01

25K 1.7K 328
                                    

“Bagaimana wawancaranya? Kau diterima di perkemahan?”

Marsha tersenyum kecut. Rupa Ibu yang tampak berharap sepenuhnya membuat tekadnya untuk tertawa terpingkal-pingkal karena menceritaka hal tadi kepada Ibu menciut seketika. Bukankah ia bahagia atas penolakan ini? Lantas apa?

Ibu bisa saja mendatangkan bencana lainnya.

Marsha tak yakin apa hal ini akan membawanya kepada sebuah keberuntungan mutlak yang tak dapat di ganggu gugat walau sepahit apapun takdir sial menghampirinya. Dirinya saat ini benar-benar sadar sepenuhnya, ini bencana.

“Heh, Ibumu bertanya,” Hentak Ibu membuyarkan senyuman kecut serta pemikiran keriput Marsha. “Tolong ya Marsha, Ibu tak akan mau mendengar hal selain penerimaan.” Wajah Ibu berkerut menatap Marsha. Batinya meringis melihat ekpresi yang diberikan anak gadisnya itu. Tuhan, ini akan baik-bak saja.

“Aku tak diterima.”

“Tuhan, Ibu sudah tahu itu.”

Marsha mendadak tersenyum, “Ibu tahu? Berarti Ibu tak akan marah? Yes! Aku tahu ini akan menyenangkan!”

Ibu menggeleng sembari memegangi dada. Sudah cukup kesabarannya untuk gadis di sampingnya ini. Dari balik bulu matanya, wanita 40 tahun itu mengintip dan melihat Marsha Guthart—anaknya dalam balutan tank top hitam dengan di tutupi kemeja yang tak dikancing bewarna merah-hitam plus dengan rambut yang disanggul tinggi serta sepatu bot hitam yang dipadukan dengan legging licin macam ubin.

Sembari menjalankan mobil hitam mengkilapnya, Ibu—Mrs. Guthart memulai pembicaraan dengan Marsha. Setidaknya ini suasana yang baik untuk membuat kesepakatan dengan anak gila macam Marsha.

“Perkemahan kau tak diterima, kelas merajut Bibi Barb juga tak mau, selanjutnya Ibu benar-benar akan melakukan hal yang selama ini terpikir oleh Ibu kepadamu, Mars.” Mrs. Guthart memijak pedal rem ketika lampu merah tampak muncul dan menghentikan sementara laju kendara.

“Apa itu?” Marsha bertanya tanpa menoleh. Membuat Mrs. Guthart berfikir ingin menebas saja anaknya ini.

“Menitipkanmu kepada band-ku.”

Marsha mendengus, “Kau bercanda.”

“Aku tak bercanda. Ibu tak bercanda.”

Marsha menoleh, “No mother, no. Kau tak boleh seenaknya padaku, mother.” Mrs. Guthart memutar bola matanya. “Ibu, aku serius. Kau pikir hidupku macam anjing liar? Main di titipkan saja.”

Decakkan meremehkan mendominasi, “Kau memang anjing liar, Mars,” Mrs. Guthart menyunggingkan senyuman yang paling manis. “Terbukti dengan tingkah lakumu selama ini dan bagaimana caramu membuat Ibu menderita, Mars. Jangan membantah.”

Marsha mengerang sambil melorotkan tubuhnya hingga kepalanya berada di batas sandaran dan dudukkan kursi mobil. Dia berteriak di balik tutupan tangannya lalu kembali duduk normal setelah beberapa saat, “Ibu bisa saja di pukuli dengan gantungan baju jika seandainya Ayah masih hidup.”

Mrs. Guthart tertawa keras—sangat keras. Ayah—Mr. Guthart memang tak akan melakukan hal itu, selain laki-laki 45 tahun itu telah meninggal 4 tahun yang lalu, juga laki-laki itu pasti punya pikiran dan logika yang nyata untuk melakukan hal itu. Dia sudah tua dan tak mungkin juga dia melakukan hal yang seharusnya dilakukan pada anak kecil kepada Mrs. Guthart yang sedang menunggu periode menopause-nya. Dia menyorot Marsha tajam, “Dengarkan Ibu, Marsha.”

“Hmm.” Deham Marsha tak tertarik.

“Dari jauh-jauh hari Ibu telah merencakan ini. Selain Ibu dapat tahu apa yang akan terjadi pada nasib penerimaan perkemahan musim panasmu, Ibu juga tahu sifat-sifatmu dan caramu menanggulangi hal yang kau benci.

Marsha & The BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang