Secret Admirer

32 0 0
                                    

Kilatan cahaya itu bukan berasal dari petir yang bersahutan di tengah hujan, bukan juga dari lampu sorot mobil yang terjebak macet di tengah jalan. Tapi dari sesuatu dibalik bilik telepon di seberang sana. Aku bergegas menggulung standing banner dan menepi, kulepaskan topi koki sambil mengibaskan sisa air hujan dari rambutku. Pandanganku langsung terfokus pada sosok bertopi pancong yang baru saja keluar dari bilik telepon sambil memeluk sebuah kamera SLR di depan dadanya. Dia menatap lurus ke arahku dan tersenyum lebar. Sama sekali tidak merasa bersalah karena telah tertangkap basah mengambil fotoku secara diam-diam.

Carrot cake kamu, Nay!” tepukan pelan Elen membuatku tersentak.

“Biar aku saja yang membereskan banner-nya!” Dia langsung mengambil gulungan standing banner dari tanganku.

Aku mengangguk sambil berbalik masuk ke dalam “Vinella”, sempat kulihat sosok lelaki tadi membungkuk sekilas ke arahkulalu kembali tersenyum. Kugelengkan kepala sambil mengibaskan sebelah tangan ke udara. Aku benar-benar tidak peduli.

Vino sedang mengintip ke dalam oven saat aku masuk ke dapur.Dia mengangkat bahu sambil meringis sebelum aku sempat bertanya. Aku langsung tertawa, kuraih sarung tangan di dekatnya dan memakainya dengan sigap. Kukeluarkan loyang-loyang kue yang sudah matang kemudian meletakkannya di atas meja.  

“Sebenarnya kita sudah bisa memastikan kue ini matang atau belum dari aromanya, tanpa perlu mengintip ke dalam oven seperti kamu tadi!” Ujarku sambil mengerling ke arahnya yang langsung tersipu sambil menggaruk-garuk rambut pendeknya.   

“Itu Muffin baru lagi?” tanyanya memperhatikan carrot cake yang sedang kutaburi parutan keju dan permen warna warni berbentuk hati.

Carrot cake yang biasa kok, cuma topping-nya aja yang sedikit aku percantik!” tunjukku ke permen-permen aneka warna yang baru kuhias di atas cup kue.“Supaya sesuai dengan tema bulan ini, valentine’s day...” tambahku sambil tersenyum puas.

Vino mengangguk-angguk. “Lumayan kreatif!” pujinya datar.

Aku mendengus. Vino memang seperti itu, dia jarang sekali terlihat antusias terhadap apapun. Nada bicaranya selalu datar, bahkan untuk sebuah sanjungan sekalipun.

***

Stasiun kota jam tujuh malam benar-benar semrawut, arus orang-orang yang berlalu lalang dengan gerakan cepat membuatku sedikit sesak napas. Flu yang tiba-tiba menyerangku selepas hujan tadi berpengaruh pada pergerakan tubuhku yang terasa lambat. Aku bersandar pada tiang peron, memasang masker di hidungku dan merapatkan sweater yang membungkus tubuhku. Tas cangklongku sudah kusilangkan ke depan dada untuk menghindari aksi copet yang kerap beraksi di atas gerbong. Perlahan commuter line yang kutunggu merapat ke sisi peron, aku pun langsung berjalan cepat menuju gerbong bersama para penumpang lainnya. Tepat sebelum aku melompat ke atas gerbong, sudut mataku sempat menangkap kilatan cahaya dari kejauhan. Aku menoleh sigap dan mendapati sosok lelaki bercelana cargo yang tengah menjepretkan kameranya berkali-kali ke arahku. Aku terenyak seketika, lelaki itu lagi. Lama kelamaan dia lebih mirip seorang  paparazi yang begitu terobsesi menguntitku untuk memata-matai.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 08, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SiluetWhere stories live. Discover now