1. Perkara Topi Bola

1.8K 87 3
                                    

Suasana kantin benar-benar ramai, seperti dugaannya. Kebanyakan dari mereka adalah murid kelas sepuluh. Inggi mengerti, menjadi junior yang baru mengenal sekolahnya ini—tentu saja kantin adalah tujuan utama mereka untuk tahu apa saja yang ada di dalam sana, lalu makanan serta minuman mana yang menjadi favorit. Belum lagi mencoba dekat dengan ibu atau bapak kantin agar mendapat bonus—yah, Inggi ini berpengalaman sejak dirinya masih duduk di bangku SMP. Namun, kembali melihat sekitar kantin, Inggi merasa agaknya berbeda dengan penilaiannya. Kantin sekolahnya sekarang ini tidak sembarangan berebut asal dan mengambil apa yang mereka mau, ternyata sistemnya juga antre—berbaris dan membawa nampan yang sudah disediakan. Terlihat sangat rapi dan sepertinya kedisiplinan di sekolah ini sangat dijunjung tinggi.

“Jadi, kita harus antre, ya?” Helaan napasnya terdengar. Inggi belum apa-apa sudah malas. Sementara di sampingnya, Kisara yang merupakan sahabat sekaligus teman sebangkunya itu tersenyum manis memberikan anggukan semangat.

Coba beritahu Inggi, orang mana yang bersemangat ikut antrean sepanjang itu?

“Kalau nggak antre, kita nggak makan.”

Benar juga. Demi makan, pikirnya. Inggi akhirnya ikut berbaris menunggu giliran. Tentu saja ia mengambil barisan yang paling sedikit agar tidak terlalu lama. Ia sempat berpikir apakah akan sempat jika sistemnya seperti ini sementara bel istirahat mungkin akan segera berbunyi? Ia baru tahu sistemnya seperti ini, sebab kemarin-kemarin ia tidak ikut Kisa ke kantin. Oke, mari lupakan tentang itu. Catat, yang penting makan.

“Ini barisan apa, sih?” tanya Inggi kepada Kisa yang ada di depannya. “Maksudnya barisan dari makan siang apa?” Eh bagaimana, sih bilangnya? Inggi bingung sendiri.

“Bakso,” jawab Kisa. Gadis itu melangkah maju dengan pelan seiring berkurangnya antrean. “Kalau nggak, ya nasi goreng. Aku juga kurang tau, sih. Lihat mereka yang udah selesai kayaknya beda-beda gitu bawanya. Aku kemarin bukan di sini soalnya, tapi di barisan yang lain.”

Inggi juga ikut melihat. Benar apa yang dikatakan Kisa kepadanya. Akhirnya Inggi memilih diam sampai pada gilirannya yang mengambil makan siangnya. Ternyata di hadapannya ada banyak pilihan. Satu tempat terdapat beberapa menu. Ada nasi goreng, bakso, siomay, dan burger. Wah, luar biasa. Boleh tidak, sih pilih semuanya? Inggi nyaris terkikik geli pada pertanyaannya sendiri.

“Nasi goreng aja, deh, Bu.” Inggi tersenyum pada ibu kantin. Terlihat ramah sesuai harapannya. Pesanannya tengah dibuatkan dan Inggi menerimanya dengan semringah.

“Kalau minumnya mau apa?”

Inggi lantas berpikir. “Es jeruk boleh,” jawabnya. Tadinya ia ingin es teh manis, tetapi Inggi berpikir ia harus minum yang segar-segar karena saat pelajaran kedua tadi ia mulai mengantuk.

“Terima kasih,” katanya sebelum keluar dari barisan menyusul Kisa di tempat yang kosong. Untungnya kantin begitu luas dan tempatnya sangat banyak, jadi tidak akan takut kehabisan tempat duduk. Banyak juga yang bergabung dari yang tidak kenal, sampai akrab sekali pun.

“Enak baksonya,” ucap Kisa setelah menyeruput kuah baksonya.

“Itu lo baru coba kuahnya, deh.” Inggi menatap datar.

Hehe. Iya, pasti baksonya juga enak kalau kuahnya enak.” Kisa tersenyum kecil, mulai melahap potongan baksonya. Kedua alisnya mengernyit seperti tengah menilai rasa dari bakso yang tengah ia nikmati. “Emm, enak!” riangnya.

Inggi hanya menggeleng saja. Kisa itu anak dari sahabatnya Papa—Om Sangkara. Jadi, ia sudah mengenal lama Kisa dan sudah tahu bagaimana karakternya. Kebetulan saja mereka ada di SMA yang sama, dan kebetulan lainnya adalah mereka sekelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

End of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang