Introduction; processing....

Start from the beginning
                                        

Kau dulu tinggal di rumah Jeno, rumah ayahmu, yang otomatis juga merupakan tetangga rumahku. Namun akhirnya memilih berkelana, kembali ke rumah ibu kandungmu di Kanada, meninggalkan ayahmu yang tadinya membawamu untuk tinggal sendirian sebelum bertemu ibu Jeno dan menikahinya, lalu tinggal di sana sudah hampir lima belas tahun lamanya. Kembali sebagai salah satu rekan kerja penting kakakku dan teman dekat lama sosok yang lebih tua dariku hampir lebih dari separuh dari umurku. Iya, jarak umurku dan kakakku memang begitu jauh, produk kejutan kata ayah.

Selama caturwulan itu pula kau mencoba mendekatiku. Sampai akhirnya dua semester berlalu dan kita yang seolah tak bisa melepaskan satu sama lain.

"Kau melamun." Katamu yang kini sudah menyusulku di balkon apartemenmu dan kini menyandarkan kepala besarmu di pundak kecilku.

Aku mencebik. Tapi tetap memberikan tanganku pada kedua tangannya yang melingkar di pinggangku. Menyusuri beberapa gurat otot dengan kesan pria yang kentara dan beberapa pembuluh yang seolah ingin menunjukkan eksistensinya padaku. Mengolokku yang memiliki gender yang sama tapi tak serupa sosok di belakangku.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Kau membalikkan badanku, membuatku sedikit mendongak untuk mengalihkan pandang dari dada bidang sekeras papan cucian ke wajah rupawan milikmu. Selanjutnya hanya refleks karena tanganku yang naik untuk mengelus beberapa rambut yang dengan liarnya tumbuh di rahang tegasmu dan di bawah hidungmu membentuk kumis tipis yang sedikit banyak menyebalkan, karena geli yang akan tercipta ketika kita saling memakan wajah masing-masing.

"Kalau aku berkata bahwa aku memikirkanmu, apa kau akan percaya?"

Kau mendengus. Dengan segera memberikan kecupan bertubi pada wajahku yang mungkin didasari atas rasa gemas. Meski sepertinya kau sengaja melewatkan bibirku untuk mengetes sejauh mana aku bisa tahan untuk tidak kau cium.

"Itu bukan gayamu sekali." Ejekmu.

Aku terkekeh. Memerangkap lehermu dan menariknya turun. Menggesekkan hidung kita sebelum akhirnya menciummu sekilas.

Senyum kecil terkembang di wajahmu. Kau tak menahanku dan mencoba menelusuri serta mengobrak-abrik isi mulutku seperti penggambaran berbagai pasangan di banyak cerita. Mungkin karena itu kau, selalu malas untuk sesuatu yang berat jika kita sedang berbicara ringan seperti ini. Ditemani cuaca pagi yang sejuk dan jalanan luar yang masih sepi. Suasana idamanmu sekali.

"Mark, hari in -"

Bibirku kau jepit. Membentuk sebuah bibir bebek. Aku hendak berteriak sebal padamu, tapi kau sepertinya belum mau melepaskan bibirku dan akhirnya aku hanya menatapmu sebal.

"Hyung, Donghyuckie Sayang."

Aku mencebik, "Kau saja tak pernah memanggil kakakku dengan sebutan hyung."

Kau tersenyum geli, "Dia hanya terpaut satu tahun lebih sedikit denganku. Sedangkan kau?" Hidungku kau sentil, "Berapa tahun jarakmu denganku, huh? Kalau setahun pasti ku ijinkan."

Bola mataku ku putar jengah. Lalu ide jahil muncul di pikiranku, "Bagaimana kalau aku memanggilmu dengan panggilan lain?"

Kau mengernyitkan dahimu.

"Seperti daddy mungkin? Atau master?" Aku mendusalkan kepalaku di dada bidangmu. Tersenyum penuh canda meski ku yakin kau hanya melihat puncak kepalaku sekarang ini.

"Apa kau sedang ingin masuk kandang singa, Sayang? Setelah memacarimu, aku berasa seperti om-om yang mencabuli bocah sd walaupun kau sudah sma sebenarnya."

Kepalaku kau angkat. Aku tersenyum begitu manis di sana sehingga mataku terlihat ingin menyaingi eyes smile milik Jeno.

"Tak apa. Aku kan sudah legal tahun ini. Pun beberapa bulan lagi aku akan masuk perguruan tinggi." Haha-hehe ria ku perdengarkan padamu.

"Tapi kita cukur dulu, okay dad? Aku benci harus tergelitik kumis ini saat kita berciuman." Tanganku meraba bawah hidungmu, lalu turun menuju rahang kokohmu.

"Baiklah. Lalu apalagi yang kau mau, baby boy?"

Aku menggigit bibir bawahku kecil, berusaha tampak seperti tengah berada pada ujian masuk perguruan tinggi yang sudah ku lalui kemarin-kemarin. Ditambah dengan kepala yg sedikit dimiringkan.

"Sudah. Baby cuma mau Daddy dan waktu daddy hari ini, karena Daddy selalu saja sibuk dengan pekerjaan menyebalkan daddy." Bibirku mengerucut ditambah pipi yang manggembung.

"Tapi kencan setelahnya melakukan olahraga dengan Daddy pasti menyenangkan." Senyumku melebar.

"Aku mau jalan-jalan ke Sungai Han. Pergi ke cafe yang lucu. Lalu kita berkeliling di pusat perbelanjaan. Lalu lalu, aku mau makan di restoran jepang. Bagaimana, Dad?"

Aku berusaha sepenuh jiwa untuk membuat mataku membulat penuh binar. Dengan niatan membuatmu di depanku luluh walaupun tanpa melakukan hal tersebut, kau pasti tetap akan luluh padaku.

Kau terkekeh. Mempertemukan kembali hidung bangir kita.

"Apa pacar Jeno yang mengajarimu menjadi binal seperti ini, Baby?"

Aku mengerucutkan bibirku. Tahu kalau kau benar-benar masih menganggapku seorang bayi di mata singamu itu.

Tapi kau sigap dengan tanggapanku. Masih dengan tawa gemasmu, kau segera mengangkatku seperti koala, sehingga aku harus melingkarkan lengan dan kakiku seolah kau satu-satunya tumpuan hidupku.

"Apapun untuk birthday baby hari ini."

Kau menciumku setelah pantatku menempel di wastafel. Menciumku rakus berbeda dengan yang sebelumnya untuk membangun hasrat pagi kita. Menjelajah seluruh inci dari permukaan rongga dalam mulutku sampai akhirnya aku memukulmu untuk napas yang harus ku raih banyak-banyak.

"Sesuai rencanamu, kita bercukur dulu, Sayang. Hari kita masih panjang."

Satu kecupan kembali kau curi dan meninggalkanku yang memerah, mungkin aku akan menyesal dengan permintaanku hari ini, untuk mengambil alat cukur milikmu.

....

....

....

....

Status: Story's uncompleted

Loading.... [MarkHyuck]÷Where stories live. Discover now