15. Mengukur Presisi

Začít od začátku
                                    

Uge tampak kecewa. "Wah! Rencanaku gagal dong."

Widi kuatir Uge menyerah, ia ingin membangkitkan semangat Uge. "Jangan patah semangat. Kamu kan bisa bikin di tempat lain. Tapi, kalo boleh usul, jangan ngerusak tempat-tempat asri kaya gini deh. Cari aja tempat yang udah rusak, terus kamu sulap jadi tempat yang asri."

"Betul juga. Tapi, aku udah terlanjur jatuh cinta mau ngantor di situ." Uge berpikir sejenak. "Oh! Ngantornya tetap di situ, bikin real estatenya di tempat lain."

"Kamu udah mikirin rencana apa aja sih?"

"Aku udah mikirin banyak rencana dan sangat detail. Di antaranya, aku bakal bangun dua bangunan kembar di sana."

Widi tertawa. Bangunan kembar? Dua bangunan di sini jelas beda bentuk dan ukurannya.

"Kalo disederhanakan bentuk dasarnya akan terlihat seperti limas, sehingga dari depan akan terlihat seperti segitiga."

Kini Widi terkejut. Segitiga? Hmm, tapi belum tentu yang Uge rencanakan mirip dengan kantor ini.

"Bagian dalamnya kira-kira seperti apa?" tanya Widi.

"Aku mau ada area terbuka yang bagian atasnya terlihat keren dari bawah. Tujuannya supaya orang selalu ingat sama yang diatas, yaitu Tuhan. Bagian paling atas itu adalah ruang untuk sholat."

Widi tercengang. Konsepnya sama dengan buatan si Ucup, tapi tujuannya beda seratus delapan puluh derajat, karena Uge lumayan relijius.

"Kenapa kamu mau bikin dua bangunan, Ge?"

"Bangunan pertama berfungsi sebagai kantor, posisinya ada di lereng lembah. Bangunan kedua berfungsi sebagai rumah atau tempat bersantai, posisinya ada di atas pulau kecil."

Jiwa arsitek Widi membuatnya ingin mengoreksi konsep Uge. "Ge! Maaf, aku tertarik ngebahas soal bangunan yang kedua. Jangan lupa, bentuk limas itu makin ke atas semakin sempit. Lahan pulau kecil itukan terbatas, kalo aku yang jadi arsiteknya, aku lebih memilih bentuk kotak. Lagian bangunan untuk istirahat, jangan dibikin njelimet, bisa bikin capek penghuninya."

"Betul juga. Tapi, kalo bentuk geometrinya beda, enggak nyambung dong, Wid."

"Di kawasan hutan pinus ini, geometri bukan pilihan tepat untuk menyambungkan kedua bangunan itu. Bentuk sama justru membuat mereka seperti 2 saudara kembar yang kesasar di tengah hutan. Mereka kan masih bisa disambungkan melalui kesamaan material dan warna. Itu akan membuat mereka seperti pasangan. Berbeda tapi memiliki kecocokan."

Uge terkesima membaca usulan Widi. "Ya udah nanti bangunan untuk istirahat, kamu aja yang bikin."

Widi baru sadar bahwa ia bisa semakin memperbesar kemunginan Uge menjadi Erlangga. Gawat! Uge yang alim ini enggak boleh berubah menjadi Erlangga si pengejar dunia. Orang segigih ini tetap punya peluang besar untuk sukses tanpa harus jadi Erlangga. Memang si Ucup baik sama aku, tapi itukan karena faktor kebutuhan. Mungkin karena dia baru tahu kalo semua proyek penting perusahaannya, aku yang pegang.

Widi berharap mendapat jawaban yang bisa memperkecil lagi kemungkinan Uge menjadi Erlangga. "Kamu udah mikirin nama kantornya juga?"

"Alhamdulillah, udah! Karena berada di Jalan Terusan Baru Kahfi dan bergerak dibidang properti, maka kantor itu aku namakan Al Kahfi Land."

Pandangan Widi mendadak berkunang-kunang.

"Uge, nama asli kamu Erlangga Yusuf?" tanya Widi.

*****

Sebuah restoran mewah, Jakarta, 2004

Erlangga dan Vanessa sedang kencan makan malam di restoran mewah yang suasananya romantis. Ironisnya, mereka lebih banyak saling diam.

Al Kahfi  Land 1 - Menyusuri WaktuKde žijí příběhy. Začni objevovat