Damn You, Granger! [2]

Start from the beginning
                                    

Blaise mencuatkan sebuah seringai—apakah seluruh anak Slytherin suka melakukannya? pikir Hermione—dari bibirnya. "Khawatir, eh, Granger?"

Hermione berbalik dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Zabini, aku hanya mencoba untuk bertanggung jawab. Asal kau tahu." Gadis itu menekankan suara di tiga kata terakhir.

Blaise berdecak. "Gryffindor dan segala jiwa patriotnya." Ia tergelak sebentar sebelum melanjutkan, "Asal kau tahu juga, Granger, Draco tampak tak begitu sehat akhir-akhir ini dan ia berpikir bahwa akar masalahnya adalah dirimu."

"What?" Hermione mengerutkan keningnya dalam-dalam, sementara Blaise telah berjalan menjauh. Kedua tangan berada di dalam saku. "Hey! Apa maksudmu, Zabini?!" Gadis itu sedikit berteriak ketika sang pemuda Slytherin telah nyaris berbelok di ujung koridor. Ah, untung saja ia masih mendengarnya dan memutuskan untuk memutar punggung sejenak.

"Kenapa tak kau tanyakan sendiri padanya nanti, Granger? Kurasa, kau akan menyukai jawabannya—err, atau mungkin justru akan kembali menonjoknya? Entah. Find it out yourself."

Dengan itu, Blaise akhirnya melanjutkan langkah, meninggalkan Hermione Granger dengan sejuta endapan tanda tanya dalam kepalanya.

•••

"Mwau ke mwana, 'Mwiowne?" Ron bertanya penasaran dengan mulut penuh daging kalkun ketika dilihatnya sang sahabat perempuan tampak tergesa menyampirkan tas di bahu setelah memaksa beberapa buku tebal terjejal sempurna ke dalamnya.

"Err, perpustakaan?" Alih-alih menjawab mantap, nada Hermione justru terdengar seperti orang yang tak yakin.

"Ada PR lagi?" Kini giliran Harry yang menyahut. Kepalanya terangkat dari puding cokelat di hadapannya. Jelas ia akan mulai mengeluh jika Hermione menjawab 'iya'.

"Ya, tugas esai Transfigurasi jika kau lupa? Tiga belas inci minimal."

"Kill me." Harry Potter membenturkan kepalanya di atas meja panjang Gryffindor, diikuti dengan tatapan lunglai dari Ron.

"Selalu saja ada PR dan seringnya itu esai sepanjang jubah mengerikan Snape—"

"Jangan berlebihan, Ron," Hermione memotong. Kedua hazel-nya berputar refleks.

"Kau tak mengerti, Hermione—err, tapi setidaknya, esai Ramalan masih bisa ditoleransi olehku dan Harry," lanjut Ron, membandingkan tugas-tugas esai mereka dalam beberapa pekan terakhir.

"Itu karena kalian mengarang bebas! Murid macam apa yang menuliskan mimpi pun bahkan tak becus?" tuding Hermione jengkel, teringat kedua sahabatnya yang saling terkikik di ruang rekreasi Gryffindor ketika mengerjakan tugas esai Ramalan beberapa hari lalu.

Terkadang gadis itu bertanya-tanya, mengapa begitu mudah untuk mengelabui Profesor Trelawney? Lagi pula, mimpi yang dipaparkan kedua sahabatnya terlalu hiperbola. Kalau ia tak salah mengingat, Ron bahkan menulis di perkamennya—dengan deretan tulisan besar-besar agar cepat memenuhi target—bahwa Draco Malfoy merupakan jelmaan mermaid yang dapat berubah menjadi werewolf setengah musang setiap kali dicium oleh Troll Gunung.

Andai saja Hermione Granger adalah Profesor Ramalan, ia pasti akan berpikir bahwa bisa jadi Ron hanya terlalu memikirkan pemuda platina tersebut di setiap malamnya sebelum tidur. Sayang, Profesor Trelawney justru kepalang terkesan untuk dapat menyadari kemungkinan-kemungkinan itu, padahal begitu banyak dusta yang telah disodorkan Ron dan Harry di depan hidungya. Dusta yang betul-betul sama tak masuk akalnya dengan pernyataan menggelikan bahwa Profesor Snape menyukai warna pink.

Damn You, Granger!Where stories live. Discover now