ELLO - satu

35.4K 1.4K 10
                                    

Meja ini berbentuk bundar dengan sepuluh kursi berjejer rapi di pinggirnya. Jika dilihat orang-orang, pasti dikira kumpulan yang sedang makan dan mengobrol di meja ini adalah keluarga harmonis.

Sayangnya, meja beserta orang-orang yang menikmati makan malam sedang berada di dalam ruang VIP sehingga tidak ada yang bisa iri melihat sepuluh orang itu. Dan lebih disayangkan lagi, keluarga itu bukanlah keluarga harmonis. Padahal, ada orang tua, dan tujuh orang anaknya.

Ck, sialnya, itu adalah keluargaku!

Aku kira setelah keluar dari rumah dan hidup sendiri dengan hasil jerih payahku sebagai seorang dokter, aku bisa tertawa bahagia menikmati kehidupan yang baru. Tapi tak disangka, aku dipaksa untuk duduk dan berada di ruangan ini!

Memang benar aku seorang dokter dengan spesialisasi di bidang kejiwaan. Orang-orang ada yang menyebutku psikiater. Tapi mereka tidak tahu, kalau seorang dokter ini juga gila seperti pasien-pasiennya! Stress tingkat akut, atau dengan kata lain depresi! Aku gila!

"Jadi Marcello, umurmu sudah berapa?" tanya lelaki paruh baya itu sambil menyantap potongan daging dari garpunya.

"Dua sembilan." Jawabku singkat. Aku menghentikan gerakan sendok dan garpu yang ada di tanganku. Makanan sudah tidak lagi terasa enak. Bahkan hambar!

"Kapan akan menikah, putra bungsuku? Mama dan Papa ingin sekali melihatmu menikah." Tanya wanita yang seumuran di sebelahnya.

Ha!

Mama dan Papa?

Apa aku tidak salah dengar?

Mereka sudah bercerai lebih dari sepuluh tahun yang lalu! Mereka mengamuk, bertengkar, menghancurkan nyaris keseluruhan rumah, melemparku dengan pisau, dan sekarang mereka menyebut diri mereka 'Mama dan Papa'?

That's bullshit!

"Tidak akan menikah." Jawabku lantang sambil melirik tajam ke arah wanita paruh baya itu.

"Maksudmu apa, Marcello?" tanyanya lagi.

"Tidak ada maksud."

"MARCELLO SUMAPRADJA!" teriak wanita itu kesal.

Aku hanya bisa mendengus. Kelakuannya tidak berubah dari saat dia terpergok selingkuh di depan suami dan anak-anaknya hingga sekarang. Emosian dan tidak bisa mengontrol diri. Cih!

"Ya, Nyonya Sumapradja... Oh, aku lupa. Bukan lagi Sumapradja, tapi Nyonya Wijaya. Maafkan saya.." sindirku telak. Wanita itu kembali tenang dengan wajah pucat pasi.

Ha! Dia pasti tidak menyangka anak pendiamnya yang telah dia tinggalkan dulu berani menyindir kelakuan brutalnya lagi bukan? Oh, aku tentu bukan seperti kakak-kakakku yang mencari muka dengan bersikap baik hati dan masih memanggil wanita itu Mama. Aku tidak menyukainya dan itu artinya aku benar-benar tidak menyukainya! Aku tidak perlu bersikap layaknya dia bisa diampuni, karena sampai kapanpun dia wanita menjijikan!

"Jaga ucapanmu, Son." Kata lelaki paruh baya itu dengan tenang.

Oh, dan bukan hanya wanita itu yang ku benci. Tapi lelaki paruh baya ini juga sama! Bagaimana mungkin dia masih bisa duduk dengan tenang di samping mantan istrinya yang dulu nyaris membunuh kelima anak yang mempunyai DNA-nya dalam setiap sel tubuh anak-anaknya?!

Dia memaafkan wanita itu dengan begitu mudah, walau dia sakit hati. Kemudian dia pergi begitu saja di saat anak-anaknya syok berat dengan kejadian sekejap mata. Pengecut!

Dan setelah itu satu per satu kakak-kakakku pergi. Meninggalkan aku yang adalah anak paling bungsu dan paling muda untuk mengenal kejamnya dunia seorang diri. Hanya dengan kelimpahan uang yang dikirimkan lelaki paruh baya itulah aku bertahan hidup dan merasakan macam-macam hal rusak. SEMUA! Tanpa orang tua yang bisa menegurku... Dan sekarang mereka tiba-tiba muncul dan menganggap aku kembali sebagai anak mereka?

"Apa kau juga akan menyuruhku menikah, Tuan Sumapradja?" tanyaku tanpa takut menatap matanya.

"Kenapa kau tidak mau menikah?" Tanyanya balas menatapku.

"Karena aku tidak mau berakhir menyedihkan ditinggal seorang wanita." Jawabku tanpa ragu.

"Kau bisa mencari yang lain kalau itu yang terjadi."

"Tapi kau tidak mencari yang lain setelah dikhianati oleh wanita itu kan?" kataku sambil melirik wanita yang semakin mematung di tempat duduknya itu.

Aku sadar, kalimat demi kalimat yang kulontarkan membuat suasana semakin mencekam. Tapi aku tidak peduli. Bagiku, kedua orang tuaku sudah tidak ada. Keempat kakakku hanya melakukan rutinitas tiap tahunnya menanyakan kabar.

Inikah yang disebut keluarga?

"Aku rasa, jika makan malam ini hanya diisi dengan pertanyaan bodoh seperti itu, aku mengundurkan diri. Masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Juga aku rasa keempat kakakku, dan dua adik tiriku juga pasti sibuk! Selamat malam." Kataku beranjak berdiri dan hendak meninggalkan ruangan yang membuat darahku mendidih ini.

"Kak Ello!"

Aku tersentak. Suara itu.. panggilan itu...

So damn shit! Aku benci suara adik tiriku itu! Tenanglah Ello, tenanglah... Ini sudah bertahun-tahun berlalu dan yakinlah kau pasti bisa keluar dari ruangan ini tanpa perlu berteriak ataupun memaki.

Aku melangkahkan kakiku dengan tenang dan....

"Kak!"

Suara itu menghentikan langkahku lagi. Damn!

Setengah mati aku mengumpulkan sisa-sisa kesadaranku dan pikiran realistisku, dan menghembuskan nafas kasar. Aku tidak boleh sakit untuk kedua kalinya!

"Aku pulang." Kataku dan kali ini aku benar-benar berjalan keluar dari ruangan ini dan menuju tempat parkir tanpa menoleh ataupun terhenti.

Oh damn! Seharusnya aku tahu aku tidak perlu datang ke acara ini!

I Love Her 2 : MarcelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang