anggap aku penjilat atau pencitraan.

Aku membuka kulkas yang letaknya di dekat kitchen set. Untunglah isinya cukup lengkap. Sehingga aku bisa membuat haejangguk* sederhana minus daging sapi, karena di kulkas hanya ada daging ayam.

Begitu haejangguk siap, aku segera menaruhnya di mangkuk dan kuletakkan di meja makan. Setelah itu aku menulis memo untuk Dewa yang kutempel di kulkas. Aku menyuruh bosku itu memakan haejangguk sederhana buatanku. Aku juga meminta izin pulang sebentar untuk membersihkan diri dan berjanji akan kembali lagi nanti siang. Untuk mendiskusikan perihal pembukaan cabang baru restoran Nusantara yang akan diresmikan bulan depan di Bali. Mumpung hari ini kami punya banyak waktu luang.

***

Noted :

7. Haejangguk* adalah sup pereda mabuk asal Korea.

8. Menghidu adalah mencium bau --> kata ganti untuk menghirup.


Trapped  (Terbit) ✓जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें