Fallen Leaves (Prolog)

28 1 1
                                    

27.01.94

Aku merindukanmu.

Aku terbangun.

Untuk sejenak aku termenung, menatap ke dalam kekosongan. "Endira!" Aku menoleh ke arah suara itu datang. "Endira, bangun sayang!"

Mama. "Iya, ma! Aku udah bangun!" teriakku. Mama berhenti berteriak. Aku beranjak dari kasurku. "Kapan aku pindah ke kamar?" gumamku pelan. Sejauh yang kuingat, aku tertidur di sofa ruang tamu kemarin malam, mengerjakan tugas Bahasa Jerman yang rasanya tidak ada habisnya. Aku menggubris pertanyaan itu. Tidak penting kapan aku pindah ke kamar. Yang penting aku sudah ada di kamarku, dan tidurku pulas.

Aku berjalan ke arah saklar dan menyalakan lampunya. Aku melihat ke sekeliling. Kamarku berantakan, seperti sudah tak kubersihkan berminggu - minggu. Atau mungkin memang begitu? batinku pelan. Aku menghela napas panjang dan beranjak menuju ke lemari pakaian. Kukeluarkan baju handukku dan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. "Kak, aku bareng kakak ya hari ini." kata adik laki - lakiku, Roy yang tiba - tiba muncul di depan wajahku. "Kamu mau kemana memangnya?" tanyaku pelan.

"Aku mau ke kampus kakak, mau lihat - lihat. Kan tahun depan aku masuk sana." katanya lalu tersenyum lebar. Akupun ikut tersenyum. "Kamu udah gede ya, Roy. Tahun depan kamu udah kuliah. Terus tahun berikutnya aku lulus," kataku lalu menghela napas panjang. "terus aku ke Jepang." lanjutku. Roy menatapku. "Udah jangan sedih gitu," katanya. Ia merangkul pundakku. "Masih ada satu tahun lagi untuk jadi kakak yang tidak bertanggung jawab!" katanya lalu pergi berlari sambil tertawa.

Aku menatap Roy sambil tertawa. Lalu aku masuk ke kamar mandi tanpa satu patah katapun. Usai mandi, aku keluar dengan baju handukku dan berjalan ke kamarku. Aku segera mengenakan pakaian yang telah kusiapkan kemarin. Hari ini pertemuan pertama dengan dosen pembimbing skripsi tahun depan. Sebagai anak jurusan sastra bahasa Indonesia, aku cukup yakin skripsiku akan berat kalau aku baru mulai mengerjakannya semester depan. Kuputuskan untuk bertemu dengan dosen pembimbingku satu semester lebih awal.

Seminggu yang lalu, aku sudah membuat janji dengan Prof. Daria. Pria satu ini kelihatan berwibawa. Aku senang ia yang menjadi dosen pembimbingku. Kelihatannya dia nyaman diajak bicara. Semoga saja itu benar adanya. Setelah selesai berpakaian, aku berjalan keluar kamar menuju garasi. Kuambil kunci mobilku yang tergeletak di atas meja kecil di samping meja makan. "Kamu gak makan dulu, sayang?" tanya mama.

"Hmm... Kayaknya gak usah makan dulu deh, ma. Kan sama dosen janjiannya di kafe, jadi nanti aku pasti makan kok." kataku sambil tersenyum. "Loh, tapi kan gak sopan kalo makan di depan dosen, Ra. Udah lah makan dulu aja!" kata kakakku, Rendy. "Gak usah deh kak, aku masih kenyang." kataku lagi, menolak tawaran mereka. "Dira, Roy saja masih makan. Kenapa buru - buru sekali, sih?" tanya papa.

"Aku lagi mau pagi aja, pa." kataku tanpa melihat ke arah papa. "Roy, kamu jadi ikut kakak atau gak?" tanyaku pada Roy yang sedang mengunyah lahap roti lapis isi tunanya. "Tentu saja." katanya sambil mengangkat roti lapis itu dan berjalan ke arahku yang sedang memasang sepatuku. Ia lalu menyodorkan satu kotak penuh roti lapis isi coklat kepadaku.

"Untukku?" tanyaku sambil mengambil kotak itu dan memasukkannya ke dalam tasku sambil tersenyum. "Terima kasih." kataku lagi sambil menepuk - nepuk pundaknya. Aku lalu pergi keluar setelah berpamitan dan masuk ke mobilku. Roy menyusulku masuk ke dalam tanpa suara. Akupun menyalakan mesin dan melaju tanpa basa - basi lagi. Aku harus sampai 1 jam lagi jika tidak ingin ditoyor dosenku. Roy duduk diam sambil memakan roti lapisnya. Aku tertawa kecil. "Hey Roy, apa kau sudah punya pacar?" tanyaku penuh canda.

"Tentu saja." balasnya penuh canda pula. Akupun tertawa. "Kenapa kau tak kenalkan padaku?" tanyaku sambil memutar balik di putaran depan kompleksku. "Kenapa memutar balik?" tanya Roy. "Jalan pintas." kataku sambil cengengesan. Roy menganggukan kepalanya sebelum kembali mengunyah habis roti lapisnya. Kami melaju dengan kecepatan yang masuk akal, dalam kesunyian yang nyaman. Akupun lalu mulai merasakan perutku bergejolak -- aku lapar. Aku berusaha meraih tasku yang terletak di kursi belakang.

Roy membantuku mengambilnya sambil bertanya, "Kakak lapar?" Aku hanya mengangguk. Ia mengeluarkan kotak yang diberikannya padaku tadi dan memberikan padaku roti lapisnya. "Terima kasih." kataku lalu melahap habis roti lapis itu. "Apa kakak bertengkar lagi dengan papa?" tanya Roy tanpa melihat ke arahku. Aku menggeleng. "Tidak, kau tidak perlu khawatir. Aku dan papa baik - baik saja." kataku pula tanpa melihatnya. Aku melirik sekilas dan melihat Roy mengangguk perlahan. "Aku tidak akan bertengkar dengan papa lagi, aku janji." kataku.

Roy tersenyum kecil. "Baguslah kalau begitu. Aku harap kali ini kau menepati janjimu, ya?" katanya sambil menunjuk - nunjuk ke arahku. "Baiklah." kataku.

"Aku berjanji."

Aku memutar ke arah kanan, mengambil jalan pintas lainnya.

Tanpa kusadari, ada truk datang dari arah kiriku.

.

.

.

27 Januari 2014,

Roy meninggal dunia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fallen PetalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang